BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sesungguhnya banyak nilai-nilai ajaran
agama Islam yang bersifat universal, misalnya tentang kesetaraan antara pria
dan wanita dalam rumah tangga yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas.
Padahal bentuk-bentuk kerja sama antara suami istri dalam Islam di antaranya
adalah memimpin keluarga jika ada musyawarah, memberi nafkah, mengasuh,
mendidik anak dan mengerjakan urusan rumah tangga. Namun demikian, masyarakat
lebih mengenal kewajiban suami istri dari pada hak-hak di antara keduanya dalam
rumah tangga. Barangkali kondisi seperti ini tidak menjadi masalah bagi
keluarga yang istrinya tidak bekerja di luar rumah. Akan tetapi bagi istri yang
bekerja di luar rumah, nampaknya kondisi ini sangat tidak menguntungkan. Karena
dengan pemahaman yang diskriminatif atas gender membuat beban kerja wanita
lebih berat.
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan
memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala
rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensi dari pandangan seperti
itu, banyak kaum perempuan terutama dari kalangan keluarga kelas ke bawah harus
bekerja keras, lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga mulai
dari membersihkan, mengepel lantai, memasak, menyapu, mencuci dan memelihara
anak.
Bias gender yang mengakibatkan beban kerja
tersebut sering kali diperkuat oleh adanya pandangan atau keyakinan di
masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap sejenis oleh masyarakat sebagai
pekerjaan jenis “perempuan”, dikategorikan sebagai “tidak produktif” sehingga
tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara kaum perempuan –
karena anggapan perbedaan gender ini – sejak dini disosialisasikan untuk
menekuni peran gender mereka. Di lain pihak kaum lelaki tidak diwajibkan secara
kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik kesemuanya ini telah
memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum
perempuan.[1]
Fondasi kehidupan keluarga adalah ajaran
agama, sedang jalinan perekatnya adalah hak dan kewajiban terhadap suami, istri
dan anak. Namun hanya sedikit sekali dari pasangan suami istri yang mengetahui
ruang lingkup dari pengelolaan pekerjaan dalam rumah tangga. Sering kali hal
ini menyebabkan konflik pada pasangan dan akhirnya saling melempar tugas,
apalagi bagi pasangan karier ganda. Dan biasanya yang sering terbebani tugas
domestik adalah istri, yang mulai bekerja sejak pagi hingga sore hari. Sementara
para suami enggan membantu tugas domestik itu dengan dalih pembagian peran.
Pemerintah dengan tegas mengakui perbedaan
peran tersebut dan menyatakan bahwa peran serta kaum wanita dalam proses
pembangunan harus berkembang selaras dan serasi dengan peran mereka dalam
meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dengan kata lain peran yang diberikan
wanita adalah peran ganda, dalam artian mereka bertanggung jawab atas urus dan
rumah tangga akan tetapi juga diharapkan melakukan aktivitas di luar rumah
sebagai anggota masyarakat.
Namun dalam prakteknya, hal seperti itu
belum terwujud. Masih banyak terjadi ketidakadilan peran antara wanita dan pria
dalam keluarga. Pembagian kerja yang tidak adil dalam keluarga merupakan hal
yang sudah menjamur dan melembaga bahkan merupakan hal tertua dan terkuat.
Umurnya sudah ribuan tahun dan sampai sekarang masih tetap bertahan. Sehingga
orang sering kali menganggap pembagian kerja secara seksual merupakan suatu
yang alamiah.
B.
Rumusan Masalah
Pada makalah kali ini penulis mencoba
mengerucutkan akar permasalahan menjadi rumusan masalah di bawah ini:
1.
Teori apa yang
mendasari pembagian kerja atau peran suami Istri dalam keluarga?
2.
Bagaimana seharusnya
keluarga Islam membagi tugas atau kerja dalam keluarga?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori-Teori Ketidaksamaan
Sebagian
masyarakat nampaknya masih menggunakan jenis kelamin sebagai patokan dalam
pembagian kerja sosial individu. Karena memang pada dasarnya antara laki-laki
dan perempuan dicetak dalam keadaan yang berbeda. Dari ketidaksamaan jenis
kelamin tersebut, maka lahirlah beberapa teori yang menuju pada pembagian kerja
antara laki-laki dan perempuan.
