Thursday, April 26, 2012

SEHASTA DARI SURGA, ATAU NERAKA?



Oleh: Ahda Bina Alfianto*

Muhammad Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya tiap diri kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, lalu menjadi setetes darah selama empat puluh hari, dan menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya malaikat, dan ditiupkannya ruh pada segumpal daging itu. Lalu malaikat itu diperintahkan untuk menuliskan empat perkara, yaitu: (1) rizkinya, (2) ajalnya, (3) amalnya, (4) celaka atau bahagianya. Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga, hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta, akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, kemudian dia melakukan perbuatan ahli neraka, maka masuklah dia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya diantara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta, akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, kemudian dia melakukan perbuatan ahli surga,  maka masuklah dia ke dalam surga.” (HR.  Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Saw. juga bersabda, "Tidak ada satu pun makhluk yang bernyawa, melainkan Allah telah menetapkan tempatnya di surga atau neraka, dan telah ditetapkan baginya celaka atau bahagia." Seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, tidakkah sebaiknya kita tunggu saja ketetapan atas diri kita itu, dan kita berhenti beramal?" Beliau bersabda, "Tetaplah beramal, semuanya dimudahkan untuk dirinya masing-masing." (HR. Bukhari dan Muslim). Melalui penjelasan Rasulullah Saw. tersebut, kita memahami bahwa ketentuan bahagia atau celaka pada manusia telah ditetapkan sebelum dia lahir ke dunia, namun manusia bahagia atau celaka itu tergantung pada amalnya.
Adapun penilaian baik-buruknya amal manusia itu secara keseluruhan ditentukan oleh amal penutup, atau amal terakhir yang dia lakukan. Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya semua amal tergantung pada penutup amal itu." (HR. Bukhari).
Oleh karena itu, sebanyak apapun amal kebajikan yang telah dilakukan, hendaknya manusia tidak merasa bangga atau sombong, karena dia tidak tahu dengan amal apa dia mengakhiri semua amalnya itu. Demikian pula sebaliknya, sebanyak apapun amal kejahatan yang telah dilakukan, hendaknya tidak membuat manusia putus harapan dari rahmat Allah.
Rasulullah Saw. bersabda, "Sungguh ada seseorang yang beramal sebagai ahli surga dalam waktu yang lama, namun kemudian dia mengakhiri amalnya itu dengan amal ahli neraka. Dan sungguh ada seseorang yang beramal sebagai ahli neraka dalam waktu yang lama, namun kemudian dia mengakhirinya dengan amal ahli surga." (HR. Muslim).
Diriwayatkan, bahwa suatu saat Rasulullah Saw. dan para sahabat bertemu dengan orang-orang kafir, dan terjadilah perang. Di antara para sahabat ada seseorang yang demikian jeli mengamati musuh. Bila ada orang kafir yang sedang sendirian, maka dia segera mengikuti dan membunuhnya. Sehingga hal ini membuat para sahabat berkomentar, "Hari ini tidak ada orang diantara kita yang memperoleh pahala seperti si fulan." Namun Rasulullah Saw. bersabda, "Dia termasuk ahli neraka." Ada seorang sabahat berkata, "Aku akan selalu mengikuti dan mengawasinya." Ternyata laki-laki itu sedang terluka parah, dan kemudian dia bunuh diri. Laki-laki itu meletakkan gagang pedang di atas tanah, lalu menempatkan ujung pedang pada ulu hatinya, kemudian dia menjatuhkan diri disana untuk bunuh diri. Sahabat itu pun segera menemui Rasulullah Saw. dan berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah." Lalu dia menceritakan kejadian tersebut. Rasulullah Saw. bersabda, "Sungguh ada orang yang beramal dengan amal ahli surga dalam pandangan manusia, padahal dia adalah ahli neraka. Dan sungguh ada orang yang beramal dengan amal ahli neraka dalam pandangan manusia, padahal dia adalah ahli surga." (HR. Bukhari dan Muslim).
"Menurut pandangan manusia." Adalah sebuah isyarat bahwa kondisi batin orang tersebut berlawanan dengan kondisi lahirnya. Dan bahwa su'ul khathimah (amal penutup usia yang buruk) diakibatkan kondisi bathin yang kotor yang tidak diketahui oleh orang lain. Kondisi batin yang buruk inilah yang kelak membuat seseorang menutup usianya dengan amal yang buruk.
Dengan demikian dapat kita simpulkan, bahwa amal penutup usia itu terjadi tidak secara tiba-tiba, melainkan sebagai kelanjutan amal-amal sebelumnya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita khawatir dengan amal penutup usia yang buruk, atau su'ul khatimah. Bahkan seharusnya kita mewaspadai amal-amal kebajikan di masa lalu.
Orang-orang yang berorientasi ke masa depan berkata, "Dengan amal apa aku akan menutup usia?" Sementara orang-orang yang berorientasi ke masa lalu berkata, "Amal apa saja yang telah aku lakukan?"

