BAB I
PENDAHULUAN
Orang tua merupakan sosok terpenting dan paling berjasa
dalam sejarah kehidupan manusia. Kehadiranya sungguh tak ternilai harganya.
Pengorbananya pun tidak terkira dan tidak terhingga besarnya. Semua waktu,
tenaga dan harta ia korbankan hanya untuk memberikan kebahagiaan bagi sang buah
hatinya. Pendidikan dan pembimbingan terhadap putra-putrinya pun selalu ia
lakukan hanya agar putra-putrinya nanti mampu menjadi seorang yang sukses baik
di dunia maupun di akhirat kelak
Oleh sebab itulah
Islam benar-benar menjunjung tinggi kedudukan orang tua terutama ibu. Karena ibu
adalah sosok wanita yang paling dimuliakan oleh Rasulullah. Sampai-sampai
kedudukan ibu lebih tinggi tiga derajat dibandingkan dengan ayah. Namun
demikian sang anak juga tidak boleh semena-mena terhadap ayahnya karena
bagitupun ayah adalah sosok pria yang sejak kecil menafkahi kebutuhan keluarga,
memberikan kasih sayang dan karena benih yang ditanam olehnya akhirnya jadilah
seorang anak atas idzin Allah.
Berbicara mengenai
birrul walidain di zaman modern ini, ternyata masih banyak sekali anak yang
tidak mengetahui betapa besar jasa orang tua mereka. Sehingga penghormatan
terhadapnya tidak sedikitpun tertoreh di benak sang anak. Sikap kasar berbalut
benci selalu di luncurkan di wajah dan ditusukan kedalam hati mereka.
Seakan-akan mereka adalah musuh terbesar dalam kehidupan.
Padahal Al-Qur’an
sendiri telah menjelaskan tentang tata cara bergaul dengan orang tua. Bahkan
ketika sang anak merasa capek atau bahkan orang tua melakukan kesalahan, maka
seorang anak tidak boleh mengucapkan kata-kata kasar, walaupun hanya dengan
kata ‘ah’. hal ini telah diatur Allah dalam firmanya surat Al-Isra’ ayat 23
yang terjemahanya “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
Perkara sepele inilah yang menjadi suatu hal lumrah bagi
anak-anak masa kini. Orang tua seolah-olah merupakan pembantu pribadinya.
Mereka seakan akan tidak mampunyai kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu birrul walidain. Membentak-bentak
seenaknya, meminta uang tanpa kenal waktu, membohongi, menipu, bahkan ada juga
yang tega membunuh orang tuanya hanya karena tidak diberi uang jajan. Sungguh
ironis peristiwa ini.
Tela’ah sejenak mengenai kisah Alqomah, dia seorang ahli
ibadah dan terkenal kebaktiannya pada sang ibu. Namun disuatu ketika Alqomah
melebihkan sesuatu perhatian kepada istrinya, Ibunyapun merasa dikecewakan dan
ibunya tidak mau memaafkan sikap Alqomah, di suatu ketika ia tertahan ketika
sakarotul maut. Kemudian Rasulullah menyakan sekiranya ibu tidak mau memaafkan
anaknya yang sedang anak, maka anak itu akan dibakar hidup-hidup. Membayangkan
kesengsaraan anaknya yang akan dibakar tersebut, hati ibupun luluh dan mencair.
Akhirnya, Alqamah meninggal dunia dengan mendapat kemaafan ibunya dan mati
dalam husnu al-khatimah.
Begitu erat hubungan antara anak, ibu dan Allah,
sampai-sampai Rasulullah menjelaskan dalam hadisnya bahwa surga itu dibawah
telapak kaki ibu. Namun demikian orang tuapun mempunyai kewajiban yang harus
dilakukan terhadap anak diatarinya menyayangi, merawat dan mendidik anak hingga
usia dewasa. Karena sekarang ini banyak sekali orang tua yang kelakuanya
seakan-akan menjerumuskan dan menggiring anak dalam jurang kenistaan. Padahal
seharusnya orang tua memberi contoh yang bijak bagi anak-anak mereka untuk
mencapai ridha Allah.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan makalah kali
ini adalah:
1.
Apa definisi dan dasar-dasar birrul
walidain yang merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah?
2.
Apa saja hak dan kewajiban orang
tua terhadap anaknya?
3.
Apa saja hak dan kewajiban anak
terhadap orang tuanya?
