A. Definisi judicial review
Mengenai judicial review terdapat
berbagai variasi, diantaranya:
1.
Menurut
Encyclopedia Britannica:
“Judicial review is the power of
courts of a country to determine if acts of legislature and executive are
constitutional.”
2.
Menurut
Ecyclopedia Americana:
“Judicial review, power exerted by
the courts of a country to examine the actions of the legislative, executive,
and administrative arms of the government and to ensure that such actions
conform to the provisions of constitution.”
3.
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam
buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (hal. 1-2), adalah pengujian
yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu
norma.
4.
Menurut
Miriam Budiardjo:
Mahkamah Agung … mempunyai wewenang
untuk menguji apakah sesuatu undang–undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar
atau tidak, dan untuk menolak melaksanakan undang-undang serta peraturan
peraturan lainnya yang dianggap bertentangan dengan Undang- Undang Dasar. Ini
dinamakan “Judicial review”.
5.
Sri
Sumantri berpendapat:
Hak menguji materiil adalah suatu
wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini
berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan
yang lebih tinggi derajatnya.
6.
Bintan
R. Saragih menyebutkan:
Judicial
review adalah hak dari Mahkamah Agung
untuk menilai atau menguji secara material apakah suatu undang-undang
bertentangan dengan atau tidak berlaku undang-undang yang dinyatakan bertentangan
atau tidak sesuai tersebut.
7.
Menurut
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1999 tentang hak Uji
materiil:
Hak uji materiil adalah hak Mahkamah
Agung untuk menguji secara materiil terhadap peraturan perundang-undangan,
sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan (pasal 1 ayat (1)).
Meskipun belum ada
definisi yang baku mengenai judicial
review di Indonesia, tetapi pada umumnya judicial review diberi pengertian sebagai “hak uji materiil”, yaitu
“wewenang untuk menyelidiki, menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan
isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya,
serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan
tertentu.”
B.
Urgensi
Judicial review
Para ahli hukum pada
umumnya sepakat bahwa urgensi judicial
review adalah sebagai alat kontrol terhadap konsistensi antara produk
perundang-undangan dan peraturan-peraturan dasarnya, untuk itu diperlukan
judicial activision. Menurut Moh. Mahfud MD, minimal ada tiga alasan yang
mendasari pernyataan pentingnya judicial activision:
Pertama, hukum sebagai produk politik
senantiasa memiliki watak yang sangat ditentukan oleh konstelasi politik yang
melahirkannya. Hal ini memungkinkan bahwa setiap produk hukum akan mencerminkan
visi dan kekuatan politik pemegang kekuasaan yang dominan sehingga tidak sesuai
dengan hukum-hukum dasarnya atau bertentangan dengan peraturan yang secara
hirarkis lebih tinggi.
Kedua, karena kemungkinan sering terjadi
ketidaksesuaian antara suatu produk peraturan perundangan dengan
peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi, maka muncul berbagai alternatif
untuk mengantisipasi dan mengatasi hal tersebut melalui pembentukan dan
pelembagaan Mahkamah konstitusi, Mahkamah perudang-undangan, Judicial review, uji material oleh MPR
dan lain sebagainya.
Ketiga, dari berabagai alternatif yang
pernah ditawarkan, pelembagaan judicial
review adalah lebih konkret bahkan telah dikristalkan di dalam berbagai
peraturan perundang-undangan kendati cakupannya masih terbatas sehingga sering
disebut sebagai judicial review
terbatas. Namun, tidak sedikit orang yang mengira bahwa dari penerimaan
terbatas terhadap judicial review
akan benar-benar dapat dilaksanakan dan telah mendapat akomodasi pengaturan
yang cukup. Padahal ketentuan tentang judicial
review yang ada di berbagai peraturan perundang-undangan itu memuat
kekacauan teoritis yang sangat mendasar sehingga tidak dapat dioperasionalkan.
Oleh karena itu diperlukan perombakan total terhadap peraturan mengenai judicial review, termasuk Perma No.1
Tahun 1993.
C. Mekanisme
Beracara dalam Judicial review
Prinsip-prinsip hukum acara.
- Proses judicial review dalam
perumusan hukum acaranya terikat oleh asas-asas publik.
Di
dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara yaitu “contentious procesrecht”
atau hukum acara sengketa dan “non contentieus procesrecht” atau hukum
acara non-sengketa. Untuk judicial review, selain digunakan hukum
sengketa (berbentuk gugatan) juga digunakan hukum acara non sengketa yang
bersifat volunteer (atau tidak ada dua pihak bersengketa/berbentuk
permohonan).
Bila
menelaah asas-asas hukum publik yang salah satunya tercermin pada asas hukum
acara peradilan administrasi, maka proses beracara judicial review seharusnya
juga terikat pada asas tersebut. Asas tersebut adalah:
a.
Asas Praduga Rechtmatig
Putusan
pada perkara judicial review seharusnya merupakan putusan akhir dan mempunyai
kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan dan tidak berlaku surut.
