Berawal dari perjalanan yang penuh
lika-liku tajam nan bergelombang sehingga membuatku tegar dan kuat menghadapi
cobaan seperti sekarang. Perjalananku mencari jati diri sebenarnya diawali dari
sebuah cacian dan hinaan banyak orang. Namun tak pernah sedikitpun aku
menyerah, bahkan pasrah terhadap keadaan dan meringkuk meratapi nasih hdupku.
Aku, kau dan dia selalu membantuku dan menyemangatiku sehingga aku menjadi
manusia sebenarnya.
Saat aku menginjakkan kaki di MTs
Masa-masa MTs inilah aku mulai menuliskan
kisah hidupku yang kurasa semakin menarik bagiku sendiri. Perangai dan sifat
asliku yang pemalu, minder, bahkan bisa dikata kuper, tak pernah menjadikanku
dikenal orang dan teman sebayaku. Bahkan dengan tubuh mungilku dan warna hitam
kulitku sempat membuatku tak percaya diri. Mereka hanya mengenalku ketika
kusebutkan nama ayahku. ”Ohfs........ sungguh aku benar-benar kecil dan tak
berguna,” celotehku dulu.
Di saat pelajaran kelas mulai, aku hanya
bisa duduk manis mendengarkan ocehan-ocehan guru yang mendayu-dayu. Semakin
kudengarkan, semakin mata ini ingin menutup merelakan kepalaku tuk bersandar
dimeja sakralku. Nah, ketika guru mulai bertanya dan menjukkan jarinya ke
arahku, aku hanya bisa tersenyum, dan menjawab, ”mboten saget pak”. (sambil
menggeleng-gelengkan kepala). Atau mungkin aku menjawabnya tapi dengan sistem
pengawuran alias mengarang bebas. Aku malu sekali, aku terlihat sangat bodoh
saat itu. Begitupun hari-hari berikutnya tak jauh beda dengan hal itu. Namun,
meski begitu aku selalu masuk kelas unggulan (A) karena nilaiku tak terlalu
buruk, ya... kalau dihitung-hitung, masihlah dapat peringkat 12 an.
Setiap ada ajang perlombaan, aku tidak
pernah diikutsertakan, maklumlah gak punya kelebihan yang patut dipertandingkan
(hehe). Padahal dalam hati kecilku selalu merintih menginginkan aku dipilih
untuk mewakili perguruan. Houft.... itu semua hanyalah mimpi bagiku, entah
pantas dibilang mimpi baik atau justru mimpi buruk sepanjang hidupku. Berbeda
dengan adik perempuanku, dia selalu diikutsertakan dalam perlombaan MTQ karena
dia mewarisi ilmu mujawwad ayahku. Namun, aku tak pernah iri dengan dia, justru
aku bangga dengan kemampuannya karena aku dan dia bagaikan satu raga yang akan
sakit jika dia sakit dan akan bahagia jika dia bahagia.
Pada masa MTs ini pula, aku mulai membantu
ibuku membuat kerupuk rambak untuk membantu perekonomian keluarga. Pada
masa-masa awal usaha kerupuk ini, memang cukup menguras tenaga dan waktu.
Bayangkan saja, sejak jam 5 pagi aku harus mengantar kerupuk-kerupuk itu di
pasar. Dilanjutkan dengan beres-beres rumah, membantu masak dan ngiris gelondor
sampai pukul 11.30 terkadang belum selesai juga. Akhirnya aku sering telat
sekolah. Tapi tidak mengapa bagiku, jika ku ingat-ingat perjuangan bantu ibu
pada masa itu, aku tertawa meringis sendiri. Kadangkala tersbesit keinginan
untuk mengulang masa itu lagi.
Saat kelulusan tiba, hatiku gemetaran
sekali karena pengumuman kelulusan dibacakan lewat pengeras suara.
Dag-dig-dug......... lulus gak ya..... . alhasil ternyata nilai UNAS ku terbaik
nemer 2. Owh...... hatiku bergejolak ingin berteriak bahagia tapi tak kuasa,
ingin mengutarakan kebahagiaanku pada teman tapi tak mampu. Hanya ibu dan
bapakku lah yang menyemangatiku pada waktu itu.
Masa SMA, penuh dengan petualangan
Akhirnya lulus juga, terbesit dalam
pikiran untuk memasuki SMA Negeri Paciran yang katanya masih termasuk sekolah
unggulan lah. Hemmmm.... tapi aku mengurungkan niatku ke sana, aku lebih
tertarik ke dunia religi. Ahaha
ingin sekali aku ke pesantren darussalam Gontor-Mantingan (Lagi-lagi aku
bermimpi). Namun taka ada dukungan dari keluarga dan tak ada link ke sana
akhirnya aku masuk ke pesantren Roudhotul Ilmi Kertosono-Nganjuk. Yah....
alhamdulillah aku bisa mondok juga meski bukan itu impianku.
