Thursday, December 29, 2011

Mulutmu Harimaumu

Teliti dalam Berbicara
 
Merupakan suatu kenikmatan dan anugrah dari Sang Ilahi manakala kita diberi kesempatan untuk berbicara dan mengeluarkan kata-kata. Sehingga patutlah kita selalu bersyukur dan berbakti kepadaNya. Namun, banyak sekali diantara kita yang senantiasa menyalahgunakan anugerah tersebut. Anugerah lisan atau lidah yang yang sempurna.
Coba kita tengok, ratusan bahkan beribu manusia terbunuh jasmani dan rohaninya karena ulah lisan kita. Tentu sedikit sekali diantara kita yang sadar betapa hinanya lidah ini bilamana kita lalai dalam memanfaatkanya. Sehingga ada pepatah lama mengatakan lidah lebih tajam dari pada pedang. Kata mutiara ini tak dapat kita pungkiri kebenaranya. Karena sosok untaian kata yang keluar dari mulut kita akan cepat tersebar baik melalui first to first, media cetak ataupun media elektronik
            Tak heran jika di dunia ini banyak sekali timbul penyakit- penyakit aneh dan tak mampu terdeteksi oleh medis. Bisa jadi hal itu karena begitu banyaknya dosa- dosa mulut kita. Mulut yang selalu kita manjakan untuk terus menyakiti saudara kita sendiri, bahkan membunuh mereka. Sehingga tuhan menurunkan adzabnya. Sebab di aliran darah kita telah hinggap ruh- ruh syetan durjana.
            Pembunuhan secara halus ini akan berakibat fatal bahkan sampai terjadi melayangnya nyawa berjuta manusia. Peristiwa ini tak hanya dilakukan oleh orang yang tak beragama saja. Pembunuhan seperti ini senantiasa menghinggapi jiwa manusia baik kecil, besar, kaya, miskin, orang awam bahkan orang berilmu.
Membunuh dengan lidah sungguh lebih kejam dan menyakitkan dari pada membunuh dengan pedang ataupun golok. Sebab membunuh dengan pedang akan cepat selesai perkaranya tanpa membutuhkan waktu yang bertahun- tahun. Cukup diberi hukuman setimpal dan perkara akan selesai. Namun manakala lisan yang memfitnah diri seseorang , sampai tujuh turunanpun akan terus melekat rasa sakitnya. Oleh sebab itu teliti dalam berbicara adalah kunci keselamatan dunia.
 

PERLU BERFIKIR BIJAK DALAM MEMILIH




Tuesday, December 13, 2011

UNTUKMU WAHAI YANG ADA DI SEBERANG SANA

ku harap saat kamu buka blog ini atau fbku, kamu sedikit melebarkan bibirmu seraya tersenyum padaku, meski itu aku tidak tahu. tak ada contac, tak ada kabar, tak ada pula "sesuatu". menurutmu inilah yang terbaik. terbaik mungkin buatmu, bukan buatku. salam sayang dan rinduku pada kamu sekeluarga, semoga limpahan rahmat serta cinta kasih Allah senantiasa tercurahkan pada kalian semua. aku tak bisa banyak berucap, karena takut salah atau segalanya. aku hanya berharap dengan sangat semoga kamu selalu bahagia.




dari yang selalu menantimu

teddy bear

Friday, December 9, 2011

Ilmu Kalam

Ahlus Sunnah Penengah Umat Islam
Firman Allah ta’ala yang artinya:
“ Dan demikianlah kami telah menjadikan kamu ummat penengah (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi " (al-baqarah: 143)
Dalam hal ini ahlus sunnah menjadi penengah dalam lima persoalan yakni:
1. Asma’ wa sifat
Penengah antar golongan jahmiyah dan golongan musyabbihah:
• Jahmiyah yakni golongan yang mengingkari serta meniadakan sifat-sifat Allah (ta’thiel) dengan alasan takut terjerusmus pada tasybieh (penyerupaan)
Kaum mu’tazilah meniadakan dalil-dalil yang menunjukkan adanya sifat, sedangkan kalangan asy’ariyah meniadakan sebagian sifat dan menetapkan sebagian pula.
• Ahlus sunnah yakni menetapkan sifat-sifat Allah berdasarkan dalil serta meniadakan penyerupaan dengan sifat-sifat makhluk.
• Musyabbihah yakni menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk.
Maha tinggi Allah dari penyerupaan mereka dan maha sici dari apa yang mereka persekutukan
2. Perbuatan hamba
Penengah antar jabariyah dan qodariyah:
• Jabariyah: pengikut jahm, menidakan usaha hamba yang ikhtiari, serta mengatakan bahwa perbuatan hamba itu terpaksa, sebab ia merupakna pancara dari perbuatan Allah semata (fatalisme)
• Ahlus sunnah: berpendapat bahwa hamba mempunyai kekuatan dan kemauan untuk berbuat seperti apa yang telah diberikan Allah kepadanya. Agar perbuatnnya menjadi kenyataan bukan analogi dengan keyakinan bahwa hanya Allahlah pencipta segala sesuatu
• Qadariyah: berpaham bahwa hambalah yang bebas berbuat segala perbuatannya sendiri serta mengerjakan kehendaknya tanpa campur tangan Allah (free will and free act)
3. Ancaman tuhan
Penengah antar murjiah dan wa’idiyah dari kalangan qadariyah:
• Murjiah berpendapat bahwa dosa-dosa tidak membahayakan iman. Manusia sama saja, yang jahat maupun yang baik. Orang yang mengerjakan dosa besar tidak disiksa sebab amal perbuatan itu tidak termasuk kategori iman.
• Ahlus sunnah: mengatakan bahwa barang siap yang mengerjakan dosa besar diantara orang-orang mukmin, imannya berkurang dan disebut golongan fasiq bukan kafir. Jika mati dalam keadaan berdosa besar , berada dalam kehendak tuhan (fi ma’syiatillah), jika Dia berkehendak disiksa dan jika berkehendak diampuni.
• Wa’diyah: berkata bahwa yang mngerjakna dosa besra, bila mati tidak bertaubat, kekal di dalam neraka karena sudah keluar dari iman secar total.
4. Nama-nama iman dan agama
Penengah antara kaum hawarij, hururiyah dan mu’tazilah:
• Khawarij, hururiyah dan mu’tazilah: berpendapat bahwa orang-orang yang mengerjakan dosa besar akan kekal di nerakan, jikalau mereka belum bertaubat sampai matinya. Dan mereka dianggap tidak beriman lagi (kafir)
• Ahlus sunnah: mengatakan bahwa mereka yang mengerjakan dosa besar itu imannay berkurang menurut kadar dosanya dan urusannya di akherat nanti tergantung kepada ma’syiatillah
• Murjiah dan jahmiyah: mengatakan bahwa mereka tetap sempurna imannya, tiada menerima siksa bahkan imannay tetap utuh sebagaimana imannya para nabi. Sedangkan golongan mu’tazilah dalam hal ini berkata bahwa kedududkan mereka itu dalam dua alternatif, antara iman adan kafir, yakni tidak boleh disebut mukmin dan juga tidak boleh disebut kafir.