Murdock
dan Provost telah berusaha untuk mengidentifikasi pekerjaan-pekerjaan yang
paling konsisten untuk maskulin dan feminin yang dapat dijumpai di seluruh Indonesia.
pada umumnya, kegiatan-kegiatan yang secara konsisten diperuntukkan bagi kaum
pria (maskulin) adalah kegiatan-kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik yang
lebih besar, tingkat risiko dan bahayanya lebih tinggi, sering keluar rumah
dll. Sebaliknya kerja yang dilakukan feminin secara konsisten, relatif kurang
berbahaya, cenderung lebih bersifat mengulang, tidak memerlukan konsentrasi
yang intens, kurang memerlukan latihan yang intensif dan keterampilan rendah. [2]
Ada
beberapa teori untuk menjelaskan sifat pembagian kerja dan ketidaksamaan
menurut jenis kelamin. Sebagian teori tersebut terpusat pada penjelasan
mengenai pola universal, sementara yang lain
lebih memperhatikan penjelasan-penjelasan mengenai perbedaan dan peranan
jenis kelamin, di antaranya adalah
1.
Teori Sosiobiologi
Teori ini berusaha menjelaskan sifat
semesta keunggulan laki-laki dengan mengacu
kepada perbedaan-perbedaan biologis yang mendasar di antara jenis
kelamin itu. Teori ini sependapat bahwa tanpa memperhatikan elaborasi sosial ketidaksamaan
menurut jenis kelamin, perbedaan peranan seks terbentuk menurut ciri-ciri
tertentu yang mendasar dan biologi manusia.
2.
Teori Materialistis
Teori ini berusaha untuk menjelaskan
pola-pola peranan jenis kelamin sebagai produk pengaturan infrastruktur suatu
masyarakat. Mereka lebih memusatkan perhatian kepada variasi dalam sistem
peranan jenis kelamin, dan pada umumnya setuju bahwa sifat teknologi, produksi
ekonomi, dan ekologilah bukan keharusan biologis yang pada dasarnya menentukan
bagaimana konsep mengenai jenis kelamin itu selain berhubungan
3.
Teori Politik
Teori ini juga berusaha untuk
menjelaskan perbedaan dalam pola peraturan jenis kelamin. Yang menonjol dari
pada teori politik adalah memberi penekenan
pada perbedaan-perbedaan dalam kelaziman
berperan sebagai penentu kunci dari adanya perbedaan-perbedaan dalam peranan jenis kelamin itu.[3]
B.
Ketidakadilan Gender Dalam Rumah Tangga
Gender adalah
konsep yang merujuk pada sistem peranan dan hubungan antara perempuan dan
laki-laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, akan tetapi ditentukan
oleh lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.[4]
Sebagai perumpamaan, wanita dikenal cantik, lemah lembut, emosional dan
keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri
dan sifat itu dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, yang bisa mengubah
dari waktu ke waktu.
Banyak
sekali ahli di bidang antropologi, sosiologi dan ekonomi yang mengasumsikan
bahwa diferensiasi peranan dalam keluarga berdasarkan jenis kelamin dan alokasi
ekonomi mengarah pada adanya peranan yang besar atau menyeluruh pada wanita
dalam pekerjaan rumah tangga (reproduksi) dan laki-laki dalam pekerjaan
produktif (mencari nafkah). Walaupun demikian dari hasil penelitian tentang
curahan waktu pria dan wanita dalam rumah tangga di berbagai pekerjaan menunjukkan tidak sedikit wanita yang mempunyai
peranan sebagai pencari nafkah dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri
kecil.[5]
Karena
peran perempuan adalah mengelola rumah tangga dan memelihara anak, maka hal ini
mengakibatkan terjadi ketidakadilan gender dalam keluarga yang bermanifestasi
dalam berbagai bentuk yaitu:
1.
Burden. Perempuan
menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama dari pada
laki-laki.
2.
Subordinasi. Adanya anggapan
rendah (menomor duakan) terhadap perempuan dalam segala bidang baik pendidikan,
ekonomi dan politik
3.
Marginalisasi. Adanya proses
pemiskinan terhadap perempuan karena tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan-keputusan
penting yang terkait dengan ekonomi keluarga
4.
Stereotype. Adanya
pembelaan negatif terhadap perempuan karena dianggap sebagai pencari nafikan
tambahan
5.
