Friday, November 11, 2011

Hak dan Kewajiban Orang Tua


BAB I
PENDAHULUAN


Orang tua merupakan sosok terpenting dan paling berjasa dalam sejarah kehidupan manusia. Kehadiranya sungguh tak ternilai harganya. Pengorbananya pun tidak terkira dan tidak terhingga besarnya. Semua waktu, tenaga dan harta ia korbankan hanya untuk memberikan kebahagiaan bagi sang buah hatinya. Pendidikan dan pembimbingan terhadap putra-putrinya pun selalu ia lakukan hanya agar putra-putrinya nanti mampu menjadi seorang yang sukses baik di dunia maupun di akhirat kelak
   Oleh sebab itulah Islam benar-benar menjunjung tinggi kedudukan orang tua terutama ibu. Karena ibu adalah sosok wanita yang paling dimuliakan oleh Rasulullah. Sampai-sampai kedudukan ibu lebih tinggi tiga derajat dibandingkan dengan ayah. Namun demikian sang anak juga tidak boleh semena-mena terhadap ayahnya karena bagitupun ayah adalah sosok pria yang sejak kecil menafkahi kebutuhan keluarga, memberikan kasih sayang dan karena benih yang ditanam olehnya akhirnya jadilah seorang anak atas idzin Allah.
   Berbicara mengenai birrul walidain di zaman modern ini, ternyata masih banyak sekali anak yang tidak mengetahui betapa besar jasa orang tua mereka. Sehingga penghormatan terhadapnya tidak sedikitpun tertoreh di benak sang anak. Sikap kasar berbalut benci selalu di luncurkan di wajah dan ditusukan kedalam hati mereka. Seakan-akan mereka adalah musuh terbesar dalam kehidupan.
   Padahal Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan tentang tata cara bergaul dengan orang tua. Bahkan ketika sang anak merasa capek atau bahkan orang tua melakukan kesalahan, maka seorang anak tidak boleh mengucapkan kata-kata kasar, walaupun hanya dengan kata ‘ah’. hal ini telah diatur Allah dalam firmanya surat Al-Isra’ ayat 23 yang terjemahanya “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
Perkara sepele inilah yang menjadi suatu hal lumrah bagi anak-anak masa kini. Orang tua seolah-olah merupakan pembantu pribadinya. Mereka seakan akan tidak mampunyai kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu birrul walidain. Membentak-bentak seenaknya, meminta uang tanpa kenal waktu, membohongi, menipu, bahkan ada juga yang tega membunuh orang tuanya hanya karena tidak diberi uang jajan. Sungguh ironis peristiwa ini.
Tela’ah sejenak mengenai kisah Alqomah, dia seorang ahli ibadah dan terkenal kebaktiannya pada sang ibu. Namun disuatu ketika Alqomah melebihkan sesuatu perhatian kepada istrinya, Ibunyapun merasa dikecewakan dan ibunya tidak mau memaafkan sikap Alqomah, di suatu ketika ia tertahan ketika sakarotul maut. Kemudian Rasulullah menyakan sekiranya ibu tidak mau memaafkan anaknya yang sedang anak, maka anak itu akan dibakar hidup-hidup. Membayangkan kesengsaraan anaknya yang akan dibakar tersebut, hati ibupun luluh dan mencair. Akhirnya, Alqamah meninggal dunia dengan mendapat kemaafan ibunya dan mati dalam husnu al-khatimah.
Begitu erat hubungan antara anak, ibu dan Allah, sampai-sampai Rasulullah menjelaskan dalam hadisnya bahwa surga itu dibawah telapak kaki ibu. Namun demikian orang tuapun mempunyai kewajiban yang harus dilakukan terhadap anak diatarinya menyayangi, merawat dan mendidik anak hingga usia dewasa. Karena sekarang ini banyak sekali orang tua yang kelakuanya seakan-akan menjerumuskan dan menggiring anak dalam jurang kenistaan. Padahal seharusnya orang tua memberi contoh yang bijak bagi anak-anak mereka untuk mencapai ridha Allah.

BAB II
RUMUSAN MASALAH


Rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan makalah kali ini adalah:
1.    Apa definisi dan dasar-dasar birrul walidain yang merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah?
2.    Apa saja hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya?
3.    Apa saja hak dan kewajiban anak terhadap orang tuanya?