5. Sahabat-sahabat nabi SAW
Penengah antara kaum rafidhoh dan khawarij
• Rafidhoh: mencela dan melknat para sahabat nabi, mengkafirkan sebagian dari mereka dan mengangkat ali di atas derajat lainnya. Mereka berkata kepada Zaid bin ali bin husain: “kamu berlepas diri dari abu bakar dan umar. ” zaid menjawab: “malahan aku menurt perntah mereka. Aklu akan berlepas diri dari orang yang berlepas diri dari kaduanya,” mereka menjawab: “maka kami akan membuang kamu”.
karena itulah mereka disebut kam rafidhoh. Az zaidiyah berkata sebagaimana zaid mengatakan. Maka pengikut-pengikut faham ini di sebut az zaidiyah. Syi’ah terjadi pada masa ali dan ada tiga kelompok:
 Gholiyah
Pada suatu ketika, ali keluar dari pintu kamar, lalu mereka bersujud kepadanya. Ali berkata: “apa apan kalian ini? Mereka menjawab: “kamu adalah Allah.”
Kemudian mereka dibakar ditempat itu juga karena kekafirannya
 Sabaiyah
Abdullah bin saba’ adalah orang yahudi yang snegaja mau merusak islam dari dalam (infiltrasi) . di mana dia mencela abu bakar dan umar. Ali menyuruh membunuh dia tetapi dia lari ke suriah. Pengkutnya disebut sabaiyah.
 Mafaddholah
Melebih-lebihkan ali dari sahabat lainnya. Ali berkata: “aku tidak pernah menyuruh seseorang untuk melebih-lebihkan aku dari abu bakar dan umar. Siap yang berbuat begitu aku akan menghukumnya(dera).
• Ahlus sunnah: mengakui keutamaan para sahabat, rela dengan apa yang telah mereka lakukan dalam membantu perjuangan rasulullah saw. Dalam rangka menegakkan islam dan dakwah, srta mencela siapa yang melebih-labihkan satu dengan lainnya.
• Khowarij: mengkafirkan usman, ali dan mu’awiyah dan banyak lagi dari sahabat nabi lainnya. Bahkan mereka menghalalkan darah dan harta para sahabat itu

Sunday, December 4, 2011

Dunia Belum Berakhir


sebuah hal yang tak mudah bagiku menerima ketentuan yang sangat mengejutkan, mengerikan, membuat galau dan hampir patah semangat. Tapi jika ku pikir lebih lanjut, sikapku yang demikian justru akan membunuhku dalam aktu yang sangat singkat. Ya Robby kuatkan hambaMu ini, aku akan berusaha menerima segala ketentuan dariMu, hamba pasrah dengan balutan tawakkal. aku yakin kok ini hanyalah merupakan ujian semata bagiku, dengan adanya ini apakah aku bisa lebih baik atau justru semakin lupa..
Allah,,,,, hanya Kaulah penolong kami, pelindung kami, curahan batin dan galau kami, segala obat hanyalah dariMu, semua kepastian hanyalah milikMu. Namun Tuhanku, perkenankanlah aku untuk hidup seperti layaknya wanita lainnya, membahagiakan ayah bunda, membahagiakan ayah bunda sebelum mereka wafat, serta membaggakan anak-anakku kelak. Tuhan, hanya Kaulah penolong hamba,,,, Kaulah tempat hamba bersimpuh haturkan segala keluh kesah dan curhatkan semua kegalauan dan dosa-dosa.

