Sunday, October 2, 2011

MAKALAH SOSIOLOGI KELUARGA “Pembagian Kerja Dalam Keluarga "


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
      Sesungguhnya banyak nilai-nilai ajaran agama Islam yang bersifat universal, misalnya tentang kesetaraan antara pria dan wanita dalam rumah tangga yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Padahal bentuk-bentuk kerja sama antara suami istri dalam Islam di antaranya adalah memimpin keluarga jika ada musyawarah, memberi nafkah, mengasuh, mendidik anak dan mengerjakan urusan rumah tangga. Namun demikian, masyarakat lebih mengenal kewajiban suami istri dari pada hak-hak di antara keduanya dalam rumah tangga. Barangkali kondisi seperti ini tidak menjadi masalah bagi keluarga yang istrinya tidak bekerja di luar rumah. Akan tetapi bagi istri yang bekerja di luar rumah, nampaknya kondisi ini sangat tidak menguntungkan. Karena dengan pemahaman yang diskriminatif atas gender membuat beban kerja wanita lebih berat.
      Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensi dari pandangan seperti itu, banyak kaum perempuan terutama dari kalangan keluarga kelas ke bawah harus bekerja keras, lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga mulai dari membersihkan, mengepel lantai, memasak, menyapu, mencuci dan memelihara anak.
      Bias gender yang mengakibatkan beban kerja tersebut sering kali diperkuat oleh adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap sejenis oleh masyarakat sebagai pekerjaan jenis “perempuan”, dikategorikan sebagai “tidak produktif” sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara kaum perempuan – karena anggapan perbedaan gender ini – sejak dini disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak kaum lelaki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik kesemuanya ini telah memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan.[1]
      Fondasi kehidupan keluarga adalah ajaran agama, sedang jalinan perekatnya adalah hak dan kewajiban terhadap suami, istri dan anak. Namun hanya sedikit sekali dari pasangan suami istri yang mengetahui ruang lingkup dari pengelolaan pekerjaan dalam rumah tangga. Sering kali hal ini menyebabkan konflik pada pasangan dan akhirnya saling melempar tugas, apalagi bagi pasangan karier ganda. Dan biasanya yang sering terbebani tugas domestik adalah istri, yang mulai bekerja sejak pagi hingga sore hari. Sementara para suami enggan membantu tugas domestik itu dengan dalih pembagian peran.
      Pemerintah dengan tegas mengakui perbedaan peran tersebut dan menyatakan bahwa peran serta kaum wanita dalam proses pembangunan harus berkembang selaras dan serasi dengan peran mereka dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dengan kata lain peran yang diberikan wanita adalah peran ganda, dalam artian mereka bertanggung jawab atas urus dan rumah tangga akan tetapi juga diharapkan melakukan aktivitas di luar rumah sebagai anggota masyarakat.
      Namun dalam prakteknya, hal seperti itu belum terwujud. Masih banyak terjadi ketidakadilan peran antara wanita dan pria dalam keluarga. Pembagian kerja yang tidak adil dalam keluarga merupakan hal yang sudah menjamur dan melembaga bahkan merupakan hal tertua dan terkuat. Umurnya sudah ribuan tahun dan sampai sekarang masih tetap bertahan. Sehingga orang sering kali menganggap pembagian kerja secara seksual merupakan suatu yang alamiah.