BAB III
PEMBAHASAN
1. Dasar-dasar dan Definisi Birrul
Walidain
Berbakti kepada kedua orang tua atau
yang sering dikenal dengan istilah birrul walidain menurut konsep Islam
hukumnya wajib. Makna Birrul Walidain yaitu menjaga, memelihara dan mematuhi
perintah kedua orang tua, dalam artian peintah tersebut tidak bersifat maksiat.
Allah mewasiatkan kepada umatnya :
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا
حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ
أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى
وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي
إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Kami perintahkan kepada manusia
supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan
susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan
umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku
untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada
ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai;
berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri".
Allah juga menggabungkan antara
perintah perintah berbuat baik terhadap kedua orang tua dengan perintah
beribadah kepada-Nya. Hal ini menunjukan betapa besar nilai dan agungnya hak
mereka, serta wajibnya berbuat baik terhadap keduanya. Allah berfirman SWT
berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ
وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ
مُخْتَالا فَخُورًا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.
Birrul walidain merupakan amalan yang
paling dicintai Allah setelah perintah sholat. Sebagaimana dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud ra. Katanya, “aku pernah bertanya kepada
Rasulullah, amalan apakah yang paling dicitai Allah? Rasul menjawab “sholat
pada waktunya,” aku bertanya lagi “kemudian apa lagi?” beliau bersabda,
“berbakti pada kedua orang tua.” Akupun bertanya lagi, “kemudian?” beliau
menjawab, “Jihad di jalan Allah.”
Selain itu birrul walidain juga
merupakan salah satu penyebab seseorang dapat masuk surga. Sebagaimana hadits
yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Rasululah bersabda:
حدثنا
شيبان بن فروخ. حدثنا أبو عوانة عن سهيل، عن أبيه، عن أبي هريرة،عن النبي صلى الله
عليه وسلم. قال "رغم أنف، ثم رغم أنف، ثم رغم أنف" قيل: من؟ يا رسول
الله! قال "من أدرك أبويه عند الكبر، أحدهما أو كليهما فلم يدخل الجنة".
“Betapa hina diri seseorang, betapa hina diri seseorang,
betapa hina diri seseorang.” Rasulullah ditanya, “Siapa dia wahai Rasul?”
beliau menjawab, “Orang yang bertemu salah satu atau kedua orang tuanya tatkala
berusia lanjut kemudian tidak masuk surga.”
Selain itu keridhaan Allah itu ada pada
keridhaan kedua orang tua, begitu juga sebaliknya kemurkaan Allah berada pada
kemurkaan kedua orang tua . Rasulullah bersabda dalam haditsnya yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam banyak menyebutkan tentang ancaman durhaka kepada kedua
orang tua. Bahkan beliau nyatakan bahwa hal itu termasuk dosa besar. Abu Bakrah
radhiallahu 'anhu menyampaikan ucapan beliau ini:
أَلاَ
أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الكَبَائِرِ ؟ قُلْنَا : بَلَى يَا رَسُوْلَ الله. قَالَ
ثَلاَثًا الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ
الوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئًا
فَجَلَسَ فَقَالَ أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ. أَلاَ وَقَوْلُ
الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ فَمَا
زَالَ يَقُوْلُهَا حَتَّى قُلْتُ لاَ يَسْكُتُ.
“Tidakkah kalian ingin aku kabarkan tentang dosa besar yang paling
besar?” Kami menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau pun berkata tiga kali,
“Menyekutukan Allah dan durhaka terhadap kedua orang tua.” Semula beliau dalam
keadaan bersandar, lalu beliau pun bangkit duduk dan mengatakan, “Ketahuilah,
ucapan dusta dan saksi palsu! Ketahuilah, ucapan dusta dan saksi palsu!” Beliau
terus-menerus mengatakan hal itu hingga aku berkata, “Andaikan beliau diam.” ..
Dalam teks hadits lain, Nabi Saw pernah menyatakan secara
eksplisit bahwa durhaka itu haram, dan bisa mengakibatkan seseorang su’u
al-khatimah (meninggal dalam keadaan sesat).
2. Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua
Pada dasarnya, kewajiban seorang anak merupakan hak
bagi orang tua begitu pula sebaliknya hak anak adalah merupakan kewajiban dari
orang tua sendiri.