Friday, November 11, 2011

Fiqih Munakahat


 
DASAR-DASAR PERKAWINAN
YANG MERUJUK PADA AL-QUR’AN


I.          Pendahuluan
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku bagi semua makhluknya baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Menikah merupakan suatu jalan yang dipilihkan oleh Allah supaya makhluk-Nya berkembang biak dan melestarikan hidupnya.
فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الأنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Adapun sikap enggan mebina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil dan tidak yakin bahwa Allah Maha Kuasa. Sebab semua rizki sudah diatur oleh Allah untuk manusia sejak dalam kandungan, bahkan sampai binatang melata pun Allah yang memberi rizkinya. Allah berfirman dalam surat Hud ayat 6;
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhmahfuz).
Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada hambanya yang menikah dalAm firman-Nya;
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nūr : 32)
II.       Rumusan Masalah
Pada dasarnya menikah adalah perintah Allah dan Rasull-Nya. Tentunya ada dalil-dalil yang menunjukan anjuran tersebut baik menurut Kitabullah ataupun hadits.
Namun dalam pembahasan makalah ini hanya akan dibahas beberapa permasalahan mengnai dasar-dasar dari pernikahan itu sendiri yang merujuk pada al-Qur’an al-Karim, diantaranya:
a.    Definisi nikah
b.    Tujuan Nikah
c.    Hukum Nikah
Dari beberapa permasalahan inilah akan dimunculkan beberapa dalil yang meruju pada al-Qur’an dan akan menjadi pembahasan pada al-Qur’an dan akan menjadi pembahasan pada bab ini.
III.    Pembahasan
A. Definisi Pernikahan.
Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mītsaqan ghalildzan untuk mentaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.[1] Sedangkan arti nikah menurut bahasa yaitu berkumpul atau menindih. Contohnya, perkataan mereka tanakahat al-asyjar, artinya pohon-pohon saling berkumpul, tindih  menindih satu sama lainnya. Arti nikah secara syar’i adalah akad perkawinan (‘aqdut tazwij), artinya akad dengan ucapan nikah atau kawin atau terjemahannya.
B. Tujuan Pernikahan
Pada dasarnya tujuan pernikahan bergantung pada masing-masing individu yang akan melakukannya karena lebih bersifat subyektif. Namun pada umumnya tujuan pernikahan adalah memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraanlahir batin menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Adapun secara terpeinci tujuan nikah diantaranya melaksanakan libido seksualitas (تغيد الوطء). Dalam hal ini semua manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki insting sexual, hanya kadar dan intensitasnya yang berbeda. Dengan adanya pernikahan, seorang laki-laki sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 223:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
Selain itu memperoleh keturunan juga merupakan salah satu tujuan nikah. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa mempunyai anak bukanlah suatu kewajiban melainkan amanah dari Allah SWT. Walaupun dalam realitanya ada seseorang ada seseorang yang ditakdirkan untuk tidak punya anak. Firman Allah dalam surat al-Syura : 49-50 dan surat al-Nisā’ ayat 1.
 لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ.
أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ.
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki,
atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. النساء
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Memperoleh kebahagiaan dan ketentraman (طلب السعادة) juga sangat urgen keberadaannya. Dengan keluarga yang bahagia dan sejahtera akan dapat mengantarkan pada ketenagnan dan kekusu’an beribadah.
Allah berfirman dalam surat al-A’raf ayat 189:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur".
Adapun tujuan pernikahan yang kelima adalah kaena semata-mata menjalankan perintah Allah (امتثل اوامرالله). Hal ini sesuai dengan firman Allah surat al-Nisā’ ayat 3 yang intisarinya menyuruh kita untuk menikah bila telah mampu. Selain itu Rasulullah juga bersabda dalam hadisnya:
عن ابن مسعود رضي اللّه تعالى عنه قال ‏ "‏قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم يا معشر السباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء‏"
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang mempunyai kemampuan, maka hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu."[2]
Sedangkan firman Allah berbunyi:
.... فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ ......
..maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. ...
C. Hukum Pernikahan
Mengenai hukum dalam pernikahan, segolongan fuqaha berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnah. Sedangkan golongan Dzahiri berpendapat bahwa nikah itu wajib.
Sedangkan pera ulama mata’akhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib bagi sebagian orang, sunnah untuk sebagian, dan mubah untuk sebagian jauga. Demikian itu disebabkan karena adanya kekhawatiran terdapat kesusahan pada dirinya.
Perbedaan pendapat ini disebabkan, apakah bentuk kalimat perintah dalam hadits maupun al-Qur’an bersifat wajib, sunnah ataupun mubah. Ayat-ayat tersebut diantaranya:
..... فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ ......
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Berdasarkan uruian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hukum nikah itu bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi pelakunya.
1.         Wajib
Nikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu dan nafsunya telah mendesak, serta takut terjerumus dalam perzinaan. Menjauhkan diri dari perbuatan haram adalah wajib. Sunnah
Bagi orang yang mau menikah dan nafsunya kuat, tetapi masih mampu mengendalikan diri dari perzinaan, maka hukumnya sunnah. Namun nikah lebih baik daripada berdiam menekuni ibadah, karena menjalani hidup sebagai pendeta (anti nikah) atau betapa tidak sama sekali menikah tidaklah dibenarkan dalam Islam.
Nikah ini merupakan sunnah para Rasul, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri dan anak turunan.” (Al-Ra’d: 38)
2.         Haram
Bagi orang yang tidak menginginkannya karena tidak mampu memberi nafkah baik lahir maupun batin. Menikah hanya untuk menyakiti isteri dan dia berkeyakinan nahwa jika menikah maka ia akan murtad, maka nikah itu hukumnya haram.
3.         Mubah
Bagi laki-laki yang tidak terdesak alasan-alasan yang mewajibkan segera nikah atau yang menyebabkan harusnya nikah maka nikah itu hukumnya mubah.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Abidin, Slamet. Fikih Munakahat 1 & 2. Pustaka Setia: Bandung, 1999.
Al-Hafizh ibn Hajar al-Asqalaniy, Mukhtashar at-Targhib wa Tarhib, (ttp), 1985.
Asyqor, Umar Sulaiman, Ahkamuz Zawaj, Dar al-Nafa’is, 1997.
Barudi, Imad Zaki Al-, Tafsir Al-Qur’an Wanita 2, Pena Pundi Aksara: Jakarta, 2007.
Muslim al-Naysaburi, Al-Imam Abi Husayn Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusayri, Sahih Muslim, Juz I, ( Bayrut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992).
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani: Jakarta, 1989.



[1]  Ramulyo Idris, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 70.
[2] Al-Hafizh ibn Hajar al-Asqalaniy, Mukhtashar at-Targhib wa Tarhib, (ttp), 1405 H = 1985 M.