B.     Rumusan Masalah
Pada makalah kali ini penulis mencoba mengerucutkan akar permasalahan menjadi rumusan masalah di bawah ini:
1.      Teori apa yang mendasari pembagian kerja atau peran suami Istri dalam keluarga?
2.      Bagaimana seharusnya keluarga Islam membagi tugas atau kerja dalam keluarga?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori-Teori Ketidaksamaan
     Sebagian masyarakat nampaknya masih menggunakan jenis kelamin sebagai patokan dalam pembagian kerja sosial individu. Karena memang pada dasarnya antara laki-laki dan perempuan dicetak dalam keadaan yang berbeda. Dari ketidaksamaan jenis kelamin tersebut, maka lahirlah beberapa teori yang menuju pada pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan.
     Murdock dan Provost telah berusaha untuk mengidentifikasi pekerjaan-pekerjaan yang paling konsisten untuk maskulin dan feminin yang dapat dijumpai di seluruh Indonesia. pada umumnya, kegiatan-kegiatan yang secara konsisten diperuntukkan bagi kaum pria (maskulin) adalah kegiatan-kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik yang lebih besar, tingkat risiko dan bahayanya lebih tinggi, sering keluar rumah dll. Sebaliknya kerja yang dilakukan feminin secara konsisten, relatif kurang berbahaya, cenderung lebih bersifat mengulang, tidak memerlukan konsentrasi yang intens, kurang memerlukan latihan yang intensif dan keterampilan rendah. [2]
     Ada beberapa teori untuk menjelaskan sifat pembagian kerja dan ketidaksamaan menurut jenis kelamin. Sebagian teori tersebut terpusat pada penjelasan mengenai pola universal, sementara yang lain  lebih memperhatikan penjelasan-penjelasan mengenai perbedaan dan peranan jenis kelamin, di antaranya adalah
1.      Teori Sosiobiologi
Teori ini berusaha menjelaskan sifat semesta keunggulan laki-laki dengan mengacu  kepada perbedaan-perbedaan biologis yang mendasar di antara jenis kelamin itu. Teori ini sependapat bahwa tanpa memperhatikan elaborasi sosial ketidaksamaan menurut jenis kelamin, perbedaan peranan seks terbentuk menurut ciri-ciri tertentu yang mendasar dan biologi manusia.
2.      Teori Materialistis
Teori ini berusaha untuk menjelaskan pola-pola peranan jenis kelamin sebagai produk pengaturan infrastruktur suatu masyarakat. Mereka lebih memusatkan perhatian kepada variasi dalam sistem peranan jenis kelamin, dan pada umumnya setuju bahwa sifat teknologi, produksi ekonomi, dan ekologilah bukan keharusan biologis yang pada dasarnya menentukan bagaimana konsep mengenai jenis kelamin itu selain berhubungan
3.      Teori Politik
Teori ini juga berusaha untuk menjelaskan perbedaan dalam pola peraturan jenis kelamin. Yang menonjol dari pada teori politik adalah memberi penekenan  pada perbedaan-perbedaan dalam kelaziman  berperan sebagai penentu kunci dari adanya perbedaan-perbedaan  dalam peranan jenis kelamin itu.[3]

B.     Ketidakadilan Gender Dalam Rumah Tangga
      Gender adalah konsep yang merujuk pada sistem peranan dan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, akan tetapi ditentukan oleh lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.[4] Sebagai perumpamaan, wanita dikenal cantik, lemah lembut, emosional dan keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dan sifat itu dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, yang bisa mengubah dari waktu ke waktu.
      Banyak sekali ahli di bidang antropologi, sosiologi dan ekonomi yang mengasumsikan bahwa diferensiasi peranan dalam keluarga berdasarkan jenis kelamin dan alokasi ekonomi mengarah pada adanya peranan yang besar atau menyeluruh pada wanita dalam pekerjaan rumah tangga (reproduksi) dan laki-laki dalam pekerjaan produktif (mencari nafkah). Walaupun demikian dari hasil penelitian tentang curahan waktu pria dan wanita dalam rumah tangga di berbagai pekerjaan menunjukkan tidak sedikit wanita yang mempunyai peranan sebagai pencari nafkah dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri kecil.[5]
      Karena peran perempuan adalah mengelola rumah tangga dan memelihara anak, maka hal ini mengakibatkan terjadi ketidakadilan gender dalam keluarga yang bermanifestasi dalam berbagai bentuk yaitu:
1.      Burden. Perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama dari pada laki-laki.
2.      Subordinasi. Adanya anggapan rendah (menomor duakan) terhadap perempuan dalam segala bidang baik pendidikan, ekonomi dan politik
3.      Marginalisasi. Adanya proses pemiskinan terhadap perempuan karena tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting yang terkait dengan ekonomi keluarga
4.      Stereotype. Adanya pembelaan negatif terhadap perempuan karena dianggap sebagai pencari nafikan tambahan
5.      Violence. Adanya tindak kekerasan baik psikis maupun fisik terhadap perempuan karena anggapan suami sebagi penguasa tunggal dalam rumah tangga [6]
     Untuk membongkar adanya berbagai macam ketidakadilan tersebut, maka tindakan yang strategis untuk dilakukan adalah membongkar pola pembagian kerja. Karena dengan pola pembagian kerja yang adil dalam rumah tangga, di mana suami, istri dan anak sama-sama mempunyai akses dan kontrol secara adil di bawah kepemimpinan yang demokratis, tidak sewenang-wenang, tanggung jawab dan siap dikontrol oleh seluruh anggota keluarga sehingga akan tercipta keadilan relasi antara pria dan wanita dalam keluarga dan masyarakat.
     Adapun beberapa indikator ketidakadilan suami istri dalam pembagian kerja rumah tangga adalah sebagai berikut:
1.      Pembagian peran berdasarkan jenis kelamin tidak berdasarkan keahlian
2.      Anggapan rendah pekerjaan domestik
3.      Anggapan ringan pekerjaan domestik
4.      Pekerjaan domestik merupakan tanggung jawab istri
5.      Istri berdosa apabila tidak menyelesaikan pekerjaan domestik[7]