Violence. Adanya tindak
kekerasan baik psikis maupun fisik terhadap perempuan karena anggapan suami sebagi
penguasa tunggal dalam rumah tangga [6]
Untuk membongkar
adanya berbagai macam ketidakadilan tersebut, maka tindakan yang strategis
untuk dilakukan adalah membongkar pola pembagian kerja. Karena dengan pola
pembagian kerja yang adil dalam rumah tangga, di mana suami, istri dan anak
sama-sama mempunyai akses dan kontrol secara adil di bawah kepemimpinan yang
demokratis, tidak sewenang-wenang, tanggung jawab dan siap dikontrol oleh
seluruh anggota keluarga sehingga akan tercipta keadilan relasi antara pria dan
wanita dalam keluarga dan masyarakat.
Adapun
beberapa indikator ketidakadilan suami istri dalam pembagian kerja rumah tangga
adalah sebagai berikut:
1.
Pembagian peran
berdasarkan jenis kelamin tidak berdasarkan keahlian
2.
Anggapan rendah
pekerjaan domestik
3.
Anggapan ringan
pekerjaan domestik
4.
Pekerjaan domestik
merupakan tanggung jawab istri
5. Istri berdosa apabila tidak menyelesaikan pekerjaan
domestik[7]
C.
Pembagian Kerja Menurut Jenis Kelamin
Pengalaman pemasyarakatan yang dini itu, di mana anak-anak muda mulai
memperoleh nilai-nilai dan keahlian-keahlian orang tua mereka merupakan dasar
bagi tingkah laku dewasa mereka kelak, jika mereka menjadi orang tua dan
suami/istri. Perbedaan dalam peran sex sangat menonjol dalam pembagian kerja
menurut jenis kelamin. Pada semua masyarakat tugas-tugas tertentu diberikan
pada wanita, ada yang lainnya pula diberikan pada laki-laki dan ada pula yang diberikan pada kedua-duanya.
Seorang laki-laki tidak dapat melahirkan anak atau merawatnya. Laki-laki
lebih kuat dari pada perempuan yang sebaliknya kadang-kadang terhalang oleh
waktu hamil, menstruasi dan melahirkan. Tetapi sebaliknya wanita cukup mempunyai
kekuatan, kecepatan dan ketelitian untuk mengerjakan hampir semua pekerjaan di tiap masyarakat. [8]
Sama pentingnya bahwa apa yang
dianggap sebagai pekerjaan laki-laki dalam suatu masyarakat mungkin saja
dianggap pekerjaan wanita pada masyarakat lain. Dengan demikian
menunjukkan bahwa banyak pembagian itu ditentukan oleh kebudayaan dan faktor
biologis hanya beberapa persennya saja.
Rata-rata pekerjaan laki-laki itu menenmpati porsi pekerjaan yang
berat-berat dan membutuhkan tenaga ektra. Sebaliknya perempuan kebanyakan
mendominasi pekerjaan yang relative lebih ringan dan tidak membutuhkan tenaga
super. Seperti mencuci, memasak, menyapu dan lain sebagainya.
Namun tidak menutup kemungkinan antara pekerjaan laki-laki dan perempuan
tersebut dicampur adukkan dan tidak ada pemisahan antara mereka. Karena pada
kenyataannya tidak sedikit wanita yang menempati ruang pekerjaan laki-laki.
Pembagian itu bukan didasarkan atas pertimbangan kemampuan terlihat dari
kenyataan bahwa laki-laki pun mampu melakukan pekerjaan wanita. Dalam hal ini, apapun tugas laki-laki dianggap lebih terhormat dari
pada perempuan.
Pembagian kerja berdasarkan jenis
kelamin dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu:
produksi, reproduksi dan komunitas atau yang disebut juga 3 peran gender (triple role), yaitu sbb:
1.
Kerja produktif
Adalah semua pekerjaan terkait dengan
produksi barang dan jasa untuk mendapatkan penghasilan dan subsitensi (pemenuhan
kebutuhan dasar). Perempuan dan laki-laki sama-sama bekerja untuk pekerjaan
produktif, namun tidak semua dari jenis pekerjaan ini sama nilai atau harganya.[9]
2.