Diantara kewajiban anak untuk berbakti pada orang
tuanya dibagi menjadi dua yaitu ketika mereka masih hidup dan sesudah mereka
wafat.
A. Saat
Orang Tua Masih Hidup
1. Menaati mereka
selama tidak mendurhakai Allah.
Ta’at,
patuh dan hormat pada kedua orang tua merupakan kewajiban bagi setiap anak
Adam(manusia). Sedangkan mendurhakai keduanya merupakan
perbuatan yang diharamkan, kecuali jika mereka menyuruh untuk berbuat syirik atau bermaksiat kepada Allah. Allah berfirman, artinya, “Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, ….”.
Rasulullah SAW. bersabda, “Tidak
ada ketaatan untuk mendurhakai Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam
melakukan kebaikan”.
Adapun contoh bentuk ketaatan pada orang tua diantaranya:
a) Apabila orang tua meminta makan maka anak wajib memberikan
b) Memberikan sesuatu yang diinginkan orang tua
baik yang diminta atupun tidak
c) Segera
mendatangi panggilan orang tua
d) Melaksanakan semua perintah orang tua asalkan
buka perintah maksiat
e) Tidak membentak, menghardik, memukul bahkan
membunuh orang tua mnskipun orang tua salah
Berbakti terhadap kedua orang tua dapat direalisasikan
dengan berbagia bentuk. Di antara bakti terhadap kedua orang tua adalah menjauhkan
ucapan dan perbuatan yang dapat menyakiti mereka, walaupun berupa isyarat atau
dengan ucapan ‘ah’, tidak mengeraskan suara melebihi suara mereka, mendahulukan keperluan orang tua dari pada
keperluan pribadi.
2. Berbakti terhadap kedua orang tua dapat
direalisasikan dengan berbagai bentuk.
Diantara wujud lain dari pada bakti pada orang tua diantaranya
a) Tidak berkata “ah” dan tidak mengeraskan suara
melebihi suara orang tua
b) Tidak mendahului jalan orang tua
c) Mendahulukan keperluan orang tua dari pada
keperluan pribadi
d) Tidak berkata kasar
3. Meminta izin kepada mereka sebelum berjihad
dan pergi untuk urusan lainnya.
Amat penting
kedudukan izin kepada orang tua dalam masalah jihad. Seorang
laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya,
“Wahai Rasulullah apakah aku boleh ikut berjihad?” Beliau balik bertanya,
‘Apakah kamu masih mempunyai kedua orangtua?’ Laki-laki tersebut menjawab,
‘Masih’. Beliau bersabda, ‘Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya’.
4. Memberikan nafkah kepada orang tua
Beberapa
ayat dalam Al Qur’an yang membahas tentang hal ini adalah Al Baqarah ayat 15
dan Ar-Rum ayat 38. Rasulullah SAW. pernah
bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata, “Ayahku ingin mengambil
hartaku”. Nabi SAW. bersabda, “Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu.”
Oleh sebab itu, hendaknya seorang anak
tidak bersikap bakhil (kikir) terhadap
orang yang menyebabkan keberadaan dirinyaatas izin Allah, memeliharanya ketika
kecil, serta telah berbuat baik kepadanya.
5. Memenuhi sumpah/nadzar kedua orang tua
Jika kedua orang tua bersumpah untuk
suatu perkara tertentu yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan maksiat, maka
wajib bagi seorang anak untuk memenuhi sumpah keduanya karena hal itu termasuk
hak mereka.
6. Mendahulukan berbakti kepada
ibu dari pada ayah.
حدثنا قتيبة بن سعيد: حدثنا جرير، عن
عمارة بن القعقاع بن شبرمة، عن أبي زرعة، عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء
رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، من أحق الناس بحسن
صحابتي؟ قال: (أمك). قال: ثم من؟ قال: (ثم أمك). قال: ثم من؟ قال: (ثم أمك). قال:
ثم من؟ قال: (ثم أبوك). وقال ابن شبرمة ويحيى بن أيوب: حدثنا
أبو زرعة: مثله.
Seorang lelaki pernah
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapa yang paling
berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?” beliau menjawab, “Ibumu.” Lelaki itu
bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau kembali menjawab, “Ibumu”. Lelaki
itu kembali bertanya, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu”. Lalu
siapa lagi? Tanyanya. “Ayahmu,” jawab beliau.”