Hak dan Kewajiban Orang Tua


BAB I
PENDAHULUAN


Orang tua merupakan sosok terpenting dan paling berjasa dalam sejarah kehidupan manusia. Kehadiranya sungguh tak ternilai harganya. Pengorbananya pun tidak terkira dan tidak terhingga besarnya. Semua waktu, tenaga dan harta ia korbankan hanya untuk memberikan kebahagiaan bagi sang buah hatinya. Pendidikan dan pembimbingan terhadap putra-putrinya pun selalu ia lakukan hanya agar putra-putrinya nanti mampu menjadi seorang yang sukses baik di dunia maupun di akhirat kelak
   Oleh sebab itulah Islam benar-benar menjunjung tinggi kedudukan orang tua terutama ibu. Karena ibu adalah sosok wanita yang paling dimuliakan oleh Rasulullah. Sampai-sampai kedudukan ibu lebih tinggi tiga derajat dibandingkan dengan ayah. Namun demikian sang anak juga tidak boleh semena-mena terhadap ayahnya karena bagitupun ayah adalah sosok pria yang sejak kecil menafkahi kebutuhan keluarga, memberikan kasih sayang dan karena benih yang ditanam olehnya akhirnya jadilah seorang anak atas idzin Allah.
   Berbicara mengenai birrul walidain di zaman modern ini, ternyata masih banyak sekali anak yang tidak mengetahui betapa besar jasa orang tua mereka. Sehingga penghormatan terhadapnya tidak sedikitpun tertoreh di benak sang anak. Sikap kasar berbalut benci selalu di luncurkan di wajah dan ditusukan kedalam hati mereka. Seakan-akan mereka adalah musuh terbesar dalam kehidupan.
   Padahal Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan tentang tata cara bergaul dengan orang tua. Bahkan ketika sang anak merasa capek atau bahkan orang tua melakukan kesalahan, maka seorang anak tidak boleh mengucapkan kata-kata kasar, walaupun hanya dengan kata ‘ah’. hal ini telah diatur Allah dalam firmanya surat Al-Isra’ ayat 23 yang terjemahanya “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
Perkara sepele inilah yang menjadi suatu hal lumrah bagi anak-anak masa kini. Orang tua seolah-olah merupakan pembantu pribadinya. Mereka seakan akan tidak mampunyai kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu birrul walidain. Membentak-bentak seenaknya, meminta uang tanpa kenal waktu, membohongi, menipu, bahkan ada juga yang tega membunuh orang tuanya hanya karena tidak diberi uang jajan. Sungguh ironis peristiwa ini.
Tela’ah sejenak mengenai kisah Alqomah, dia seorang ahli ibadah dan terkenal kebaktiannya pada sang ibu. Namun disuatu ketika Alqomah melebihkan sesuatu perhatian kepada istrinya, Ibunyapun merasa dikecewakan dan ibunya tidak mau memaafkan sikap Alqomah, di suatu ketika ia tertahan ketika sakarotul maut. Kemudian Rasulullah menyakan sekiranya ibu tidak mau memaafkan anaknya yang sedang anak, maka anak itu akan dibakar hidup-hidup. Membayangkan kesengsaraan anaknya yang akan dibakar tersebut, hati ibupun luluh dan mencair. Akhirnya, Alqamah meninggal dunia dengan mendapat kemaafan ibunya dan mati dalam husnu al-khatimah.
Begitu erat hubungan antara anak, ibu dan Allah, sampai-sampai Rasulullah menjelaskan dalam hadisnya bahwa surga itu dibawah telapak kaki ibu. Namun demikian orang tuapun mempunyai kewajiban yang harus dilakukan terhadap anak diatarinya menyayangi, merawat dan mendidik anak hingga usia dewasa. Karena sekarang ini banyak sekali orang tua yang kelakuanya seakan-akan menjerumuskan dan menggiring anak dalam jurang kenistaan. Padahal seharusnya orang tua memberi contoh yang bijak bagi anak-anak mereka untuk mencapai ridha Allah.

BAB II
RUMUSAN MASALAH


Rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan makalah kali ini adalah:
1.    Apa definisi dan dasar-dasar birrul walidain yang merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah?
2.    Apa saja hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya?
3.    Apa saja hak dan kewajiban anak terhadap orang tuanya?


BAB III
PEMBAHASAN


1. Dasar-dasar dan Definisi Birrul Walidain
Berbakti kepada kedua orang tua atau yang sering dikenal dengan istilah birrul walidain menurut konsep Islam hukumnya wajib. Makna Birrul Walidain yaitu menjaga, memelihara dan mematuhi perintah kedua orang tua, dalam artian peintah tersebut tidak bersifat maksiat. Allah mewasiatkan kepada umatnya :
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".[1]
             
Allah juga menggabungkan antara perintah perintah berbuat baik terhadap kedua orang tua dengan perintah beribadah kepada-Nya. Hal ini menunjukan betapa besar nilai dan agungnya hak mereka, serta wajibnya berbuat baik terhadap keduanya. Allah berfirman SWT berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.[2]