Pernyataan tidak berlaku surut mengandung makna bahwa sebelum putusan
dibacakan, obyek yang menjadi perkara – misalnya peraturan yang akan diajukan
judicial review - harus selalu dianggap sah atau tidak
bertentangan sebelum putusan Hakim atau Hakim Konstitusi
menyatakan sebaliknya.
Konsekuensinya,
akibat putusan Hakim adalah “ex nunc” yaitu dianggap ada sampai
saat pembatalannya. Artinya, akibat ketidaksahan suatu peraturan
karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tidaklah
berlaku surut namun sejak pernyataan bertentangan oleh lembaga berwenang
(MA atau MK) ke depan. Namun perlu juga dipikirkan tentang dampak
yang sudah terjadi, terutama untuk kasus-kasus pidana, misalnya dimungkinkan
untuk mengajukan kembali perkara yang bersangkutan tersebut untuk ditinjau
kembali.
b.
Putusan Memiliki Kekuatan Mengikat (Erga Omnes)
Kewibawaan
suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan
mengikatnya. Putusan suatu perkara judicial review haruslah merupakan
putusan yang mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapapun. Dengan asas
ini maka tercermin bahwa putusan memiliki kekuatan hukum mengikat dan karena
sifat hukumnya publik maka berlaku pada siapa saja–tidak hanya para pihak yang
berperkara.
- Pengajuan Permohonan Atau
Gugatan.
Dalam PERMA No. 1
Tahun 1999 disebutkan bahwa pengajuan judicial review dapat dilakukan
baik melalui gugatan mapun permohonan. Sedangkan dalam PERMA No. 2 Tahun 2002
untuk berbagai kewenangan yang dimiliki oleh MK (dan dijalankan oleh MA hingga
terbentuknya MK) tidak disebutkan pembedaan yang jelas untuk perkara apa harus
dilakukan melalui gugatan dan perkara apa yang dapat dilakukan melalui
permohonan, atau dapat dilakukan melalui dua cara tersebut. Akibatnya dalam
prakteknya terjadi kebingungan mengingat tidak diatur pembedaan yang cukup signifikan
dalam dua terminologi ini.
PERMA No. 1 tahun 1999 mengatur batas waktu
180 hari suatu putusan dapat diajukan judicial review. Sedangkan dalam
PERMA No. 2 tahun 2002, jangka waktu untuk mengajukan judicial review hanyalah
90 hari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembatasan ini menimbulkan
permasalahan mengingat produk hukum yang potensial bermasalah adalah produk
hukum pada masa orde baru dan masa transisi. Selain itu pembatasan waktu ini
juga menafikan kesadaran hukum masyarakat yang tidak tetap dan dinamis.
- Alasan Mengajukan Judicial
Review.
Baik dalam Amandemen ke III UUD 1945 tentang
wewenang MK dan MA atas hak uji materiil, yang kemudian dituangkan lebih lanjut
sebelum keberadaan MK melalui PERMA No. 2 Tahun 2002, maupun dalam PERMA No. 1
Tahun 1999 tidak disebutkan alasan yang jelas untuk dapat mengajukan
permohonan/gugatan judicial review.
Dalam PERMA hanya disebutkan bahwa MA
berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang atau dalam hal pengajuan keberatan adalah alasan dugaan peraturan
tersebut bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Sedangkan
Amandemen hanya menyebutkan obyek judicial review saja dan siapa yang
berwenang memutus.
Namun pada umumnya beberapa alasan yang dapat
dijadikan alasan untuk pengajuan judicial review adalah sebagai berikut
:
a.
Bertentangan
dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi.
b.
Dikeluarkan
oleh institusi yang tidak berwenang untuk mengeluarkan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.
c.
Adanya
kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
d.
Terdapat
perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan.
e.
Terdapat
ambiguitas atau keragu-raguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang perlu
diklarifikasi.
- Pihak yang berhak mengajukan judicial review.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji
Materiil disebutkan bahwa Penggugat atau Pemohon adalah badan hukum, kelompok
masyarakat. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut badan hukum atau kelompok masyarakat
yang dimaksud dalam PERMA ini seperti apa. Yang seharusnya dapat menjadi pihak
(memiliki legal standing) dalam mengajukan permintaan pengujian UU
adalah mereka yang memiliki kepentingan langsung dan mereka yang memiliki
kepentingan yang tidak langsung. Rasionya karena sebenarnya UU mengikat semua
orang.
Jadi sebenarnya semua orang “harus” dianggap
berkepentingan atau punya potensi berkepentingan atau suatu UU. Namun bila
semua orang punya hak yang sama, ada potensi penyalahgunaan hak yang akhirnya
dapat merugikan hak orang lain. Namun karena pengajuan perkara dapat dilakukan
oleh individu maka sangat mungkin dampaknya adalah pada menumpuknya jumlah
perkara yang masuk.