Hadits
di atas tidak bermakna lebih menaati ibu dari pada ayah. Sebab, menaati ayah
lebih didahulukan jika keduanya menyuruh pada waktu yang sama dan dalam hal
yang dibolehkan syari’at. Alasannya, ibu sendiri diwajibkan taat kepada
suaminya.
Maksud
lebih mendahulukan berbuat baik kepada ibu dalam hadits tersebut adalah
bersikap lebih halus dan lembut kepada ibu daripada ayah. Sebagian Ulama salaf
berkata, “Hak ayah lebih besar dan hak ibu patut untuk dipenuhi.”
7. Mendahulukan
berbakti pada orang tua dari pada berbuat baik pada istri
Di antara hadits yang menunjukkan
hal tersebut adalah kisah tiga orang yang terjebak di dalam gua lalu mereka
tidak bisa keluar kemudian mereka bertawasul dengan amal baik mereka, di antara
amal mereka, ada yang mendahulukan memberi susu untuk kedua orang tuanya,
walaupun anak dan istrinya membutuhkan. Begitupula dengan kisah Alqomah
8. Mendo’akan kedua orang tua.
Merupakan perihal yang sangat urgen sebab do’a juga
merupakan wujud ungkapan terimakasih anak terhadap orang tua.
Ayat Al-Qur’an yang membahas tentang kewajiban mendoakan
keduanya salah satunya adalah firman Allah SWT :
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ
ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil".
9. Memelihara orang tua
Ayat yang membahas tentang hal ini adalah surat
Al-Isra’ ayat 23 dan Al-Ahqaf ayat 15
B.
Ketika Orang Tua Telah Meninggal
Di
zaman Rasulullah pernah ada suatu dialog bahwa ada seorang sahabat menyatakan
penyesalannya bahwa selama orang tuanya masih hidup ia tidak sempat berbuat
baik kepada keduanya. Ia menyesal karena merasa sudah tertutup baginya untuk
berbuat baik kepada mereka. Mendengar keluhan itu Rasulullah menyatakan bahwa
berbuat baik kepada kedua orang tua ada dua macam, yaitu ketika mereka masih
hidup dan ketika mereka sudah meninggal dunia.
Ada
beberapa kewajiban yang dilakukan anak terhadap orang tuanya ketika mereka
sudah tiada diantaranya:
1.
Mengurus
jenazahnya dan banyak mendoakan untuknya, karena ini merupaka bukti kebaktian
anak terhadap orang tuanya sebelum dikebumikan.
2.
Memohonkan
ampun untuk keduanya. Karena do’a yang yang masih bisa menjadi amal jariyah
adalah do’a anak sholeh terhadap orang tuanya. Namun anak yang dimaksud anak di
sini tidak hanya anak kandung saja tapi anak tiri, ataupun anak angkatpun bisa.
Karena dalam doa kita juga dianjurkan untuk mendoakan semua orang muslim.
3.
Melanjutkan
amalan baik yang belum sempat dilakukan mereka semasa hidup karena demikian itu
akan menjadi amalan jariyah bagi orang tua meskipun telah memenuhi panggilanya.
4.
Menunaikan
janji, hutang dan wasiat orang tua yang belum terlaksana.
5.
Memuliakan
teman atau sahabat dekat kedua orang tua, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya
bakti anak yang terbaik adalah seorang anak yang menyambung tali persahabatan
dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya meninggal”.
6.
Menyambung
tali silaturrahim dengan kerabat ibu dan ayah. Rasulullah SAW. bersabda, “Barang
siapa yang ingin menyambung silaturrahim ayahnya yang ada dikuburannya, maka
sambunglah tali silaturrahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia
meninggal.”
3.
Hak-hak yang harus diperoleh anak
Bukan saja sang anak, orang tua pun
mempunyai kewajiban terhadap anak yang harus ditunaikan. Kewajiban orang tua
terhadap anaknya adalah sebuah wujud aktualitas hak-hak anak yang harus
dipenuhi oleh orang tua karena kewajiban orang tua adalah hak dari seorang
anak.
1.
Hak
Mendapatkan Rasa Kasih Sayang
Banyak hal yang bisa
menjadi ungkapan kasih sayang, hal yang demikian tak ditinggalkan oleh syariat,
hingga didapati banyak contoh dari Rasulullah SAW, bagaimana beliau
mengungkapkan kasih sayang kepada anak-anak.