Birrul walidain merupakan amalan yang paling dicintai Allah setelah perintah sholat. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud ra. Katanya, “aku pernah bertanya kepada Rasulullah, amalan apakah yang paling dicitai Allah? Rasul menjawab “sholat pada waktunya,” aku bertanya lagi “kemudian apa lagi?” beliau bersabda, “berbakti pada kedua orang tua.” Akupun bertanya lagi, “kemudian?” beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.”[3]
Selain itu birrul walidain juga merupakan salah satu penyebab seseorang dapat masuk surga. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Rasululah bersabda:
حدثنا شيبان بن فروخ. حدثنا أبو عوانة عن سهيل، عن أبيه، عن أبي هريرة،عن النبي صلى الله عليه وسلم. قال "رغم أنف، ثم رغم أنف، ثم رغم أنف" قيل: من؟ يا رسول الله! قال "من أدرك أبويه عند الكبر، أحدهما أو كليهما فلم يدخل الجنة".
“Betapa hina diri seseorang, betapa hina diri seseorang, betapa hina diri seseorang.” Rasulullah ditanya, “Siapa dia wahai Rasul?” beliau menjawab, “Orang yang bertemu salah satu atau kedua orang tuanya tatkala berusia lanjut kemudian tidak masuk surga.”[4]
Selain itu keridhaan Allah itu ada pada keridhaan kedua orang tua, begitu juga sebaliknya kemurkaan Allah berada pada kemurkaan kedua orang tua . Rasulullah bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak menyebutkan tentang ancaman durhaka kepada kedua orang tua. Bahkan beliau nyatakan bahwa hal itu termasuk dosa besar. Abu Bakrah radhiallahu 'anhu menyampaikan ucapan beliau ini:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الكَبَائِرِ ؟ قُلْنَا : بَلَى يَا رَسُوْلَ الله. قَالَ ثَلاَثًا  الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الوَالِدَيْنِ  وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ. أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ  فَمَا زَالَ يَقُوْلُهَا حَتَّى قُلْتُ لاَ يَسْكُتُ.
“Tidakkah kalian ingin aku kabarkan tentang dosa besar yang paling besar?” Kami menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau pun berkata tiga kali, “Menyekutukan Allah dan durhaka terhadap kedua orang tua.” Semula beliau dalam keadaan bersandar, lalu beliau pun bangkit duduk dan mengatakan, “Ketahuilah, ucapan dusta dan saksi palsu! Ketahuilah, ucapan dusta dan saksi palsu!” Beliau terus-menerus mengatakan hal itu hingga aku berkata, “Andaikan beliau diam.” [5]..
Dalam teks hadits lain, Nabi Saw pernah menyatakan secara eksplisit bahwa durhaka itu haram, dan bisa mengakibatkan seseorang su’u al-khatimah (meninggal dalam keadaan sesat).

2.    Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua
Pada dasarnya, kewajiban seorang anak merupakan hak bagi orang tua begitu pula sebaliknya hak anak adalah merupakan kewajiban dari orang tua sendiri.
Diantara kewajiban anak untuk berbakti pada orang tuanya dibagi menjadi dua yaitu ketika mereka masih hidup dan sesudah mereka wafat.
A.  Saat  Orang Tua Masih Hidup
1.    Menaati mereka selama tidak mendurhakai Allah.
Ta’at, patuh dan hormat pada kedua orang tua merupakan kewajiban bagi setiap anak Adam(manusia). Sedangkan mendurhakai keduanya merupakan perbuatan yang diharamkan, kecuali jika mereka menyuruh untuk berbuat syirik atau bermaksiat kepada Allah. Allah berfirman, artinya, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, ….”[6].
Rasulullah SAW. bersabda, “Tidak ada ketaatan untuk mendurhakai Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam melakukan kebaikan”.[7]
Adapun contoh bentuk ketaatan pada orang tua diantaranya:
a)    Apabila orang tua meminta makan maka anak wajib memberikan
b)   Memberikan sesuatu yang diinginkan orang tua baik yang diminta atupun tidak
c)     Segera mendatangi panggilan orang tua
d)    Melaksanakan semua perintah orang tua asalkan buka perintah maksiat
e)    Tidak membentak, menghardik, memukul bahkan membunuh orang tua mnskipun orang tua salah
Berbakti terhadap kedua orang tua dapat direalisasikan dengan berbagia bentuk. Di antara bakti terhadap kedua orang tua adalah menjauhkan ucapan dan perbuatan yang dapat menyakiti mereka, walaupun berupa isyarat atau dengan ucapan ‘ah’, tidak mengeraskan suara melebihi suara mereka, mendahulukan keperluan orang tua dari pada keperluan pribadi.
2.    Berbakti terhadap kedua orang tua dapat direalisasikan dengan berbagai bentuk.  Diantara wujud lain dari pada bakti pada orang tua diantaranya
a)    Tidak berkata “ah” dan tidak mengeraskan suara melebihi suara orang tua
b)   Tidak mendahului jalan orang tua
c)    Mendahulukan keperluan orang tua dari pada keperluan pribadi
d)   Tidak berkata kasar
3.    Meminta izin kepada mereka sebelum berjihad dan pergi untuk urusan lainnya.
Amat penting kedudukan izin kepada orang tua dalam masalah jihad. Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah apakah aku boleh ikut berjihad?” Beliau balik bertanya, ‘Apakah kamu masih mempunyai kedua orangtua?’ Laki-laki tersebut menjawab, ‘Masih’. Beliau bersabda, ‘Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya’. [8]
4.    Memberikan nafkah kepada orang tua
Beberapa ayat dalam Al Qur’an yang membahas tentang hal ini adalah Al Baqarah ayat 15 dan Ar-Rum ayat 38. Rasulullah SAW. pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata, “Ayahku ingin mengambil hartaku”. Nabi SAW. bersabda, “Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu.” [9]
Oleh sebab itu, hendaknya seorang anak tidak  bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang menyebabkan keberadaan dirinyaatas izin Allah, memeliharanya ketika kecil, serta telah berbuat baik kepadanya.
5.    Memenuhi sumpah/nadzar kedua orang tua
Jika kedua orang tua bersumpah untuk suatu perkara tertentu yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan maksiat, maka wajib bagi seorang anak untuk memenuhi sumpah keduanya karena hal itu termasuk hak mereka.
6.     Mendahulukan berbakti kepada ibu dari pada ayah.
حدثنا قتيبة بن سعيد: حدثنا جرير، عن عمارة بن القعقاع بن شبرمة، عن أبي زرعة، عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، من أحق الناس بحسن صحابتي؟ قال: (أمك). قال: ثم من؟ قال: (ثم أمك). قال: ثم من؟ قال: (ثم أمك). قال: ثم من؟ قال: (ثم أبوك). وقال ابن شبرمة ويحيى بن أيوب: حدثنا أبو زرعة: مثله.
Seorang lelaki pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapa yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?” beliau menjawab, “Ibumu.” Lelaki itu bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau kembali menjawab, “Ibumu”. Lelaki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu”. Lalu siapa lagi? Tanyanya. “Ayahmu,” jawab beliau.” [10]