*Dosen Fakultas Agama Islam

Tuesday, April 3, 2012

Secercah Harapan Yang Menjadi Kenyataan


Berawal dari perjalanan yang penuh lika-liku tajam nan bergelombang sehingga membuatku tegar dan kuat menghadapi cobaan seperti sekarang. Perjalananku mencari jati diri sebenarnya diawali dari sebuah cacian dan hinaan banyak orang. Namun tak pernah sedikitpun aku menyerah, bahkan pasrah terhadap keadaan dan meringkuk meratapi nasih hdupku. Aku, kau dan dia selalu membantuku dan menyemangatiku sehingga aku menjadi manusia sebenarnya.
Saat aku menginjakkan kaki di MTs
Masa-masa MTs inilah aku mulai menuliskan kisah hidupku yang kurasa semakin menarik bagiku sendiri. Perangai dan sifat asliku yang pemalu, minder, bahkan bisa dikata kuper, tak pernah menjadikanku dikenal orang dan teman sebayaku. Bahkan dengan tubuh mungilku dan warna hitam kulitku sempat membuatku tak percaya diri. Mereka hanya mengenalku ketika kusebutkan nama ayahku. ”Ohfs........ sungguh aku benar-benar kecil dan tak berguna,” celotehku dulu.
Di saat pelajaran kelas mulai, aku hanya bisa duduk manis mendengarkan ocehan-ocehan guru yang mendayu-dayu. Semakin kudengarkan, semakin mata ini ingin menutup merelakan kepalaku tuk bersandar dimeja sakralku. Nah, ketika guru mulai bertanya dan menjukkan jarinya ke arahku, aku hanya bisa tersenyum, dan menjawab, ”mboten saget pak”. (sambil menggeleng-gelengkan kepala). Atau mungkin aku menjawabnya tapi dengan sistem pengawuran alias mengarang bebas. Aku malu sekali, aku terlihat sangat bodoh saat itu. Begitupun hari-hari berikutnya tak jauh beda dengan hal itu. Namun, meski begitu aku selalu masuk kelas unggulan (A) karena nilaiku tak terlalu buruk, ya... kalau dihitung-hitung, masihlah dapat peringkat 12 an.
Setiap ada ajang perlombaan, aku tidak pernah diikutsertakan, maklumlah gak punya kelebihan yang patut dipertandingkan (hehe). Padahal dalam hati kecilku selalu merintih menginginkan aku dipilih untuk mewakili perguruan. Houft.... itu semua hanyalah mimpi bagiku, entah pantas dibilang mimpi baik atau justru mimpi buruk sepanjang hidupku. Berbeda dengan adik perempuanku, dia selalu diikutsertakan dalam perlombaan MTQ karena dia mewarisi ilmu mujawwad ayahku. Namun, aku tak pernah iri dengan dia, justru aku bangga dengan kemampuannya karena aku dan dia bagaikan satu raga yang akan sakit jika dia sakit dan akan bahagia jika dia bahagia.
Pada masa MTs ini pula, aku mulai membantu ibuku membuat kerupuk rambak untuk membantu perekonomian keluarga. Pada masa-masa awal usaha kerupuk ini, memang cukup menguras tenaga dan waktu. Bayangkan saja, sejak jam 5 pagi aku harus mengantar kerupuk-kerupuk itu di pasar. Dilanjutkan dengan beres-beres rumah, membantu masak dan ngiris gelondor sampai pukul 11.30 terkadang belum selesai juga. Akhirnya aku sering telat sekolah. Tapi tidak mengapa bagiku, jika ku ingat-ingat perjuangan bantu ibu pada masa itu, aku tertawa meringis sendiri. Kadangkala tersbesit keinginan untuk mengulang masa itu lagi.
Saat kelulusan tiba, hatiku gemetaran sekali karena pengumuman kelulusan dibacakan lewat pengeras suara. Dag-dig-dug......... lulus gak ya..... . alhasil ternyata nilai UNAS ku terbaik nemer 2. Owh...... hatiku bergejolak ingin berteriak bahagia tapi tak kuasa, ingin mengutarakan kebahagiaanku pada teman tapi tak mampu. Hanya ibu dan bapakku lah yang menyemangatiku pada waktu itu.
Masa SMA, penuh dengan petualangan
Akhirnya lulus juga, terbesit dalam pikiran untuk memasuki SMA Negeri Paciran yang katanya masih termasuk sekolah unggulan lah. Hemmmm.... tapi aku mengurungkan niatku ke sana, aku lebih tertarik ke dunia religi. Ahaha  ingin sekali aku ke pesantren darussalam Gontor-Mantingan (Lagi-lagi aku bermimpi). Namun taka ada dukungan dari keluarga dan tak ada link ke sana akhirnya aku masuk ke pesantren Roudhotul Ilmi Kertosono-Nganjuk. Yah.... alhamdulillah aku bisa mondok juga meski bukan itu impianku.