Kerja reproduktif
Adalah pekerjaan yang berkaitan dengan
perawatan dan pemeliharaan rumah tangga dan anggotanya.[10] Jenis pekerjaan ini
sangat dibutuhkan dan penting sifatnya, akan tetapi sering dianggap tidak sama
nilainya dengan pekerjaan produktif. Pekerjaan ini penting bagi keberlangsungan
hidup manusia serta berguna untuk pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja,
namun jarang sekali dianggap sebagai pekerjaan ‘riil’.
Sebagai contoh, ketika
orang ditanya apa pekerjaan mereka,
maka tanggapan mereka adalah biasanya berkaitan dengan pekerjaan yang dibayar
atau pekerjaan untuk peningkatan pendapatan. Biasanya pekerjaan reproduktif
umumnya tidak dibayar dan tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi yang
konvensional. Umumnya pekerjaan ini dilakukan oleh perempuan.
3.
Kerja komunitas
Adalah kegiatan yang dilakukan untuk
aktivitas kemasyarakatan seperti upacara dan perayaan yang tujuannya untuk
meningkatkan solidaritas dalam masyarakat serta mempertahankan tradisi
setempat, meningkatkan partisipasi dalam kelompok atau organisasi sosial,
kegiatan politik di tingkat lokal. Tipe pekerjaan ini
jarang sekali diperhitungkan dalam analisis ekonomi dan dianggap sebagai
pekerjaan sukarela dan dianggap penting untuk pengembangan spiritual dan
kultural dari suatu komunitas. Baik perempuan dan laki-laki terlibat dalam
kegiatan kemasyarakatan ini, meskipun tidak terlepas dari sistem pembagian kerja berdasarkan gender. Jenis kerja
komunitas ini diklasifikasi atas dua tipe, yaitu:
a)
Pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan komunitas (community-managing
activitis) adalah pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh perempuan
sebagai perpanjangan dari peran reproduktif mereka. Kegiatan ini dilakukan
untuk menjamin adanya pengadaan dan pemeliharaan atas sumberdaya yang terbatas
yang dimanfaatkan oleh setiap orang seperti air, perawatan kesehatan, dan
pendidikan. Pekerjaan ini bersifat sukarela, dilakukan pada waktu luang
perempuan.
b)
Pekerjaan yang berkaitan dengan politik masyarakat (community
politics) adalah pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki dalam
organisasi politik formal, seringkali dalam kerangka politik nasional. Umumnya
mereka dibayar secara tunai dalam pekerjaan ini, atau mendapat keuntungan
secara tidak langsung dengan meningkatnya status atau kuasa.[11]
D.
Pembagian Kerja dalam Keluarga Muslim
Pola
pembagian kerja dalam keluarga lebih banyak didasarkan pada perbedaan jenis
kelamin dari pada keterampilan yang dimiliki oleh suami istri sebagaimana yang
telah diungkapkan oleh Arif Budiman bahwa pembagian kerja secara seksual lebih
didasarkan pada struktur perbedaan genetis antara laki-laki dan wanita.[12]
Sebagaimana
kita lihat pada budaya masyarakat Jawa, perempuan biasanya ditugaskan untuk
melakukan tugas dalam peristiwa sosial (perkawinan dan kelashiran), sedangkan
suami diberi tuga dalam acara ritual keagamaan. Diferensiasi peranan dalam
keluarga, Nampak bahwa perbedaan posisi anggota keluarga didasarkan pada
berbagai pertimbangan seperti perbedaan umur, jenis kelamin, ekonomi dan
kekuasaan.
Sebenarnya
dalam pembagian pekerjaan rumah tangga keluarga muslim, ada tiga kata kunci
yang sering diperdebatkan yakni kata “Pemimpin, Taat, Dan Adil”. Ketiga kata
ini hendaknya dipahami dengan menggunakan paradigma laki-laki dan perempuan,
untuk mencari format yang ideal dalam mengaplikasikan ketiga kata ini. Misalnya
kalau laki-laki benar sebagai pemimpin dalam rumah tangga, maka pola
kepemimpinan apa yang tepat untuk diterapkan apakah demokrasi atau
otoriter.juga dalam pengaplikasian ketaantan, aturan-aturan apa saja yang harus
ditaati dan mana yang tidak perlu ditaati.