BAB III
PEMBAHASAN


1. Dasar-dasar dan Definisi Birrul Walidain
Berbakti kepada kedua orang tua atau yang sering dikenal dengan istilah birrul walidain menurut konsep Islam hukumnya wajib. Makna Birrul Walidain yaitu menjaga, memelihara dan mematuhi perintah kedua orang tua, dalam artian peintah tersebut tidak bersifat maksiat. Allah mewasiatkan kepada umatnya :
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".[1]
             
Allah juga menggabungkan antara perintah perintah berbuat baik terhadap kedua orang tua dengan perintah beribadah kepada-Nya. Hal ini menunjukan betapa besar nilai dan agungnya hak mereka, serta wajibnya berbuat baik terhadap keduanya. Allah berfirman SWT berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.[2]

Birrul walidain merupakan amalan yang paling dicintai Allah setelah perintah sholat. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud ra. Katanya, “aku pernah bertanya kepada Rasulullah, amalan apakah yang paling dicitai Allah? Rasul menjawab “sholat pada waktunya,” aku bertanya lagi “kemudian apa lagi?” beliau bersabda, “berbakti pada kedua orang tua.” Akupun bertanya lagi, “kemudian?” beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.”[3]
Selain itu birrul walidain juga merupakan salah satu penyebab seseorang dapat masuk surga. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Rasululah bersabda:
حدثنا شيبان بن فروخ. حدثنا أبو عوانة عن سهيل، عن أبيه، عن أبي هريرة،عن النبي صلى الله عليه وسلم. قال "رغم أنف، ثم رغم أنف، ثم رغم أنف" قيل: من؟ يا رسول الله! قال "من أدرك أبويه عند الكبر، أحدهما أو كليهما فلم يدخل الجنة".
“Betapa hina diri seseorang, betapa hina diri seseorang, betapa hina diri seseorang.” Rasulullah ditanya, “Siapa dia wahai Rasul?” beliau menjawab, “Orang yang bertemu salah satu atau kedua orang tuanya tatkala berusia lanjut kemudian tidak masuk surga.”[4]
Selain itu keridhaan Allah itu ada pada keridhaan kedua orang tua, begitu juga sebaliknya kemurkaan Allah berada pada kemurkaan kedua orang tua . Rasulullah bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak menyebutkan tentang ancaman durhaka kepada kedua orang tua. Bahkan beliau nyatakan bahwa hal itu termasuk dosa besar. Abu Bakrah radhiallahu 'anhu menyampaikan ucapan beliau ini:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الكَبَائِرِ ؟ قُلْنَا : بَلَى يَا رَسُوْلَ الله. قَالَ ثَلاَثًا  الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الوَالِدَيْنِ  وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ. أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ  فَمَا زَالَ يَقُوْلُهَا حَتَّى قُلْتُ لاَ يَسْكُتُ.
“Tidakkah kalian ingin aku kabarkan tentang dosa besar yang paling besar?” Kami menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau pun berkata tiga kali, “Menyekutukan Allah dan durhaka terhadap kedua orang tua.” Semula beliau dalam keadaan bersandar, lalu beliau pun bangkit duduk dan mengatakan, “Ketahuilah, ucapan dusta dan saksi palsu! Ketahuilah, ucapan dusta dan saksi palsu!” Beliau terus-menerus mengatakan hal itu hingga aku berkata, “Andaikan beliau diam.” [5]..
Dalam teks hadits lain, Nabi Saw pernah menyatakan secara eksplisit bahwa durhaka itu haram, dan bisa mengakibatkan seseorang su’u al-khatimah (meninggal dalam keadaan sesat).