C.    Pembagian Kerja Menurut Jenis Kelamin
Pengalaman pemasyarakatan yang dini itu, di mana anak-anak muda mulai memperoleh nilai-nilai dan keahlian-keahlian orang tua mereka merupakan dasar bagi tingkah laku dewasa mereka kelak, jika mereka menjadi orang tua dan suami/istri. Perbedaan dalam peran sex sangat menonjol dalam pembagian kerja menurut jenis kelamin. Pada semua masyarakat tugas-tugas tertentu diberikan pada wanita, ada yang lainnya pula diberikan pada laki-laki dan ada pula yang diberikan pada kedua-duanya.
Seorang laki-laki tidak dapat melahirkan anak atau merawatnya. Laki-laki lebih kuat dari pada perempuan yang sebaliknya kadang-kadang terhalang oleh waktu hamil, menstruasi dan melahirkan. Tetapi sebaliknya wanita cukup mempunyai kekuatan, kecepatan dan ketelitian untuk mengerjakan hampir semua pekerjaan di tiap masyarakat. [8]
Sama pentingnya bahwa apa yang dianggap sebagai pekerjaan laki-laki dalam suatu masyarakat mungkin saja dianggap pekerjaan wanita pada masyarakat lain.  Dengan demikian menunjukkan bahwa banyak pembagian itu ditentukan oleh kebudayaan dan faktor biologis hanya beberapa persennya saja.
Rata-rata pekerjaan laki-laki itu menenmpati porsi pekerjaan yang berat-berat dan membutuhkan tenaga ektra. Sebaliknya perempuan kebanyakan mendominasi pekerjaan yang relative lebih ringan dan tidak membutuhkan tenaga super. Seperti mencuci, memasak, menyapu dan lain sebagainya.
Namun tidak menutup kemungkinan antara pekerjaan laki-laki dan perempuan tersebut dicampur adukkan dan tidak ada pemisahan antara mereka. Karena pada kenyataannya tidak sedikit wanita yang menempati ruang pekerjaan laki-laki. Pembagian itu bukan didasarkan atas pertimbangan kemampuan terlihat dari kenyataan bahwa laki-laki pun mampu melakukan pekerjaan wanita. Dalam hal ini, apapun tugas laki-laki dianggap lebih terhormat dari pada perempuan.
Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu: produksi, reproduksi dan komunitas atau yang disebut juga 3 peran gender (triple role), yaitu sbb:
1.      Kerja produktif
Adalah semua pekerjaan terkait dengan produksi barang dan jasa untuk mendapatkan penghasilan dan subsitensi (pemenuhan kebutuhan dasar). Perempuan dan laki-laki sama-sama bekerja untuk pekerjaan produktif, namun tidak semua dari jenis pekerjaan ini sama nilai atau harganya.[9]
2.      Kerja reproduktif
Adalah pekerjaan yang berkaitan dengan perawatan dan pemeliharaan rumah tangga dan anggotanya.[10] Jenis pekerjaan ini sangat dibutuhkan dan penting sifatnya, akan tetapi sering dianggap tidak sama nilainya dengan pekerjaan produktif. Pekerjaan ini penting bagi keberlangsungan hidup manusia serta berguna untuk pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja, namun jarang sekali dianggap sebagai pekerjaan ‘riil’.
Sebagai contoh, ketika orang ditanya apa pekerjaan mereka, maka tanggapan mereka adalah biasanya berkaitan dengan pekerjaan yang dibayar atau pekerjaan untuk peningkatan pendapatan. Biasanya pekerjaan reproduktif umumnya tidak dibayar dan tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi yang konvensional. Umumnya pekerjaan ini dilakukan oleh perempuan.
3.      Kerja komunitas
Adalah kegiatan yang dilakukan untuk aktivitas kemasyarakatan seperti upacara dan perayaan yang tujuannya untuk meningkatkan solidaritas dalam masyarakat serta mempertahankan tradisi setempat, meningkatkan partisipasi dalam kelompok atau organisasi sosial, kegiatan politik di tingkat lokal. Tipe pekerjaan ini jarang sekali diperhitungkan dalam analisis ekonomi dan dianggap sebagai pekerjaan sukarela dan dianggap penting untuk pengembangan spiritual dan kultural dari suatu komunitas. Baik perempuan dan laki-laki terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan ini, meskipun tidak terlepas dari sistem pembagian kerja berdasarkan gender. Jenis kerja komunitas ini diklasifikasi atas dua tipe, yaitu:
a)            Pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan komunitas (community-managing activitis) adalah pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh perempuan sebagai perpanjangan dari peran reproduktif mereka. Kegiatan ini dilakukan untuk menjamin adanya pengadaan dan pemeliharaan atas sumberdaya yang terbatas yang dimanfaatkan oleh setiap orang seperti air, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Pekerjaan ini bersifat sukarela, dilakukan pada waktu luang perempuan.
b)            Pekerjaan yang berkaitan dengan politik masyarakat (community politics) adalah pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki dalam organisasi politik formal, seringkali dalam kerangka politik nasional. Umumnya mereka dibayar secara tunai dalam pekerjaan ini, atau mendapat keuntungan secara tidak langsung dengan meningkatnya status atau kuasa.[11]
D.    Pembagian Kerja dalam Keluarga Muslim
Pola pembagian kerja dalam keluarga lebih banyak didasarkan pada perbedaan jenis kelamin dari pada keterampilan yang dimiliki oleh suami istri sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Arif Budiman bahwa pembagian kerja secara seksual lebih didasarkan pada struktur perbedaan genetis antara laki-laki dan wanita.[12]
Sebagaimana kita lihat pada budaya masyarakat Jawa, perempuan biasanya ditugaskan untuk melakukan tugas dalam peristiwa sosial (perkawinan dan kelashiran), sedangkan suami diberi tuga dalam acara ritual keagamaan. Diferensiasi peranan dalam keluarga, Nampak bahwa perbedaan posisi anggota keluarga didasarkan pada berbagai pertimbangan seperti perbedaan umur, jenis kelamin, ekonomi dan kekuasaan.
Sebenarnya dalam pembagian pekerjaan rumah tangga keluarga muslim, ada tiga kata kunci yang sering diperdebatkan yakni kata “Pemimpin, Taat, Dan Adil”. Ketiga kata ini hendaknya dipahami dengan menggunakan paradigma laki-laki dan perempuan, untuk mencari format yang ideal dalam mengaplikasikan ketiga kata ini. Misalnya kalau laki-laki benar sebagai pemimpin dalam rumah tangga, maka pola kepemimpinan apa yang tepat untuk diterapkan apakah demokrasi atau otoriter.juga dalam pengaplikasian ketaantan, aturan-aturan apa saja yang harus ditaati dan mana yang tidak perlu ditaati.
Demikian juga halnya dengan konsep aplikasi “keadilan”, proporsi yang bagaimnbakan yang bisa dikatakan adil dalam pembagian kerja dalam keluarga, karena pada dasarnya pria dan wanita memliki potensi yang sama untuk berkembang. Apakah konsep pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, atau berdasarkan berat ringannya pekerjaan, atau berdasar kemampuan yang dimiliki suami istri atau pula berdasarkan siapa ynag berkuasa dalam rumah tangga.
Dalam wacana keislaman klasik, secara umum wanita digeneralisasikan sebagai makhluk yang melebur ke dalam citra laki-laki yakni sebagai obyek dan makhluk domestic.[13] Kitab-kitab fikih telah mengaburkan posisi sentral perempuan sebagai “keibuan” yang penuh kewibawaan dan kebijaksanaan menjadi posisi “keistrian” yang submisif dan tergantung. Bahkan dalam kitab fikih tidak punya gambaran sama sekali tentang masalah perempuan lebih banyak didasarkan pada hadis-hadis nabi yang kondisional dan dipengaruhi oleh perspektif para ulama yang mengedepankan konsep ird (kehormatan suku Arab) dari pada dikembalikan menurut al-Qur;an yang menjamin keuniversalitasan Islam.

