Penjelasan
merupakan suatu penafsiran/penjelasan resmi yang dibuat oleh pembentuk
peraturan perundang-undangan untuk mengetahui maksud latar belakang peraturan
perundang-undangan itu diadakan, serta untuk menjelaskan segala sesuatu yang
dipandang masih memerlukan penjelasan. Naskah Penjelasan peraturan
perundang-undangan, harus disiapkan bersama-sama dengan Rancangan peraturan
perundang- undangan yang bersangkutan. Penamaan dari
Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan, ditulis sesuai dengan nama
peraturan perundang-undangan yang dijelaskan. Dalam
praktik peraturan perundang-undangan di Indonesia biasanya mempunyai dua macam
Penjelasan yaitu:
1. Penjelasan Umum
berisi penjelasan yang bersifat umum, misalnya latar belakang pemikiran secara
sosiologis, politis, budaya, dan sebagainya, yang menjadi pertimbangan bagi
pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
2.
Penjelasan
Pasal demi Pasal, merupakan penjelasan dari pasal-pasal peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Penjelasan pasal demi pasal hendaknya
dirumuskan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.
Isi
penjelasan tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang
tubuh;
b.
Isi
penjelasan tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh;
c.
Isi
penjelasan tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam
batang tubuh;
d.
Isi
penjelasan tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat
di dalam Ketentuan Umum.
e.
Apabila
suatu pasal tidak memerlukan penjelasan, hendaknya diberikan keterangan “Cukup
Jelas”.
Jika Lembaran
Negara digunakan sebagai tempat mengundangkan “isi” atau teks peraturan
perundang-undangan, maka Tambahan Lembaran Negara untuk memuat Penjelasan
Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, dan Peraturan
Pemerintah.
Sistematika
peraturan merupakan jalinan berbagai ketentuan yang terklasifikasi secara tepat
dan urutan yang teratur. Klasifikasi tersebut pada umumnya menggunakan kerangka
yang mirip dan komponen-komponen kerangka tersebut diatur dalam bagian lampiran
Undang-undang No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(UU no.10/2004).
Sistematika
peraturan terdiri dari dua kerangka dasar, kerangka formal dan kerangka
materil. Dua kerangka ini tidak saling bertentangan, namun saling melengkapi.
Perbedaan antara keduanya terletak pada unsur-unsur yang menjadi penopangnya. Kerangka
formal menyediakan wadah untuk mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
a.
Identitas
peraturan;
b.
Konteks
sosial lahirnya perraturan;
c.
Para
pihak yang bertanggung jawab melahirkan peraturan tersebut;
d.
Peraturan
induk yang berkaitan langsung dengannya;
e.
Isi
peraturan;
f.
Relasinya
dengan peraturan-peraturan lain; dan
g.
Waktu
peraturan tersebut berlaku di dalam masyarakat.
Dalam
istilah yang lebih khusus tiap unsur tersebut adalah:
a.
Judul;
b.
Pembukaan;
c.
Batang
Tubuh;
d.
Penutup;
e.
Penjelasan
(biasanya hanya ada dalam Undang-undang); dan
f.
Lampiran
(bila diperlukan).
Isi utama sebuah
peraturan berada dalam bagian Batang tubuh. Batang tubuh memuat
ketentuan-ketentuan normatif. Ketentuan tersebut menjadi pedoman bagi tiap
orang yang dituju oleh peraturan. Perbedaan dari setiap peraturan mulai dari
keluasan ruang lingkup, daya jangkau terhadap pihak-pihak yang dituju sampai
dengan tingkat kerincian pengaturannya.
Komponen
ketentuan yang terdapat dalam sebuah peraturan lengkap, terdiri dari:
a.
Kelompok
ketentuan definisi;
b.
Kelompok
ketentuan utama;
c.
Kelompok
ketentuan pelaksanaan atau penegakan;
d.
Kelompok
ketentuan sanksi;
e.
Kelompok
ketentuan penyelesaian sengketa;
f.
Kelompok
ketentuan pembiayaan atau penyediaan fasilitas pendukung; dan
g.
Kelompok
ketentuan teknis.
Penjelasan
merupakan uraian dari pembentuk peraturan. Melalui penjelasan pihak-pihak yang
dituju oleh peraturan akan mengetahui tentang latar belakang pembentukan
peraturan, maksud dan tujuan pembentukan peraturan, dan segala sesuatu yang
dipandang oleh pembentuk peraturan perlu dijelaskan (hanya Undang-undang yang
memuat bagian penjelasan).