2.    Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua
Pada dasarnya, kewajiban seorang anak merupakan hak bagi orang tua begitu pula sebaliknya hak anak adalah merupakan kewajiban dari orang tua sendiri.
Diantara kewajiban anak untuk berbakti pada orang tuanya dibagi menjadi dua yaitu ketika mereka masih hidup dan sesudah mereka wafat.
A.  Saat  Orang Tua Masih Hidup
1.    Menaati mereka selama tidak mendurhakai Allah.
Ta’at, patuh dan hormat pada kedua orang tua merupakan kewajiban bagi setiap anak Adam(manusia). Sedangkan mendurhakai keduanya merupakan perbuatan yang diharamkan, kecuali jika mereka menyuruh untuk berbuat syirik atau bermaksiat kepada Allah. Allah berfirman, artinya, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, ….”[6].
Rasulullah SAW. bersabda, “Tidak ada ketaatan untuk mendurhakai Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam melakukan kebaikan”.[7]
Adapun contoh bentuk ketaatan pada orang tua diantaranya:
a)    Apabila orang tua meminta makan maka anak wajib memberikan
b)   Memberikan sesuatu yang diinginkan orang tua baik yang diminta atupun tidak
c)     Segera mendatangi panggilan orang tua
d)    Melaksanakan semua perintah orang tua asalkan buka perintah maksiat
e)    Tidak membentak, menghardik, memukul bahkan membunuh orang tua mnskipun orang tua salah
Berbakti terhadap kedua orang tua dapat direalisasikan dengan berbagia bentuk. Di antara bakti terhadap kedua orang tua adalah menjauhkan ucapan dan perbuatan yang dapat menyakiti mereka, walaupun berupa isyarat atau dengan ucapan ‘ah’, tidak mengeraskan suara melebihi suara mereka, mendahulukan keperluan orang tua dari pada keperluan pribadi.
2.    Berbakti terhadap kedua orang tua dapat direalisasikan dengan berbagai bentuk.  Diantara wujud lain dari pada bakti pada orang tua diantaranya
a)    Tidak berkata “ah” dan tidak mengeraskan suara melebihi suara orang tua
b)   Tidak mendahului jalan orang tua
c)    Mendahulukan keperluan orang tua dari pada keperluan pribadi
d)   Tidak berkata kasar
3.    Meminta izin kepada mereka sebelum berjihad dan pergi untuk urusan lainnya.
Amat penting kedudukan izin kepada orang tua dalam masalah jihad. Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah apakah aku boleh ikut berjihad?” Beliau balik bertanya, ‘Apakah kamu masih mempunyai kedua orangtua?’ Laki-laki tersebut menjawab, ‘Masih’. Beliau bersabda, ‘Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya’. [8]
4.    Memberikan nafkah kepada orang tua
Beberapa ayat dalam Al Qur’an yang membahas tentang hal ini adalah Al Baqarah ayat 15 dan Ar-Rum ayat 38. Rasulullah SAW. pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata, “Ayahku ingin mengambil hartaku”. Nabi SAW. bersabda, “Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu.” [9]
Oleh sebab itu, hendaknya seorang anak tidak  bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang menyebabkan keberadaan dirinyaatas izin Allah, memeliharanya ketika kecil, serta telah berbuat baik kepadanya.
5.    Memenuhi sumpah/nadzar kedua orang tua
Jika kedua orang tua bersumpah untuk suatu perkara tertentu yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan maksiat, maka wajib bagi seorang anak untuk memenuhi sumpah keduanya karena hal itu termasuk hak mereka.
6.     Mendahulukan berbakti kepada ibu dari pada ayah.
حدثنا قتيبة بن سعيد: حدثنا جرير، عن عمارة بن القعقاع بن شبرمة، عن أبي زرعة، عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، من أحق الناس بحسن صحابتي؟ قال: (أمك). قال: ثم من؟ قال: (ثم أمك). قال: ثم من؟ قال: (ثم أمك). قال: ثم من؟ قال: (ثم أبوك). وقال ابن شبرمة ويحيى بن أيوب: حدثنا أبو زرعة: مثله.
Seorang lelaki pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapa yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?” beliau menjawab, “Ibumu.” Lelaki itu bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau kembali menjawab, “Ibumu”. Lelaki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu”. Lalu siapa lagi? Tanyanya. “Ayahmu,” jawab beliau.” [10]

Hadits di atas tidak bermakna lebih menaati ibu dari pada ayah. Sebab, menaati ayah lebih didahulukan jika keduanya menyuruh pada waktu yang sama dan dalam hal yang dibolehkan syari’at. Alasannya, ibu sendiri diwajibkan taat kepada suaminya.
Maksud lebih mendahulukan berbuat baik kepada ibu dalam hadits tersebut adalah bersikap lebih halus dan lembut kepada ibu daripada ayah. Sebagian Ulama salaf berkata, “Hak ayah lebih besar dan hak ibu patut untuk dipenuhi.”
7.    Mendahulukan berbakti pada orang tua dari pada berbuat baik pada istri
 Di antara hadits yang menunjukkan hal tersebut adalah kisah tiga orang yang terjebak di dalam gua lalu mereka tidak bisa keluar kemudian mereka bertawasul dengan amal baik mereka, di antara amal mereka, ada yang mendahulukan memberi susu untuk kedua orang tuanya, walaupun anak dan istrinya membutuhkan. Begitupula dengan kisah Alqomah
8.     Mendo’akan kedua orang tua.
Merupakan perihal yang sangat urgen sebab do’a juga merupakan wujud ungkapan terimakasih anak terhadap orang tua.
Ayat Al-Qur’an yang membahas tentang kewajiban mendoakan keduanya salah satunya adalah firman Allah SWT :
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". [11]