Demikian
juga halnya dengan konsep aplikasi “keadilan”, proporsi yang bagaimnbakan yang
bisa dikatakan adil dalam pembagian kerja dalam keluarga, karena pada dasarnya
pria dan wanita memliki potensi yang sama untuk berkembang. Apakah konsep
pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, atau berdasarkan berat ringannya
pekerjaan, atau berdasar kemampuan yang dimiliki suami istri atau pula
berdasarkan siapa ynag berkuasa dalam rumah tangga.
Dalam
wacana keislaman klasik, secara umum wanita digeneralisasikan sebagai makhluk
yang melebur ke dalam citra laki-laki yakni sebagai obyek dan makhluk domestic.[13]
Kitab-kitab fikih telah mengaburkan posisi sentral perempuan sebagai “keibuan”
yang penuh kewibawaan dan kebijaksanaan menjadi posisi “keistrian” yang
submisif dan tergantung. Bahkan dalam kitab fikih tidak punya gambaran sama
sekali tentang masalah perempuan lebih banyak didasarkan pada hadis-hadis nabi
yang kondisional dan dipengaruhi oleh perspektif para ulama yang mengedepankan
konsep ird (kehormatan suku Arab)
dari pada dikembalikan menurut al-Qur;an yang menjamin keuniversalitasan Islam.
E.
Tugas atau Kewajiban dan Hak Anggota Keluarga
Salah
satu dari tujuan perkawinan ialah harapan akan mendapatkan karunia anak
keturunan yang akan meneruskan sejarah riwayat hidup seseorang untuk membina
keluarga sakinah. Dari proses perkawinan hingga lahirnya anak keturunan ini
timbullah masalah-masalah hukum yang harus dipatuhi oleh masing-masing suami
istri yang statusnya berganti menjadi bapak, ibu dan anak.
Dalam
perspektif islam, berikut beberapa uraian mengenai tugas hak dan kewajiban
orang tua dan anak[14].
1.
Tugas Ibu
Ibu sebagai orang tua dari anaknya dia
mempunyai tugas mengasuh anak bayinya, secara khusus di sebut dengan al-hadhonah[15]Tugas kewajiban ibu dengan al-hadhanah ini mencakup pekerjaan-pekerjaan sebagai berikut :
a.
Mengasuh anak yang
masih belum mampu mengurus masalah-masalah diri sendiri
b.
Mencegah apa yang bisa
membahayakan dia seperti kisah keluarga Imran berebut untuk menjadi pengasuh
dan menjaga Maryam ibunda nabi Isa (ali Imran 37 dan 44)
c.
Mengatasi urusan untuk
kepentingannya
d.
Melayani masalah makan
minum, tidur, mandi, berpakaian, mencuci pakaian sekaligus menumpahkan cinta
dan kasih sayang kepada anak.
e. Mendidik anak. Khusus untuk ibu, tugas ini sangat erat
mengikat dia ialah pada umur dan periode sebelum mumayyiz. Kompilasi Hukum
Islam pasal 105 (a) menetapkan umur mumayyiz anak ialah 12 tahun.
Az-zuhaili dalam al-Fiqhul Islami (1989:7/718) menyatakan
bahwa untuk mengasuh anak (al-hadhanah) ini melekat kepada 3 orang, yaitu:
anak, ibu, dan bapak. Untuk anak sudah jelas, dia mempunyai hak penuh untuk
dirawat, sedangkan bapak dan ibu akan terlihat jelas bagaimana haknya untuk
mengasuh anak, ketika terjadi perceraian dari perkawinan itu maka hak dan
kewajiban untuk mengasuh anak menjadi masalah yang sangat serius.
Dalam hal hadlanah maka terdapat tugas kewajiban
yang terpadu menjadi tugas kewajiban bersama-sama si ibu maupun bapak itu.[16]
2.
Tugas Bapak
Sebagai kepala keluarga dituntut
menanggung jawab masalah sebagai berikut :
a.
Mampu mengatasi ujian
atas tanggungannya berupa anak maupun istri (ali imran 14; al anfal 28; al
ankabut 85; al kahfi 45; al munafiqun 9; at taghabun 15)
b.
Anak merupakan anugrah
dan rahmat Allah, maka harus disayangi dan dicintai tidak boleh ada rasa tidak
suka kepada anak (yusuf 13, 64, 67, 84-85)
c.
Anak sebagai penyambung
sejarah dan riwayat hidup diri dia harus didoakan untuk memperoleh keberkahan
dan rahmat allah (maryam 6; al furqan 74; al ahqaf 15)
d.