Penjelasan
biasanya terdiri dari dua bagian. Pertama, Penjelasan Umum yang berisikan
uraian naratif tentang masalah sosial yang menjadi perhatian dan hendak
diselesaikan, penyebab-penyebab munculnya masalah tersebut, dan jalan keluar
yang menjadi pilihan pembentuk undang-undang. Kedua, Penjelasan Per Pasal.
Bagian ini merupakan uraian naratif tentang hal-hal yang dipandang perlu. Yakni
menjelaskan dasar pemikiran, menjabarkan pengertian, atau memberikan
contoh-contoh yang relevan untuk ketentuan-ketentuan yang ada dalam pasal-pasal
pertauran tersebut.
Tidak semua
pasal memerlukan penjelasan. Biasanya hanya sebagian kecil saja. Suatu anjuran
yang perlu menjadi perhatian dalam merancang peraturan, yakni usahakan setiap
ketentuan tidak memerlukan penjelasan lagi. Penjelasan dapat menyulitkan
pemahaman para pengguna. Tidak jarang penjelasan pasal malah menimbulkan
semakin banyak penafsiran. Dengan kata lain, penjelasan dapat mempengaruhi efektifitas pelaksanaan
peraturan.
Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun
2004, disebutkan mengenai penjelasan sebagai berikut:
E. PENJELASAN
148. a.
Setiap Undang-Undang perlu diberi penjelasan.
b. Peraturan Perundang-undangan di bawah
Undang-Undang dapat diberi penjelasan, jika diperlukan.
149.
Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan Perundang- undangan atas norma tertentu dalam
batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya
memuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian, penjelasan
sebagai sarana untuk memperjelas norma
dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan.
150.
Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu,
hindari membuat rumusan norma di dalam
bagian penjelasan.
151. Dalam
penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
152. Naskah
penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
153. Judul
penjelasan sama dengan judul Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Contoh:
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ...
TAHUN ...
TENTANG
KESEJAHTERAAN ANAK
154. Penjelasan Peraturan Perundang-undangan memuat
penjelasan umum dan penjelasan pasal
demi pasal.
155. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi
pasal diawali dengan angka Romawi dan
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh:
I. UMUM
II.
PASAL DEMI PASAL
156. Penjelasan umum meMuat uraian secara sistematis
mengenai latar belakang pemikiran, maksud,
dan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta
asas-asas, tujuan, atau
pokok-pokok yang terkandung dalam batang tubuh Peraturan Perundang- undangan.
157. Bagian-bagian dari penjelasan umum dapat diberi
nomor dengan angka Arab, jika hal ini
lebih memberikan kejelasan.
Contoh:
I. UMUM
(1) Dasar
Pemikiran
...
(2)
Pembagian Wilayah
...
(3)
Asas-asas Penyelenggara Pemerintahan
...
(4) Daerah
Otonom
...
(5)
Wilayah Administratif
...
(6)
Pengawasan
...
158. Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke
Peraturan Perundang-undangan lain atau dokumen
lain, pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya.
159. Dalam menyusun penjelasan pasal demi pasal harus -
diperhatikan agar rumusannya:
a. tidak
bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
b. tidak
memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh;
c. tidak
melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
d. tidak
mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum.
160. Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau
definisi dari kata atau istilah,
tidak perlu diberikan penjelasan karena itu batasan pengertian atau definisi harus dirumuskan sedemikian rupa
sehingga dapat dimengerti tanpa memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
161. Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan
penjelasan ditulis frase Cukup jelas yang
diakhiri dengan. tanda baca titik, sesuai dengan makna frase penjelasan pasal demi pasal tidak digantungkan
walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang
tidak memerlukan penjelasan.
Contoh
yang kurang tepat:
Pasal 7,
Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9)
Cukup jelas,
Seharusnya
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
162. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau
butir tidak memerlukan penjelasan, pasal
yang bersangkutan cukup diberi penjelasan. Cukup jelas., tanpa merinci masing-masing ayat atau butir.
163. a. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau
butir dan salah satu ayat atau butir tersebut
memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai.
Contoh :
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada hakim dan
para pengguna hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
b. jika
suatu istilah/kata/frase dalam suatu pasal atau ayat yang memerlukan penjelasan, gunakan
tanda baca
petik (“...”) pada istilah kata/frase tersebut.
Contoh :
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa
reses.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
No comments:
Post a Comment
setelah selesai membaca tolong dikomentari yah..... makasih