9.     Memelihara orang tua
Ayat yang membahas tentang hal ini adalah surat Al-Isra’ ayat 23 dan Al-Ahqaf ayat 15

B.  Ketika Orang Tua Telah Meninggal
Di zaman Rasulullah pernah ada suatu dialog bahwa ada seorang sahabat menyatakan penyesalannya bahwa selama orang tuanya masih hidup ia tidak sempat berbuat baik kepada keduanya. Ia menyesal karena merasa sudah tertutup baginya untuk berbuat baik kepada mereka. Mendengar keluhan itu Rasulullah menyatakan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua ada dua macam, yaitu ketika mereka masih hidup dan ketika mereka sudah meninggal dunia.
Ada beberapa kewajiban yang dilakukan anak terhadap orang tuanya ketika mereka sudah tiada diantaranya:
1.    Mengurus jenazahnya dan banyak mendoakan untuknya, karena ini merupaka bukti kebaktian anak terhadap orang tuanya sebelum dikebumikan.
2.    Memohonkan ampun untuk keduanya. Karena do’a yang yang masih bisa menjadi amal jariyah adalah do’a anak sholeh terhadap orang tuanya. Namun anak yang dimaksud anak di sini tidak hanya anak kandung saja tapi anak tiri, ataupun anak angkatpun bisa. Karena dalam doa kita juga dianjurkan untuk mendoakan semua orang muslim.
3.    Melanjutkan amalan baik yang belum sempat dilakukan mereka semasa hidup karena demikian itu akan menjadi amalan jariyah bagi orang tua meskipun telah memenuhi panggilanya.
4.    Menunaikan janji, hutang dan wasiat orang tua yang belum terlaksana.
5.    Memuliakan teman atau sahabat dekat kedua orang tua, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya bakti anak yang terbaik adalah seorang anak yang menyambung tali persahabatan dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya meninggal”.[12]
6.    Menyambung tali silaturrahim dengan kerabat ibu dan ayah. Rasulullah SAW. bersabda, “Barang siapa yang ingin menyambung silaturrahim ayahnya yang ada dikuburannya, maka sambunglah tali silaturrahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia meninggal.” [13]

3.    Hak-hak yang harus diperoleh anak
Bukan saja sang anak, orang tua pun mempunyai kewajiban terhadap anak yang harus ditunaikan. Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah sebuah wujud aktualitas hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua karena kewajiban orang tua adalah hak dari seorang anak.
1.    Hak Mendapatkan Rasa Kasih Sayang
Banyak hal yang bisa menjadi ungkapan kasih sayang, hal yang demikian tak ditinggalkan oleh syariat, hingga didapati banyak contoh dari Rasulullah SAW, bagaimana beliau mengungkapkan kasih sayang kepada anak-anak.
Satu contoh yang beliau berikan adalah mencium anak-anak. Bahkan beliau mencela orang yang tidak pernah mencium anak-anaknya. Kisah-kisah tentang ini bukan hanya satu dua. Di antaranya dituturkan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
قَبَّلَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيِّ وَعِنْدَهُ الأَقْرَعُ بْنُ حَابِسِ التَّمِيْمِي جَالِسًا، فَقَالَ الأَقْرَعُ : إِنَّ لِيْ عَشْرَةً مِنَ الوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا . فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: مَنْ لاَ يَرْحَمْ لاَ يُرْحَمْ.
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mencium Al-Hasan bin 'Ali, sementara Al-Aqra' bin Habis At-Tamimi sedang duduk di sisi beliau. Maka Al-Aqra' berkata, "Aku memiliki 10 anak, namun tidak ada satu pun dari mereka yang kucium." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memandangnya, lalu bersabda, "Siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi."[14]

Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, seorang shahabat yang senantiasa menyertai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam melayaninya pun turut mengungkapkan bagaimana rasa sayang Rasulullah SAW kepada putranya yang lahir dari rahim Mariyah Al-Qibthiyyah radhiallahu 'anha:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَرْحَمَ بِالعِيَالِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صِلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ : كَانَ إِبْرَاهِيْمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالِي الْمَدِيْنَةِ . فَكَانَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ . فَيَدْخُلُ البَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ . وَكَانَ ظِئْرُهُ قَيْنًا . فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ ثُمَّ يَرْجِعُ
"Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih besar kasih sayangnya kepada keluarganya dibandingkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Anas berkata lagi, "Waktu itu, Ibrahim sedang dalam penyusuan di suatu daerah dekat Madinah. Maka beliau berangkat untuk menjenguknya, sementara kami menyertai beliau. Kemudian beliau masuk rumah yang saat itu tengah berasap hitam, karena ayah susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Kemudian beliau merengkuh Ibrahim dan menciumnya, lalu beliau kembali."[15]