Untuk itu di masa mendatang idealnya dalam
pengajuan perkara hak uji materil maka perlu diperhatikan bahwa yang berhak
mengajukan permohonan/gugatan adalah kelompok masyarakat yang :
a. Berbentuk organisasi kemasyarakatan
dan berbadan hukum tertentu.
b. Dalam Anggaran Dasarnya menyebutkan
bahwa pencapaian tujuan mereka terhalang oleh perundang-undangan.
c. Yang bersangkutan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasarnya.
d. Dalam hal pribadi juga dapat
memiliki legal standing, maka ia harus membuktikan bahwa dirinya
memiliki concern yang tinggi terhadap suatu bidang tertentu yang terhalang
oleh perundang-undangan yang bersangkutan.
- Putusan dan eksekusi putusan.
Dalam
PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa bila dalam 90 hari setelah putusan
diberikan pada tergugat atau kepada Badan/Pejabat TUN, dan mereka tidak
melaksanakan kewajibannya, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud
batal demi hukum. Putusan dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum, putusan
yang sudah diambil mengikat.
Hal ini dapat diartikan bahwa jika dinyatakan
suatu UU – baik seluruh pasalnya (berhubungan dengan keseluruhan jiwanya) atau
pasal-pasal tertentunya saja bertentangan dengan UUD, maka putusan tersebut
wajib dicabut oleh DPR dan Presiden dalam waktu tertentu. Jika tidak, maka UU
tersebut otomatis batal demi hukum.
Kurang lebih ada dua alternatif yang dapat
ditawarkan untuk perbaikan di kemudian hari, yaitu : Alternatif pertama,
segala peraturan atau kelengkapan dari peraturan yang diputuskan tidak
konstitusional kehilangan pengaruhnya sejak hari di mana putusan tersebut
dibuat. Dengan catatan peraturan atau kelengkapan darinya sehubungan dengan
hukum pidana kehilangan pengaruhnya secara retroaktif. Dalam hal demikian maka
dimungkinkan dibuka kembali persidangan mengingat tuduhan didasarkan pada
peraturan yang dianggap inkonstitusional; Alternatif kedua, dapat
diberikan kewenangan bagi MA ataupun MK (nantinya) untuk memutus dampak atas
masing-masing putusan apakah berdampak pada peraturan yang timbul sejak
pencabutan dilakukan (ex nunc) atau berdampak retroaktif (ex tunc).
Dalam hal pencabutan putusan secara extunc,
complaint individu terhadap suatu peraturan yang bersangkutan harus
memiliki dampak umum (erga omnes), karena landasan hukum suatu putusan
pengadilan atau penetapan administratif telah dinyatakan batal demi hukum atau
dalam proses pembatalan. Dengan demikian peraturan yang berlaku individu yang
didasarkan pada landasan hukum yang serupa juga menjadi tidak berlaku.
Di sini prinsip jaminan terhadap individu di
satu sisi dan prinsip kepastian hukum di sisi lain harus berjalan seimbang.
Setidaknya putusan dalam perkara kriminal harus dapat dibuka kembali oleh
peradilan biasa dengan berdasarkan adanya pembatalan dari norma hukum pidana
yang menjadi dasar dari putusan tersebut.
D.
Ringkasan
Dari uraian di atas dapat diambil
beberapa kesimpulan :
- Judicial review adalah wewenang untuk menyelidiki, menilai, apakah
suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan
tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
- Urgensi judicial
review adalah sebagai alat kontrol terhadap konsistensi antara produk
perundang-undangan dan peraturan-peraturan dasarnya.
- Proses beracara judicial review terikat pada
asas praduga rechtmatig dan putusan memiliki kekuatan mengikat.
- Pengajuan judicial review dapat dilakukan baik
melalui gugatan maupun permohonan.
- MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang atau dalam hal pengajuan
keberatan adalah alasan dugaan peraturan tersebut bertentangan dengan
undang-undang yang lebih tinggi.
- Pihak yang berhak mengajukan judicial review adalah badan hukum, kelompok masyarakat.
Judicial
review merupakan proses pengujian
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial
review (pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan
oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan, pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA)
Secara teori, lembaga peradilan – baik MK maupun MA - yang melakukan judicial
review hanya bertindak sebagai negative
legislator. Artinya, lembaga peradilan hanya bisa
menyatakan isi norma atau keseluruhan norma dalam peraturan perundang-undangan
itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Mereka tidak boleh menambah norma baru ke
dalam peraturan perundang-undangan yang di-judicial review. Permohonan
judicial review memiliki syarat yang lebih ketat dibanding legislative
review. Dalam judicial review, sebuah peraturan perundang-undangan
hanya bisa dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila memang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Dalam
trias politica dikenal tiga macam kekuasaan. Yakni, kekuasaan legislatif
(pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), dan
kekuasaan yudikatif atau peradilan (penegak undang-undang). Kewenangan judicial
review diberikan kepada yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif
dan eksekutif yang berfungsi membuat undang-undang.
No comments:
Post a Comment
setelah selesai membaca tolong dikomentari yah..... makasih