E.     Tugas atau Kewajiban dan Hak Anggota Keluarga
      Salah satu dari tujuan perkawinan ialah harapan akan mendapatkan karunia anak keturunan yang akan meneruskan sejarah riwayat hidup seseorang untuk membina keluarga sakinah. Dari proses perkawinan hingga lahirnya anak keturunan ini timbullah masalah-masalah hukum yang harus dipatuhi oleh masing-masing suami istri yang statusnya berganti menjadi bapak, ibu dan anak.
      Dalam perspektif islam, berikut beberapa uraian mengenai tugas hak dan kewajiban orang tua dan anak[14].
1.      Tugas Ibu
Ibu sebagai orang tua dari anaknya dia mempunyai tugas mengasuh anak bayinya, secara khusus di sebut dengan al-hadhonah[15]Tugas kewajiban ibu dengan al-hadhanah ini mencakup pekerjaan-pekerjaan sebagai berikut :
a.       Mengasuh anak yang masih belum mampu mengurus masalah-masalah diri sendiri
b.      Mencegah apa yang bisa membahayakan dia seperti kisah keluarga Imran berebut untuk menjadi pengasuh dan menjaga Maryam ibunda nabi Isa (ali Imran 37 dan 44)
c.       Mengatasi urusan untuk kepentingannya
d.      Melayani masalah makan minum, tidur, mandi, berpakaian, mencuci pakaian sekaligus menumpahkan cinta dan kasih sayang kepada anak.
e.       Mendidik anak. Khusus untuk ibu, tugas ini sangat erat mengikat dia ialah pada umur dan periode sebelum mumayyiz. Kompilasi Hukum Islam pasal 105 (a) menetapkan umur mumayyiz anak ialah 12 tahun.
              Az-zuhaili dalam al-Fiqhul Islami (1989:7/718) menyatakan bahwa untuk mengasuh anak (al-hadhanah) ini melekat kepada 3 orang, yaitu: anak, ibu, dan bapak. Untuk anak sudah jelas, dia mempunyai hak penuh untuk dirawat, sedangkan bapak dan ibu akan terlihat jelas bagaimana haknya untuk mengasuh anak, ketika terjadi perceraian dari perkawinan itu maka hak dan kewajiban untuk mengasuh anak menjadi masalah yang sangat serius.
Dalam hal hadlanah maka terdapat tugas kewajiban yang terpadu menjadi tugas kewajiban bersama-sama si ibu maupun bapak itu.[16]
2.      Tugas Bapak
Sebagai kepala keluarga dituntut menanggung jawab masalah sebagai berikut :
a.       Mampu mengatasi ujian atas tanggungannya berupa anak maupun istri (ali imran 14; al anfal 28; al ankabut 85; al kahfi 45; al munafiqun 9; at taghabun 15)
b.      Anak merupakan anugrah dan rahmat Allah, maka harus disayangi dan dicintai tidak boleh ada rasa tidak suka kepada anak (yusuf 13, 64, 67, 84-85)
c.       Anak sebagai penyambung sejarah dan riwayat hidup diri dia harus didoakan untuk memperoleh keberkahan dan rahmat allah (maryam 6; al furqan 74; al ahqaf 15)
d.      Berusaha keras mendidiknya agar anak itu kelak akan membawa harum nama orang tua (al kahfi 82)
e.       Bersikap adil atas semua anak tidak boleh menganaktirikan yang satu dari yang lain (yusuf 8)
f.       Memberi nasehat masalah-masalah yang sangat penting kepada anak (al baqarah 132-133; hud 42-43)
g.      Memberikan pendidikan islam yang ideal (luqman 13, 17-19)
h.      Memberikan pelatihan kecakapan mengatasi segala macam masalah (al anbiya 78-79) dan pelajaran ibadah (al baqarah 132-133; luqman 13; at tahrim 6; thaha 132)
            Az-zuhaili dalam al-fiqhul islami (1989:7/718) memberikan rincian yang senada bahwa tugas kewajiban bapak menanggung sepenuhnya kebutuhan keluarga meliputi masalah-masalah berikut:
a.       Menentukan kebijakan mengatur rumah tangga
b.      Sangat peduli, amper, dan kritis atas tanggung jawabnya
c.       Penuh perhatian atas masalah rumah tangganya
d.      Teguh hati, pantang mundur
e.       Menciptakan suasana dan nuansa yang mengutamakan al akhlaqul karimah.[17]
3.      Hak-hak anak dan kewajiban orang tua untuk anaknya
a.       Untuk jangka panjang : Hak untuk Beragama tauhid[18]
Dalam hal ini para ulama lebih menekankan bahwa hak anak dan wajib dipenuhi oleh orang tua itu ialah untuk mengasuh akidah kepercayaan amal ibadah dengan baik. Dalam hal ini Allah menetapkannya dalam al-qur’an surat at tahrim ayat 6 :
 “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
b.      Untuk jangka pendek : hak untuk hidup yang lebih baik[19]
     Al-quran surat al baqarah ayat 233 menunjuk langsung hak anak yang masih bayi, yaitu : (1) hak untuk hidup; (2) hak untuk mendapat perawatan bagi dirinya untuk hidup yang lebih baik lagi. Keduanya diwujudkan berupa pemberian air susu dari ibunya sendiri selama dua tahun dan perawatannya sampai dewasa.
Lebih rinci lagi Az-zuhaili dalam al fiqhul islami (1989:7/671) mencatat ada 5 (lima) macam hak anak sekaligus menjadi kewajiban bapak ibunya, yaitu:[20]
                  Hak atas ikatan nasab atau asal usul garis keturunan ke atas, suatu faktor yang sangat menentukan soal siapa orang yang bertanggungjawab merawat anak. Allah sendiri yang mengatur garis keturunan dan asal usul setiap bayi.
     Hak untuk mendapat susuan dari ibunya sendiri dan susuan ini sangat penting untuk menjadi sarana pertama untuk hidup. Dalam al-qur’an surat al baqarah 233 Allah menetapkan tenggang waktu untuk memberi air susu ibu dua tahun dimaksudkan agar supaya pertumbuhan jiwa dan raga anak itu menjadi sempurna
                  Hak mendapat santunan yang disebut hadhanah tersebut diberikan hingga si anak mencapai usia yang memungkinkan kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Menurut ulama malikiyyan sampai dewasa, menurut ulama syafi’iyyah sampai usia 7 tahun.
                  Hak perwalian anak untuk melaksanakan perbuatan hukum mengenai diri dan hak-hak kebendaan. Hak nafkah, yaitu hak atas seluruh biaya hidup yang diperlukan olehnya, mulai dari kebutuhan makan, minum, pakaian, perawatan sampai membesarkan anak sampai dewasa sehingga sapat mandiri mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri.
                  Yang perlu di catat disini bahwa 5 macam hak tersebut di atas harus ditambah lagi dengan suatu hak yang berlaku sebelum anak dimaksud lahir ke dunia, maka sebenarya anak dalam kandungan itu sudah mempunyai hak asasi, yaitu hak untuk hidup.