Hadits di atas tidak bermakna lebih menaati ibu dari pada ayah. Sebab, menaati ayah lebih didahulukan jika keduanya menyuruh pada waktu yang sama dan dalam hal yang dibolehkan syari’at. Alasannya, ibu sendiri diwajibkan taat kepada suaminya.
Maksud lebih mendahulukan berbuat baik kepada ibu dalam hadits tersebut adalah bersikap lebih halus dan lembut kepada ibu daripada ayah. Sebagian Ulama salaf berkata, “Hak ayah lebih besar dan hak ibu patut untuk dipenuhi.”
7.    Mendahulukan berbakti pada orang tua dari pada berbuat baik pada istri
 Di antara hadits yang menunjukkan hal tersebut adalah kisah tiga orang yang terjebak di dalam gua lalu mereka tidak bisa keluar kemudian mereka bertawasul dengan amal baik mereka, di antara amal mereka, ada yang mendahulukan memberi susu untuk kedua orang tuanya, walaupun anak dan istrinya membutuhkan. Begitupula dengan kisah Alqomah
8.     Mendo’akan kedua orang tua.
Merupakan perihal yang sangat urgen sebab do’a juga merupakan wujud ungkapan terimakasih anak terhadap orang tua.
Ayat Al-Qur’an yang membahas tentang kewajiban mendoakan keduanya salah satunya adalah firman Allah SWT :
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". [11]

9.     Memelihara orang tua
Ayat yang membahas tentang hal ini adalah surat Al-Isra’ ayat 23 dan Al-Ahqaf ayat 15

B.  Ketika Orang Tua Telah Meninggal
Di zaman Rasulullah pernah ada suatu dialog bahwa ada seorang sahabat menyatakan penyesalannya bahwa selama orang tuanya masih hidup ia tidak sempat berbuat baik kepada keduanya. Ia menyesal karena merasa sudah tertutup baginya untuk berbuat baik kepada mereka. Mendengar keluhan itu Rasulullah menyatakan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua ada dua macam, yaitu ketika mereka masih hidup dan ketika mereka sudah meninggal dunia.
Ada beberapa kewajiban yang dilakukan anak terhadap orang tuanya ketika mereka sudah tiada diantaranya:
1.    Mengurus jenazahnya dan banyak mendoakan untuknya, karena ini merupaka bukti kebaktian anak terhadap orang tuanya sebelum dikebumikan.
2.    Memohonkan ampun untuk keduanya. Karena do’a yang yang masih bisa menjadi amal jariyah adalah do’a anak sholeh terhadap orang tuanya. Namun anak yang dimaksud anak di sini tidak hanya anak kandung saja tapi anak tiri, ataupun anak angkatpun bisa. Karena dalam doa kita juga dianjurkan untuk mendoakan semua orang muslim.
3.    Melanjutkan amalan baik yang belum sempat dilakukan mereka semasa hidup karena demikian itu akan menjadi amalan jariyah bagi orang tua meskipun telah memenuhi panggilanya.
4.    Menunaikan janji, hutang dan wasiat orang tua yang belum terlaksana.
5.    Memuliakan teman atau sahabat dekat kedua orang tua, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya bakti anak yang terbaik adalah seorang anak yang menyambung tali persahabatan dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya meninggal”.[12]
6.    Menyambung tali silaturrahim dengan kerabat ibu dan ayah. Rasulullah SAW. bersabda, “Barang siapa yang ingin menyambung silaturrahim ayahnya yang ada dikuburannya, maka sambunglah tali silaturrahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia meninggal.” [13]

3.    Hak-hak yang harus diperoleh anak
Bukan saja sang anak, orang tua pun mempunyai kewajiban terhadap anak yang harus ditunaikan. Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah sebuah wujud aktualitas hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua karena kewajiban orang tua adalah hak dari seorang anak.
1.    Hak Mendapatkan Rasa Kasih Sayang
Banyak hal yang bisa menjadi ungkapan kasih sayang, hal yang demikian tak ditinggalkan oleh syariat, hingga didapati banyak contoh dari Rasulullah SAW, bagaimana beliau mengungkapkan kasih sayang kepada anak-anak.
Satu contoh yang beliau berikan adalah mencium anak-anak. Bahkan beliau mencela orang yang tidak pernah mencium anak-anaknya. Kisah-kisah tentang ini bukan hanya satu dua. Di antaranya dituturkan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
قَبَّلَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيِّ وَعِنْدَهُ الأَقْرَعُ بْنُ حَابِسِ التَّمِيْمِي جَالِسًا، فَقَالَ الأَقْرَعُ : إِنَّ لِيْ عَشْرَةً مِنَ الوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا . فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: مَنْ لاَ يَرْحَمْ لاَ يُرْحَمْ.
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mencium Al-Hasan bin 'Ali, sementara Al-Aqra' bin Habis At-Tamimi sedang duduk di sisi beliau. Maka Al-Aqra' berkata, "Aku memiliki 10 anak, namun tidak ada satu pun dari mereka yang kucium." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memandangnya, lalu bersabda, "Siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi."[14]

Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, seorang shahabat yang senantiasa menyertai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam melayaninya pun turut mengungkapkan bagaimana rasa sayang Rasulullah SAW kepada putranya yang lahir dari rahim Mariyah Al-Qibthiyyah radhiallahu 'anha:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَرْحَمَ بِالعِيَالِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صِلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ : كَانَ إِبْرَاهِيْمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالِي الْمَدِيْنَةِ . فَكَانَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ . فَيَدْخُلُ البَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ . وَكَانَ ظِئْرُهُ قَيْنًا . فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ ثُمَّ يَرْجِعُ
"Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih besar kasih sayangnya kepada keluarganya dibandingkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Anas berkata lagi, "Waktu itu, Ibrahim sedang dalam penyusuan di suatu daerah dekat Madinah. Maka beliau berangkat untuk menjenguknya, sementara kami menyertai beliau. Kemudian beliau masuk rumah yang saat itu tengah berasap hitam, karena ayah susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Kemudian beliau merengkuh Ibrahim dan menciumnya, lalu beliau kembali."[15]