Satu contoh yang beliau
berikan adalah mencium anak-anak. Bahkan beliau mencela orang yang tidak pernah
mencium anak-anaknya. Kisah-kisah tentang ini bukan hanya satu dua. Di
antaranya dituturkan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiallahu
'anhu:
قَبَّلَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيِّ وَعِنْدَهُ الأَقْرَعُ بْنُ حَابِسِ
التَّمِيْمِي جَالِسًا، فَقَالَ الأَقْرَعُ : إِنَّ لِيْ عَشْرَةً مِنَ الوَلَدِ
مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا . فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: مَنْ لاَ يَرْحَمْ لاَ يُرْحَمْ.
"Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pernah mencium Al-Hasan bin 'Ali, sementara Al-Aqra' bin Habis
At-Tamimi sedang duduk di sisi beliau. Maka Al-Aqra' berkata, "Aku
memiliki 10 anak, namun tidak ada satu pun dari mereka yang kucium."
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memandangnya, lalu bersabda,
"Siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi."
Anas bin Malik radhiallahu
'anhu, seorang shahabat yang senantiasa menyertai Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam dalam melayaninya pun turut mengungkapkan bagaimana rasa
sayang Rasulullah SAW kepada putranya yang lahir dari rahim Mariyah
Al-Qibthiyyah radhiallahu 'anha:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَرْحَمَ
بِالعِيَالِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صِلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ : كَانَ
إِبْرَاهِيْمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالِي الْمَدِيْنَةِ . فَكَانَ
يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ . فَيَدْخُلُ
البَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ . وَكَانَ ظِئْرُهُ قَيْنًا . فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ ثُمَّ
يَرْجِعُ
"Aku tak pernah
melihat seseorang yang lebih besar kasih sayangnya kepada keluarganya
dibandingkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Anas berkata lagi,
"Waktu itu, Ibrahim sedang dalam penyusuan di suatu daerah dekat Madinah.
Maka beliau berangkat untuk menjenguknya, sementara kami menyertai beliau. Kemudian
beliau masuk rumah yang saat itu tengah berasap hitam, karena ayah susuan
Ibrahim adalah seorang pandai besi. Kemudian beliau merengkuh Ibrahim dan
menciumnya, lalu beliau kembali."
Kisah ini menunjukkan
kemuliaan akhlak Rasulullah SAW, serta kasih sayangnya terhadap keluarga dan
orang-orang yang lemah. Juga menjelaskan keutamaan kasih sayang terhadap
keluarga dan anak-anak, serta mencium mereka. Di dalamnya juga didapati
kebolehan menyusukan anak pada orang lain. Demikian dijelaskan oleh Al-Imam
An-Nawawi.
Kalaulah dibuka
perjalanan para pendahulu yang shalih dari kalangan shahabat radhiallahu
'anhum, hal ini pun ditemukan di kalangan mereka. Bahkan dilakukan oleh
shahabat yang paling mulia, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu 'anhu.
Ketika Abu Bakr radhiallahu 'anhu tiba di Madinah bersama Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dalam hijrah, dia mendapati putrinya, 'Aisyah radhiallahu
'anha sakit panas. Al-Barra' bin 'Azib radhiallahu 'anhu yang
menyertai Abu Bakr saat menemui putrinya mengatakan:
فَدَخَلْتُ مَعَ أَبِيْ بَكْرٍ عَلَى
أَهْلِهِ، فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا حُمَّى،
فَرَأَيْتُ أَبَاهَا يُقَبِّلُ خَدَّهَا وَقَاَل : كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّة ؟
"Kemudian aku masuk bersama Abu
Bakr menemui keluarganya. Ternyata 'Aisyah putrinya sedang berbaring, terserang
penyakit panas. Maka aku melihat ayah 'Aisyah mencium pipinya dan berkata,
'Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?'."
Inilah kasih sayang
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seorang ayah yang paling mulia di
antara seluruh manusia. Tak segan-segan beliau mendekap dan mencium putra-putri
dan cucu-cucunya. Begitu pun yang beliau ajarkan kepada seluruh manusia.
2. Hak
untuk memperoleh kehidupan
Problematika
perekonomian seakan menjadi momok yang menakutkan bagi calon orang tua bahkan
orang tua sekalipun. Banyak sekali orang tua yang mnelantarkan anak yang telah
dilahirkan sendiri dari rahimnya. Bahkan tak sedikit pula yang membiarkan
anaknya merasakan kehidupan dunia ini.