Hari demi hari kujalani di pesantren tak pernah luput dari linangan air mata. Rinduku pada ibuk bapak tak pernah henti bahkan semakin menjadi-jadi saat aku mencoba memikirkan hal lain yang seharusnya aku prioritaskan, yakni belajar. Aku bersama sepupuku Fiya, kami tidak pernah kerasan berada di sana mungkin karena kami belum terbiasa hidup di lingkungan terikat seperti itu, jauh dari orang tua dan tak ada yang memperhatikan kecuali kami sendiri. Tiap hari kami naik di lantai tertinggi yang tak berpenghuni untuk mencurahkan segala isi hati yang terus bergolak tak pernah henti.
Tak kuat rasanya jika hal itu aku pertahankan karena dalam kelaspun kami sellau menangis. Bahkan pada saat pertama kalinay saya ditujuk muhadhoroh pada giliran pertama, aku tak sanggup berkata-kata karena menangis. Dalam hatiku mengatakan sungguh tega kalian yang menunjukku dan tak mau mendengarkan keluh tak bisaku pada waktu itu. Nah, H+1 waktu penunjukan pembicara, aku memberanikan diri menelpon ibuk dan memintanya agar menjemputku dari pesantren dengan alasan tidak kerasan.
Huft..... lega rasanya sesampai di rumah dan bisa berkumpul bersama keluarga lagi. Akan tetapi dengan resmi pulangnya aku di rumah, justru aku bingung mau ke mana setelah itu? Nah, akhirnya ada tawaran mondok gratis bersama beberapa teman dari sedayulawas seperti Zilah, Fiya, Ziroh, Umam, dll di al-hikmah Bangil. Wah, hatiku seneng banget pada waktu itu akhirnya aku bisa lanjut tanpa membebani orang tuaku. Di Bangil, aku mendapat posisi yang lumayan enak lah. Ustad-ustad di sana segan denganku karena mungkin aku nurut dan tak terlalu bodoh berbahasa Arab selama di sana, aku tidak merasakan kepahitan seperti yang kurasan saat di Kertosono.
Aktivitaspun berjalan sampai 3 bulan lamanya, bahkan aku sempat pulang kampung bersama ustad dari Sedayulawas juga. Karena pada saat itu yang diberi izin hanya aku sebab dari kesekian anak, aku aja yang tidak menangis minta pulang. Heheh.
Namun setelah tiga bulan berlalu, keluargaku mendapatkan musibah. Ibunda Umi Rohis tercinta sakit karena hamil. Bapak dan ibuk memintaku agar pulang tuk sementara waktu agar bisa membantu pekerjaan rumah yang biasa dilakukan ibuk. Selain itu akulah anak perempuan tertua dari mereka sehingga aku harus mengabdikan diriku dikala mereka membutuhkan. Akhirnya aku pulang dengan deraian air mata yang sungguh tak terkira.
            Melihat wajah ibuk yang sudah tak lagi menwan, air tak dapat ditelan olehnya, bahkan ia harus menjadi kembang mbayang (kasur). Tak kuasa aku melihatnya, terbesit dalam pikiranku ”jika ibuk meninggalkanku nanti, siapa yang akan menyayangiku lagi, siapa yang akan mendukungku lagi, siapa yang akan merelakan tangannya untuk kucium saat aku berangkat sekolah, siapa yang akan merawat kami sampai dewasa, argh........ aku gak mau ibuk meninggal.”
            Sebulan telah berlalu, saatnya aku memasuki masa UTS di Bangil, tapi aku tak dapat mengikutinya karena kondisi ibuk makin parah. Yah terpaksa harus aku relakan dengan cara izin kepada ustad di sana.
            Dressss...... hatiku sakit saat melihat teman-teman sebayaku pulang pergi sekolah, aku ingin seperti mereka. Akhirnya ibuk dan bapak memintaku agar aku berhenti dari Bangil.... owh...... Ya Allah....... apa aku harus benar-benar berhenti sekolah...?
Apa aku harus meninggalkan pendidikan yang selama ini aku sudah nyaman di sana. Tapi mau bagaimana lagi, bagiku orang tua lebih dari segalanya, ilmu bisa dicari selama hayat masih dikandung badan. Setelah itu aku meminta izin pada ustad untuk keluar dari pesantren meski ustad-ustad tidak mengizinkannya.
            Selama di rumah, aku menggantikan posisi ibuk membuat kerupuk dengan kakaku. Kami berencana memperbanyaka air adonan dengan maksud supaya kerupuk menjadi banyak dan labanya pun ikut banyak. Alhasil nihil, justru kerupuknya menjadi tek berbentuk dan kami mengalami rugi besar-besaran. Terpaksa kami harus berhenti dan menjadi pengangguran.
            Selama sebulan lebih aku tidak sekolah, akhirnya bapak mendaftarkanku di MAM Sedayulawas dengan modal nol. Bapak belum sanggup membayar uang pendaftaran dan uang SPP alias ngutang dulu sama sekolahan.
(Next....... to be continue)