Kisah ini menunjukkan kemuliaan akhlak Rasulullah SAW, serta kasih sayangnya terhadap keluarga dan orang-orang yang lemah. Juga menjelaskan keutamaan kasih sayang terhadap keluarga dan anak-anak, serta mencium mereka. Di dalamnya juga didapati kebolehan menyusukan anak pada orang lain. Demikian dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi.[16]
Kalaulah dibuka perjalanan para pendahulu yang shalih dari kalangan shahabat radhiallahu 'anhum, hal ini pun ditemukan di kalangan mereka. Bahkan dilakukan oleh shahabat yang paling mulia, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu 'anhu. Ketika Abu Bakr radhiallahu 'anhu tiba di Madinah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hijrah, dia mendapati putrinya, 'Aisyah radhiallahu 'anha sakit panas. Al-Barra' bin 'Azib radhiallahu 'anhu yang menyertai Abu Bakr saat menemui putrinya mengatakan:
فَدَخَلْتُ مَعَ أَبِيْ بَكْرٍ عَلَى أَهْلِهِ، فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا حُمَّى، فَرَأَيْتُ أَبَاهَا يُقَبِّلُ خَدَّهَا وَقَاَل : كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّة ؟
"Kemudian aku masuk bersama Abu Bakr menemui keluarganya. Ternyata 'Aisyah putrinya sedang berbaring, terserang penyakit panas. Maka aku melihat ayah 'Aisyah mencium pipinya dan berkata, 'Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?'."[17]
Inilah kasih sayang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seorang ayah yang paling mulia di antara seluruh manusia. Tak segan-segan beliau mendekap dan mencium putra-putri dan cucu-cucunya. Begitu pun yang beliau ajarkan kepada seluruh manusia.
2.    Hak untuk memperoleh kehidupan
Problematika perekonomian seakan menjadi momok yang menakutkan bagi calon orang tua bahkan orang tua sekalipun. Banyak sekali orang tua yang mnelantarkan anak yang telah dilahirkan sendiri dari rahimnya. Bahkan tak sedikit pula yang membiarkan anaknya merasakan kehidupan dunia ini.
Allah berfirman:
“Janganlah kamu membunuh anak anakmu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizqi kepadamu dan kepada mereka.[18]
3.    Hak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI)
Wajib bagi seorang ibu menyusui anaknya yang masih kecil, sebagaimana firman Allah yang artinya: Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. [19]
Sebuah riwayat disampaikan oleh 'Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu:
قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبِيٌّ ، فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنَ السَبِيِّ تّحْلُبُ ثَدَيْهَا تَسْقَى إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَبِيِّ أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ . فَقَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةٌ وَلَدَهَا فِي النَّارِ؟ قُلْنَا : لاَ ، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاَ تَطْرَحُهُ . فَقَالَ : لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا.
"Datang para tawanan di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Ternyata di antara para tawanan ada seorang wanita yang buah dadanya penuh dengan air susu. Setiap dia dapati anak kecil di antara tawanan, diambilnya, didekap di perutnya dan disusuinya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya, "Apakah kalian menganggap wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?" Kami pun menjawab, "Tidak. Bahkan dia tak akan kuasa untuk melemparkan anaknya ke dalam api." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sungguh Allah lebih penyayang daripada wanita ini terhadap anaknya."[20]

4.    Hak untuk mendapat nama yang baik dari orang tua
Pemberian nama yang baik bagi anak adalah awal dari sebuah upaya pendidikan terhadap anak anak. Ada yang mengatakan; ‘apa arti sebuah nama’. Ungkapan ini tidak selamanya benar. Islam mengajarkan bahwa nama bagi seorang anak adalah sebuah do’a. Dengan memberi nama yang baik, diharapkan anak mampu berperilaku baik sesuai dengan namanya. Adapun setelah kita berusaha memberi nama yang baik, dan telah mendidiknya dengan baik pula, namun anak kita tetap tidak sesuai dengan yang kita inginkan, maka kita kembalikan kepada Allah SWT. Nama yang baik dengan akhlak yang baik, itulah yang diharapkan oleh setiap orang tua.
5.    Hak mendapat aqiqohan dari orang tua.
Aqiqah hukumnya sunnah muakkadh (sangat dianjurkan) bagi yang mampu melakukannya, berdasarkan sabda Nabi SAW 
"كلُّ غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى".
“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih paa hari ketujuh (sejak kelahiran anaknya), lalu dinamai dan dicukur rambutnya.[21]

6.    Hak mendapat pendidikan
Mendidik anak dengan baik merupakan salah satu sifat seorang ibu muslimah. Bahkan ibu merupakan madrasah awal bagi putra putrinya. Dia senantiasa mendidik anak-anaknya dengan akhlak yang baik, yaitu akhlak Muhammad dan para sahabatnya yang mulia. Mendidik anak bukanlah sekedar kemurahan hati seorang ibu kepada anak-anaknya, akan tetapi merupakan kewajiban dan fitrah yang diberikan Allah kepada seorang ibu.
Mendidik anak pun tidak terbatas dalam satu perkara saja tanpa perkara lainnya, seperti  mencucikan pakaiannya atau membersihkan badannya saja. Bahkan mendidik anak itu mencakup perkara yang luas, mengingat anak merupakan generasi penerus yang akan menggantikan kita yang diharapkan menjadi generasi tangguh yang akan memenuhi bumi ini dengan kekuatan, hikmah, ilmu, kemuliaan dan kejayaan. Bak dan tidaknya seorang anak juga ada pengaruhnya terhadap peran orang tua. Karena pada dasarnya anak itu terlahir dalam keadaan fitrah, jadi yang menjadikan anak tersebut islam ataupun kafir adalah orang tuanya.