Berusaha keras
mendidiknya agar anak itu kelak akan membawa harum nama orang tua (al kahfi 82)
e.
Bersikap adil atas
semua anak tidak boleh menganaktirikan yang satu dari yang lain (yusuf 8)
f.
Memberi nasehat
masalah-masalah yang sangat penting kepada anak (al baqarah 132-133; hud 42-43)
g.
Memberikan pendidikan
islam yang ideal (luqman 13, 17-19)
h. Memberikan pelatihan kecakapan mengatasi segala macam
masalah (al anbiya 78-79) dan pelajaran ibadah (al baqarah 132-133; luqman 13;
at tahrim 6; thaha 132)
Az-zuhaili dalam al-fiqhul islami
(1989:7/718) memberikan rincian yang senada bahwa tugas kewajiban bapak
menanggung sepenuhnya kebutuhan keluarga meliputi masalah-masalah berikut:
a.
Menentukan kebijakan
mengatur rumah tangga
b.
Sangat peduli, amper,
dan kritis atas tanggung jawabnya
c.
Penuh perhatian atas
masalah rumah tangganya
d.
Teguh hati, pantang
mundur
e.
Menciptakan suasana dan
nuansa yang mengutamakan al akhlaqul karimah.[17]
3.
Hak-hak anak dan
kewajiban orang tua untuk anaknya
a.
Untuk jangka panjang :
Hak untuk Beragama tauhid[18]
Dalam hal ini para ulama lebih
menekankan bahwa hak anak dan wajib dipenuhi oleh orang tua itu ialah untuk
mengasuh akidah kepercayaan amal ibadah dengan baik. Dalam hal ini Allah
menetapkannya dalam al-qur’an surat at tahrim ayat 6 :
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
b.
Untuk jangka pendek :
hak untuk hidup yang lebih baik[19]
Al-quran
surat al baqarah ayat 233 menunjuk langsung hak anak yang masih bayi, yaitu :
(1) hak untuk hidup; (2) hak untuk mendapat perawatan bagi dirinya untuk hidup
yang lebih baik lagi. Keduanya diwujudkan berupa pemberian air susu dari ibunya
sendiri selama dua tahun dan perawatannya sampai dewasa.
Lebih rinci lagi Az-zuhaili dalam al fiqhul
islami (1989:7/671) mencatat ada 5 (lima) macam hak anak sekaligus menjadi
kewajiban bapak ibunya, yaitu:[20]
Hak
atas ikatan nasab atau asal usul garis keturunan ke atas, suatu faktor yang
sangat menentukan soal siapa orang yang bertanggungjawab merawat anak. Allah
sendiri yang mengatur garis keturunan dan asal usul setiap bayi.
Hak
untuk mendapat susuan dari ibunya sendiri dan susuan ini sangat penting untuk
menjadi sarana pertama untuk hidup. Dalam al-qur’an surat al baqarah 233 Allah
menetapkan tenggang waktu untuk memberi air susu ibu dua tahun dimaksudkan agar supaya pertumbuhan jiwa dan raga
anak itu menjadi sempurna
Hak
mendapat santunan yang disebut hadhanah tersebut diberikan hingga si anak
mencapai usia yang memungkinkan kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri.
Menurut ulama malikiyyan sampai dewasa, menurut ulama syafi’iyyah sampai usia 7
tahun.
Hak
perwalian anak untuk melaksanakan perbuatan hukum mengenai diri dan hak-hak
kebendaan. Hak nafkah, yaitu hak atas seluruh biaya hidup yang diperlukan
olehnya, mulai dari kebutuhan makan, minum, pakaian, perawatan sampai
membesarkan anak sampai dewasa sehingga sapat mandiri mampu mencukupi kebutuhan
hidupnya sendiri.
Yang
perlu di catat disini bahwa 5 macam hak tersebut di atas harus ditambah lagi
dengan suatu hak yang berlaku sebelum anak dimaksud lahir ke dunia, maka
sebenarya anak dalam kandungan itu sudah mempunyai hak asasi, yaitu hak untuk
hidup.
BAB III
ANALISIS
DAN KESIMPULAN
Menurut
pandangan dan sesuai pengetahuan - keagamaan dan sosial - penulis mengenai
pembagian kerja dalam rumah tangga, penulis sedikit menganalisa bahwa pada
dasarnya pembagian kerja dalam rumah tangga harus sesuai dengan kemampuan
masing-masing anggota keluarga. Sesama anggota keluarga harus saling memahami
antara satu sama lain.