BAB III
ANALISIS DAN KESIMPULAN

            Menurut pandangan dan sesuai pengetahuan - keagamaan dan sosial - penulis mengenai pembagian kerja dalam rumah tangga, penulis sedikit menganalisa bahwa pada dasarnya pembagian kerja dalam rumah tangga harus sesuai dengan kemampuan masing-masing anggota keluarga. Sesama anggota keluarga harus saling memahami antara satu sama lain.
Sistem pembagian kerjanya jika dikaitkan dengan gender atau jenis kelamin, maka menurut penulis hal itu tidak masalah, bahkan baik karena memang padasarnya laki-laki dan perempuan diciptakan dengan postur tubuh yang berbeda. Begitu pula dengan besar kekuatan yang dimiliki mereka sangat berbeda. Wanita identik lebih lemah dan lembut dari pada laki-laki. Oleh karena itu pembagian kerjanya pun harus disesuaikan dengan kemampuan mereka. Sehingga tidak njomplang dan tumpang tindih.
Dalam keluarga, seharusnya antara suami dan istri harus bisa saling memahami. Bukan berarti jika istri hanya melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, mencuci dan merawat anak itu dianggap remeh. Justru pekerjaan domestik seperti itulah yang sangat urgen dalam keberlangsungan rumah tangga. Bayangkan saja jika istri tidak menjalankan semua itu, maka yang terjadi rumah akan kotor, semua anggota keluarga kelaparan, baju pada kotor, dan rumah akan tampak seperti layaknya kandang atau tempat sampah yang tidak nyaman bagi para penghuninya. Pun begitu terhadap pekerjaan suami.
Keluarga dalam hal ini harus mempu memposisikan peran masing-masing dan seharusnya pemimpin dalam keluarga yakni suami harus menjadi seortang imam yang bretanggung jawab atas kesejahteraan anggota keluarganya. Di sini pemimpin harus pandai-pandai menempatkan posisi adil dan bijaksana
Dalam hal ini, penulis memandang bahwa pekerjaan suami istri sama sama penting dan alangkah romantisnya jika keduanya saling membantu satu sama lain jika pekerjaan mereka telah usai, sehingga yang tercipta dalam kaluarga adalah suasana nyaman dan membahagiakan. [21]




DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arif. Pembagian Kerja Secara Seksual.1978. Jakarta: Gramedia
Muchlas, Imam. Al-Qur’an Berbicara Tentang Hukum Perkawinan, 2006, Malang: UMM Press.
Fakih, Mansur. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. 1996. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Su’aidah, Sosiologi Keluarga, 2005, Malang: UMM Press.
Khilmiyah Akif. Menata Ulang Keluarga Sakinah, Keadilan Sosial dan Humanisasi Mulai dari Rumah. 2003. Yogyakarta: Pondok Pustaka Jogja.
William. J. Goode. Sosiologi Keluarga. 1983, Jakarta: Bina Aksara. Cetakan pertama.
Tarjamah Al-Qur’an al Karim



      [1] Mansur  Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. 1996. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 21
      [2] Su’aidah, Sosiologi Keluarga, 2005, Malang: UMM Press. Hal 187.
[3] Ibid, hal 186-211
      [4] Mansur  Fakih, Op.Cit hal. 8
      [5] Akif Khilmiyah. Menata Ulang Keluarga Sakinah, Keadilan Sosial dan Humanisasi Mulai dari Rumah. 2003. Yogyakarta: Pondok Pustaka Jogja. Hal. 9.
      [6] Mansur Fakih. Op.Cit. Hal 15.
      [7] Akif Khilmiyah. Menata Ulang Keluarga Sakinah, Keadilan Sosial dan Humanisasi Mulai dari Rumah. 2003. Yogyakarta: Pondok Pustaka Jogja. Hal. 11.
[8] William. J. Goode. Sosiologi Keluarga. 1983, Jakarta: Bina Aksara. Hal. 141
[9] Jenis pekerjaan kategori inilah yang paling utama diakui dan dianggap lebih bernilai sebagai pekerjaan baik oleh individu maupun masyarakat, secara umum yang paling banyak dimasukkan ke dalam statistik ekonomi nasional
[10] Seperti memasak, mencuci, menyapu, membersihkan, merawat, menjaga dan membesarkan anak, memelihara tempat tinggal, dan sebagainya.
[12] Arif Budiman. Pembagian Kerja Secara Seksual.1978. Jakarta: Gramedia. Hal 7
[13] Akif Khilmiyah. Op Cit. hal.69
      [14] Imam Muchlas, Al-Qur’an Berbicara Tentang Hukum Perkawinan, 2006, Malang: UMM Press. Hlm. 89
      [15] Al-qur’an surat al-baqarah 233; al-ahqaf 15; luqman 14.
Secara etimologi, hadlanah berasal dari bahasa arab yang berarti "bagian samping tubuh yang bisa dipergunakan untuk menggendong anak kecil".
Sedang secara terminologi, hadlanah berarti mengasuh, memelihara dan mendidik anak kecil yang belum mumayyiz.
      [16] Imam Muchlas, Op.cit. hlm. 90
      [17] Ibid, Hlm. 92
      [18] Ibid, Hlm. 275
      [19] Ibid. Hlm. 277
      [20] Ibid. Hlm. 278-283

[21] Penulis sengaja meletakkan analisis dan kesimpulan pada satu bab saja karena isi dari analisis inilah yang nantinya juga merupakan kesimpulan dari pada makalah yang paenulis buat.

No comments:

Post a Comment

setelah selesai membaca tolong dikomentari yah..... makasih