Allah berfirman:
“Janganlah
kamu membunuh anak anakmu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizqi
kepadamu dan kepada mereka.”
3.
Hak
mendapatkan Air Susu Ibu (ASI)
Wajib
bagi seorang ibu menyusui anaknya yang masih kecil, sebagaimana firman Allah
yang artinya: Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
Sebuah riwayat disampaikan oleh
'Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu:
قَدِمَ
عَلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبِيٌّ ، فَإِذَا امْرَأَةٌ
مِنَ السَبِيِّ تّحْلُبُ ثَدَيْهَا تَسْقَى إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَبِيِّ
أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ . فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةٌ وَلَدَهَا فِي
النَّارِ؟ قُلْنَا : لاَ ، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاَ تَطْرَحُهُ . فَقَالَ :
لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا.
"Datang para tawanan di hadapan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. Ternyata di antara para tawanan ada seorang
wanita yang buah dadanya penuh dengan air susu. Setiap dia dapati anak kecil di
antara tawanan, diambilnya, didekap di perutnya dan disusuinya. Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bertanya, "Apakah kalian menganggap wanita
ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?" Kami pun menjawab,
"Tidak. Bahkan dia tak akan kuasa untuk melemparkan anaknya ke dalam
api." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sungguh Allah
lebih penyayang daripada wanita ini terhadap anaknya."
4. Hak untuk mendapat nama yang baik dari orang tua
Pemberian nama
yang baik bagi anak adalah awal dari sebuah upaya pendidikan terhadap anak
anak. Ada yang mengatakan; ‘apa arti sebuah nama’. Ungkapan ini tidak selamanya
benar. Islam mengajarkan bahwa nama bagi seorang anak adalah sebuah do’a. Dengan memberi
nama yang baik, diharapkan anak mampu berperilaku baik sesuai dengan namanya.
Adapun setelah kita berusaha memberi nama yang baik, dan telah mendidiknya
dengan baik pula, namun anak kita tetap tidak sesuai dengan yang kita inginkan,
maka kita kembalikan kepada Allah SWT. Nama yang baik dengan akhlak yang
baik, itulah yang diharapkan oleh setiap orang tua.
5.
Hak mendapat aqiqohan dari
orang tua.
Aqiqah hukumnya sunnah muakkadh (sangat
dianjurkan) bagi yang mampu melakukannya, berdasarkan sabda Nabi SAW
"كلُّ
غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى".
“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih
paa hari ketujuh (sejak kelahiran anaknya), lalu dinamai dan dicukur rambutnya.
6. Hak mendapat
pendidikan
Mendidik anak dengan baik merupakan
salah satu sifat seorang ibu muslimah. Bahkan ibu merupakan madrasah awal bagi putra putrinya. Dia senantiasa mendidik anak-anaknya dengan akhlak yang baik, yaitu
akhlak Muhammad dan para sahabatnya yang mulia. Mendidik anak bukanlah sekedar kemurahan
hati seorang ibu kepada anak-anaknya, akan tetapi merupakan kewajiban dan
fitrah yang diberikan Allah kepada seorang ibu.
Mendidik
anak pun tidak terbatas dalam satu perkara saja tanpa perkara lainnya, seperti mencucikan pakaiannya atau membersihkan
badannya saja. Bahkan mendidik anak itu mencakup perkara yang luas, mengingat
anak merupakan generasi penerus yang akan menggantikan kita yang diharapkan
menjadi generasi tangguh yang akan memenuhi bumi ini dengan kekuatan, hikmah,
ilmu, kemuliaan dan kejayaan. Bak dan tidaknya seorang anak juga ada
pengaruhnya terhadap peran orang tua. Karena pada dasarnya anak itu terlahir
dalam keadaan fitrah, jadi yang menjadikan anak tersebut islam ataupun kafir
adalah orang tuanya.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Birrul walidain secara umum diartikan dengan berbuat baik
terhadap kedua orang tua. Hukum dari pada hal ini adalah wajib. Makna Birrul Walidain yaitu menjaga,
memelihara dan mematuhi perintah kedua orang tua, dalam artian peintah tersebut
tidak bersifat maksiat. Sebaliknya anak yang tidah hormat dan patuh paha orang
tua dinamakan anak durhaka atau sering disebut uququl walidain.Dasar-dasar yang menyatakan kewajiban ini
diantaranya surat Al-Ahqof ayat 15 dan An-Nisa’ ayat 36.