Hari demi hari kujalani di pesantren tak
pernah luput dari linangan air mata. Rinduku pada ibuk bapak tak pernah henti
bahkan semakin menjadi-jadi saat aku mencoba memikirkan hal lain yang
seharusnya aku prioritaskan, yakni belajar. Aku bersama sepupuku Fiya, kami
tidak pernah kerasan berada di sana mungkin karena kami belum terbiasa hidup di
lingkungan terikat seperti itu, jauh dari orang tua dan tak ada yang
memperhatikan kecuali kami sendiri. Tiap hari kami naik di lantai tertinggi
yang tak berpenghuni untuk mencurahkan segala isi hati yang terus bergolak tak
pernah henti.
Tak kuat rasanya jika hal itu aku
pertahankan karena dalam kelaspun kami sellau menangis. Bahkan pada saat
pertama kalinay saya ditujuk muhadhoroh pada giliran pertama, aku tak sanggup
berkata-kata karena menangis. Dalam hatiku mengatakan sungguh tega kalian yang
menunjukku dan tak mau mendengarkan keluh tak bisaku pada waktu itu. Nah, H+1
waktu penunjukan pembicara, aku memberanikan diri menelpon ibuk dan memintanya
agar menjemputku dari pesantren dengan alasan tidak kerasan.
Huft..... lega rasanya sesampai di rumah
dan bisa berkumpul bersama keluarga lagi. Akan tetapi dengan resmi pulangnya
aku di rumah, justru aku bingung mau ke mana setelah itu? Nah, akhirnya ada
tawaran mondok gratis bersama beberapa teman dari sedayulawas seperti Zilah,
Fiya, Ziroh, Umam, dll di al-hikmah Bangil. Wah, hatiku seneng banget pada
waktu itu akhirnya aku bisa lanjut tanpa membebani orang tuaku. Di Bangil, aku
mendapat posisi yang lumayan enak lah. Ustad-ustad di sana segan denganku
karena mungkin aku nurut dan tak terlalu bodoh berbahasa Arab selama di sana,
aku tidak merasakan kepahitan seperti yang kurasan saat di Kertosono.
Aktivitaspun berjalan sampai 3 bulan
lamanya, bahkan aku sempat pulang kampung bersama ustad dari Sedayulawas juga.
Karena pada saat itu yang diberi izin hanya aku sebab dari kesekian anak, aku
aja yang tidak menangis minta pulang. Heheh.
Namun setelah tiga bulan berlalu, keluargaku mendapatkan musibah. Ibunda
Umi Rohis tercinta sakit karena hamil. Bapak dan ibuk memintaku agar pulang tuk
sementara waktu agar bisa membantu pekerjaan rumah yang biasa dilakukan ibuk.
Selain itu akulah anak perempuan tertua dari mereka sehingga aku harus
mengabdikan diriku dikala mereka membutuhkan. Akhirnya aku pulang dengan
deraian air mata yang sungguh tak terkira.
Melihat
wajah ibuk yang sudah tak lagi menwan, air tak dapat ditelan olehnya, bahkan ia
harus menjadi kembang mbayang (kasur). Tak kuasa aku melihatnya, terbesit dalam
pikiranku ”jika ibuk meninggalkanku nanti, siapa yang akan menyayangiku lagi,
siapa yang akan mendukungku lagi, siapa yang akan merelakan tangannya untuk
kucium saat aku berangkat sekolah, siapa yang akan merawat kami sampai dewasa,
argh........ aku gak mau ibuk meninggal.”
Sebulan
telah berlalu, saatnya aku memasuki masa UTS di Bangil, tapi aku tak dapat
mengikutinya karena kondisi ibuk makin parah. Yah terpaksa harus aku relakan dengan cara izin
kepada ustad di sana.
Dressss...... hatiku sakit saat melihat
teman-teman sebayaku pulang pergi sekolah, aku ingin seperti mereka. Akhirnya
ibuk dan bapak memintaku agar aku berhenti dari Bangil.... owh...... Ya Allah....... apa aku harus
benar-benar berhenti sekolah...?
Apa aku harus meninggalkan pendidikan yang selama ini aku sudah nyaman di
sana. Tapi mau bagaimana lagi, bagiku orang tua lebih dari segalanya, ilmu bisa
dicari selama hayat masih dikandung badan. Setelah itu aku meminta izin pada
ustad untuk keluar dari pesantren meski ustad-ustad tidak mengizinkannya.
Selama
di rumah, aku menggantikan posisi ibuk membuat kerupuk dengan kakaku. Kami
berencana memperbanyaka air adonan dengan maksud supaya kerupuk menjadi banyak
dan labanya pun ikut banyak. Alhasil nihil, justru kerupuknya menjadi tek
berbentuk dan kami mengalami rugi besar-besaran. Terpaksa kami harus berhenti
dan menjadi pengangguran.
Selama sebulan lebih aku tidak sekolah, akhirnya bapak mendaftarkanku di MAM
Sedayulawas dengan modal nol. Bapak belum sanggup membayar uang pendaftaran dan
uang SPP alias ngutang dulu sama sekolahan.
(Next....... to be continue)