BAB III
KESIMPULAN


1.        Birrul walidain secara umum diartikan dengan berbuat baik terhadap kedua orang tua. Hukum dari pada hal ini adalah wajib. Makna Birrul Walidain yaitu menjaga, memelihara dan mematuhi perintah kedua orang tua, dalam artian peintah tersebut tidak bersifat maksiat. Sebaliknya anak yang tidah hormat dan patuh paha orang tua dinamakan anak durhaka atau sering disebut uququl walidain.Dasar-dasar yang menyatakan kewajiban ini diantaranya surat Al-Ahqof ayat 15 dan An-Nisa’ ayat 36.
2.        Pada dasarnya kewajiban orang tua merupakan hak anak begitu pula sebaliknya kewajiban anak merupakan hak orang tua. Kewajiban anak terhadap orang tua ada dua yaitu ketika orang tua masih hidup dan sudah meninggal.
Diantara kewajiban anak terhadap orang tua adalah
Ø Menaati mereka selama tidak mendurhakai Allah.
Ø Memelihara orang tua
Ø Mendoakan orang tua
Ø Memberikan nafkah jika ortu membutuhkan
Ø Meminya izin ketika ingin berperang (jihad)
3.        Betapa banyak kisah yang terhimpun dalam Kitabullah dan kalam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbicara tentang keutamaan berbakti kepada kedua orang tua dan ancaman bagi seorang yang durhaka terhadap keduanya.
4.        Memberikan nama yang baik adalah salah satu tugas orang tua bagi anaknya yang baru lahir. Ada aturan-aturan yang harus diikuti orang tua agar nama anak bisa memberikan kebaikan dan berkah bagi pemiliknya.
5.        Anak berbeda dengan orang dewasa. Daya pikir dan imajinasinya yang masih sederhana terkadang menimbulkan kesulitan bagi orang tua untuk mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang sifatnya abstrak. Di antaranya, bagaimana mengajari anak untuk senang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejelekan. Namun sesulit apapun, di sana akan selalu ada jalan.
6.        Anak adalah tumpuan harapan. Segala impian terbaik tertumpah pada dirinya. Bahkan hampir setiap orang tua menginginkan agar buah hati mereka mendapatkan apa pun yang lebih baik daripada dirinya, tak peduli harus membanting tulang dan memeras keringat sepanjang siang dan malam.
Namun terkadang impian itu pupus begitu saja. Bagai tanaman siap petik yang habis musnah dimakan hama. Anak yang mereka idamkan membalasi jerih payah orang tuanya dengan kedurhakaan. Tak jarang si anak berani beradu pandang dan bersuara lantang di hadapan ayah dan ibunya. Permintaan bertubi-tubi dilontarkan, menuntut pemenuhan dengan segera. Bahkan lebih dari itu, tangan atau kakinya begitu ringan menimpa tubuh keduanya. Sungguh, hanya kepada Allah semata kita mengadukan semua ini.
Tentu, tak seorang pun ayah atau ibu menginginkan putra-putri mereka “salah asuhan”, dan tentu, semua itu butuh arahan. Andaikata mereka merujuk kembali lembaran-lembaran Kitabullah, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta catatan perjalanan kehidupan para pendahulu yang shalih, niscaya mereka akan mendapatinya.




DAFTAR PUSTAKA

1.        Al-Qur’an al-Karim
2.        Al-Jami′ al-Shahih (Shahih al-Bukhariy) - Abu ′Abd Allah Muhammad ibn Isma′il al- Bukhariy
3.        Al-Jami′ al-Shahih (Shahih Muslim) - Abu Husayn Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyayriy
4.        Ibn Majah - Abu ′Abd Allah Muhammad ibn Yazid Ibn MajahSunan
5.        Musnad Ahmad ibn Hanbal - Abu ′Abd Allah Ahmad Ibn Hanbal
6.        Nayl al-Awthar min Ahadis Sayyid al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar - Muhammad ibn ′Aliy ibn Muhammad al-.Syaukani
7.        Sunan Abiy Dawud  - Abu Dawud Sulayman ibn al-Asy′as al- Sijistaniy
8.        Sunan al-Nasa′iy - Abu ′Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’ayb al- Nasaiy
9.        Silsilah al-Ahādīs al-Shahīhah wa Syai'un min Fiqhiha wa Fawā'idiha - Muhammad Nashir al-Din al- Albaniy
10.    Majalah Fatawa
11.    Majalah al-Muslimun
12.    Majalah Mawaddah
13.    Majalah Qiblati
14.    Majalah As-Sunnah
15.    Majalah Suara Muhammadiyah



[1]  QS. Al-Ahqāf: 15
[2]  QS. An-Nisā’ ayat 36
[3]  Bukhari hadits  no 2630 dan Muslim no. 84
[4]  HR Muslim. Hadits no. 2551
[5] (HR. Al-Bukhari no. 5976 dan Muslim no. 87)
[6]  QS.Luqman : 15
[7]  HR. Al-Bukhari
[8]  HR. al-Bukhari no. 5627 dan Muslim
[9]  HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah.
[10]  HR. Bukhari no. 5626.
[11]  Al-Isra’ ayat 24
[12]  HR. Muslim
[13]  HR. Ibnu Hibban
[14]  HR. Al-Bukhari no. 5997 dan Muslim no. 2318
[15] Shahih, HR. Muslim no. 2316
[16] Syarh Shahih Muslim, 15/76
[17]  HR. Al-Bukhari no. 3918
[18]  QS. Al-An’am: 151
[19] QS AI Baqarah: 233

[20]  HR. Al-Bukhari no. 5999
[21]  HR. Abu Daud No. 2838