2.
Pada
dasarnya kewajiban orang tua merupakan hak anak begitu pula sebaliknya kewajiban
anak merupakan hak orang tua. Kewajiban anak terhadap orang tua ada dua yaitu
ketika orang tua masih hidup dan sudah meninggal.
Diantara
kewajiban anak terhadap orang tua adalah
Ø Menaati mereka
selama tidak mendurhakai Allah.
Ø Memelihara orang tua
Ø Mendoakan orang tua
Ø Memberikan nafkah jika ortu membutuhkan
Ø Meminya izin ketika ingin berperang (jihad)
3.
Betapa
banyak kisah yang terhimpun dalam Kitabullah dan kalam Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam yang berbicara tentang keutamaan berbakti kepada kedua
orang tua dan ancaman bagi seorang yang durhaka terhadap keduanya.
4.
Memberikan nama yang baik adalah
salah satu tugas orang tua bagi anaknya yang baru lahir. Ada aturan-aturan yang
harus diikuti orang tua agar nama anak bisa memberikan kebaikan dan berkah bagi
pemiliknya.
5.
Anak
berbeda dengan orang dewasa. Daya pikir dan imajinasinya yang masih sederhana
terkadang menimbulkan kesulitan bagi orang tua untuk mengajarkan nilai-nilai
kebaikan yang sifatnya abstrak. Di antaranya, bagaimana mengajari anak untuk
senang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejelekan. Namun sesulit apapun,
di sana akan selalu ada jalan.
6.
Anak adalah
tumpuan harapan. Segala impian terbaik tertumpah pada dirinya. Bahkan hampir
setiap orang tua menginginkan agar buah hati mereka mendapatkan apa pun yang
lebih baik daripada dirinya, tak peduli harus membanting tulang dan memeras
keringat sepanjang siang dan malam.
Namun terkadang impian itu pupus begitu
saja. Bagai tanaman siap petik yang habis musnah dimakan hama. Anak yang mereka
idamkan membalasi jerih payah orang tuanya dengan kedurhakaan. Tak jarang si
anak berani beradu pandang dan bersuara lantang di hadapan ayah dan ibunya.
Permintaan bertubi-tubi dilontarkan, menuntut pemenuhan dengan segera. Bahkan
lebih dari itu, tangan atau kakinya begitu ringan menimpa tubuh keduanya.
Sungguh, hanya kepada Allah semata kita mengadukan semua ini.
Tentu, tak seorang pun ayah atau ibu
menginginkan putra-putri mereka “salah asuhan”, dan tentu, semua itu butuh
arahan. Andaikata mereka merujuk kembali lembaran-lembaran Kitabullah, Sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta catatan perjalanan kehidupan
para pendahulu yang shalih, niscaya mereka akan mendapatinya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Qur’an al-Karim
2.
Al-Jami′ al-Shahih (Shahih al-Bukhariy)
- Abu ′Abd Allah Muhammad ibn Isma′il al- Bukhariy
3.
Al-Jami′ al-Shahih (Shahih
Muslim) - Abu Husayn Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyayriy
4.
Ibn Majah - Abu ′Abd Allah Muhammad ibn Yazid Ibn MajahSunan
5.
Musnad Ahmad ibn Hanbal - Abu ′Abd Allah Ahmad Ibn Hanbal
6.
Nayl al-Awthar min Ahadis
Sayyid al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar - Muhammad
ibn ′Aliy ibn Muhammad al-.Syaukani
7.
Sunan Abiy Dawud - Abu Dawud Sulayman ibn
al-Asy′as al- Sijistaniy
8.
Sunan al-Nasa′iy - Abu ′Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’ayb al- Nasaiy
9.
Silsilah al-Ahādīs al-Shahīhah
wa Syai'un min Fiqhiha wa Fawā'idiha - Muhammad Nashir
al-Din al- Albaniy
10.
Majalah Fatawa
11.
Majalah al-Muslimun
12.
Majalah Mawaddah
13.
Majalah Qiblati
14.
Majalah As-Sunnah
15.
Majalah Suara Muhammadiyah
(HR.
Al-Bukhari no. 5976 dan Muslim no. 87)