Sistem pembagian kerjanya jika dikaitkan dengan gender atau
jenis kelamin, maka menurut penulis hal itu tidak masalah, bahkan baik karena
memang padasarnya laki-laki dan perempuan diciptakan dengan postur tubuh yang
berbeda. Begitu pula dengan besar kekuatan yang dimiliki mereka sangat berbeda.
Wanita identik lebih lemah dan lembut dari pada laki-laki. Oleh karena itu
pembagian kerjanya pun harus disesuaikan dengan kemampuan mereka. Sehingga
tidak njomplang dan tumpang tindih.
Dalam keluarga, seharusnya antara suami dan istri harus bisa
saling memahami. Bukan berarti jika istri hanya melakukan pekerjaan rumah
seperti menyapu, mengepel, mencuci dan merawat anak itu dianggap remeh. Justru
pekerjaan domestik seperti itulah yang sangat urgen dalam keberlangsungan rumah
tangga. Bayangkan saja jika istri tidak menjalankan semua itu, maka yang
terjadi rumah akan kotor, semua anggota keluarga kelaparan, baju pada kotor, dan
rumah akan tampak seperti layaknya kandang atau tempat sampah yang tidak nyaman
bagi para penghuninya. Pun begitu terhadap pekerjaan suami.
Keluarga dalam hal ini harus mempu memposisikan peran
masing-masing dan seharusnya pemimpin dalam keluarga yakni suami harus menjadi
seortang imam yang bretanggung jawab atas kesejahteraan anggota keluarganya. Di
sini pemimpin harus pandai-pandai menempatkan posisi adil dan bijaksana
Dalam hal ini, penulis memandang bahwa pekerjaan suami istri
sama sama penting dan alangkah romantisnya jika keduanya saling membantu satu
sama lain jika pekerjaan mereka telah usai, sehingga yang tercipta dalam
kaluarga adalah suasana nyaman dan membahagiakan. [21]
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arif. Pembagian
Kerja Secara Seksual.1978. Jakarta: Gramedia
Muchlas, Imam. Al-Qur’an Berbicara Tentang Hukum Perkawinan,
2006, Malang: UMM Press.
Fakih, Mansur. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. 1996.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Su’aidah, Sosiologi Keluarga, 2005, Malang: UMM
Press.
Khilmiyah Akif. Menata Ulang Keluarga Sakinah, Keadilan
Sosial dan Humanisasi Mulai dari Rumah. 2003. Yogyakarta: Pondok Pustaka
Jogja.
William. J. Goode. Sosiologi
Keluarga. 1983, Jakarta: Bina Aksara. Cetakan pertama.
http://genderpedia.blogspot.com/2010/08/pembagian-kerja-berdasarkan-gender.html. Diakses pada tanggal 13 Juni 2011
jam 16.13 WIB.
Tarjamah Al-Qur’an al Karim
[3] Ibid, hal 186-211
[9] Jenis pekerjaan kategori inilah yang paling utama diakui dan dianggap lebih
bernilai sebagai pekerjaan baik oleh individu maupun masyarakat, secara umum
yang paling banyak dimasukkan ke dalam statistik ekonomi nasional
[10] Seperti memasak, mencuci, menyapu, membersihkan, merawat, menjaga dan
membesarkan anak, memelihara tempat tinggal, dan sebagainya.
[11] http://genderpedia.blogspot.com/2010/08/pembagian-kerja-berdasarkan-gender.html.
diakses pada tanggal 13 Juni 2011 jam 16.13 WIB.
Secara etimologi, hadlanah berasal dari bahasa arab
yang berarti "bagian samping tubuh yang bisa dipergunakan untuk
menggendong anak kecil".
Sedang secara terminologi, hadlanah berarti mengasuh,
memelihara dan mendidik anak kecil yang belum mumayyiz.
[21] Penulis sengaja meletakkan
analisis dan kesimpulan pada satu bab saja karena isi dari analisis inilah yang
nantinya juga merupakan kesimpulan dari pada makalah yang paenulis buat.
No comments:
Post a Comment
setelah selesai membaca tolong dikomentari yah..... makasih