Kisah ini menunjukkan kemuliaan akhlak Rasulullah SAW, serta kasih sayangnya terhadap keluarga dan orang-orang yang lemah. Juga menjelaskan keutamaan kasih sayang terhadap keluarga dan anak-anak, serta mencium mereka. Di dalamnya juga didapati kebolehan menyusukan anak pada orang lain. Demikian dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi.[16]
Kalaulah dibuka perjalanan para pendahulu yang shalih dari kalangan shahabat radhiallahu 'anhum, hal ini pun ditemukan di kalangan mereka. Bahkan dilakukan oleh shahabat yang paling mulia, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu 'anhu. Ketika Abu Bakr radhiallahu 'anhu tiba di Madinah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hijrah, dia mendapati putrinya, 'Aisyah radhiallahu 'anha sakit panas. Al-Barra' bin 'Azib radhiallahu 'anhu yang menyertai Abu Bakr saat menemui putrinya mengatakan:
فَدَخَلْتُ مَعَ أَبِيْ بَكْرٍ عَلَى أَهْلِهِ، فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا حُمَّى، فَرَأَيْتُ أَبَاهَا يُقَبِّلُ خَدَّهَا وَقَاَل : كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّة ؟
"Kemudian aku masuk bersama Abu Bakr menemui keluarganya. Ternyata 'Aisyah putrinya sedang berbaring, terserang penyakit panas. Maka aku melihat ayah 'Aisyah mencium pipinya dan berkata, 'Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?'."[17]
Inilah kasih sayang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seorang ayah yang paling mulia di antara seluruh manusia. Tak segan-segan beliau mendekap dan mencium putra-putri dan cucu-cucunya. Begitu pun yang beliau ajarkan kepada seluruh manusia.
2.    Hak untuk memperoleh kehidupan
Problematika perekonomian seakan menjadi momok yang menakutkan bagi calon orang tua bahkan orang tua sekalipun. Banyak sekali orang tua yang mnelantarkan anak yang telah dilahirkan sendiri dari rahimnya. Bahkan tak sedikit pula yang membiarkan anaknya merasakan kehidupan dunia ini.
Allah berfirman:
“Janganlah kamu membunuh anak anakmu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizqi kepadamu dan kepada mereka.[18]
3.    Hak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI)
Wajib bagi seorang ibu menyusui anaknya yang masih kecil, sebagaimana firman Allah yang artinya: Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. [19]
Sebuah riwayat disampaikan oleh 'Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu:
قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبِيٌّ ، فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنَ السَبِيِّ تّحْلُبُ ثَدَيْهَا تَسْقَى إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَبِيِّ أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ . فَقَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةٌ وَلَدَهَا فِي النَّارِ؟ قُلْنَا : لاَ ، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاَ تَطْرَحُهُ . فَقَالَ : لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا.
"Datang para tawanan di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Ternyata di antara para tawanan ada seorang wanita yang buah dadanya penuh dengan air susu. Setiap dia dapati anak kecil di antara tawanan, diambilnya, didekap di perutnya dan disusuinya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya, "Apakah kalian menganggap wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?" Kami pun menjawab, "Tidak. Bahkan dia tak akan kuasa untuk melemparkan anaknya ke dalam api." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sungguh Allah lebih penyayang daripada wanita ini terhadap anaknya."[20]

4.    Hak untuk mendapat nama yang baik dari orang tua
Pemberian nama yang baik bagi anak adalah awal dari sebuah upaya pendidikan terhadap anak anak. Ada yang mengatakan; ‘apa arti sebuah nama’. Ungkapan ini tidak selamanya benar. Islam mengajarkan bahwa nama bagi seorang anak adalah sebuah do’a. Dengan memberi nama yang baik, diharapkan anak mampu berperilaku baik sesuai dengan namanya. Adapun setelah kita berusaha memberi nama yang baik, dan telah mendidiknya dengan baik pula, namun anak kita tetap tidak sesuai dengan yang kita inginkan, maka kita kembalikan kepada Allah SWT. Nama yang baik dengan akhlak yang baik, itulah yang diharapkan oleh setiap orang tua.
5.    Hak mendapat aqiqohan dari orang tua.
Aqiqah hukumnya sunnah muakkadh (sangat dianjurkan) bagi yang mampu melakukannya, berdasarkan sabda Nabi SAW 
"كلُّ غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى".
“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih paa hari ketujuh (sejak kelahiran anaknya), lalu dinamai dan dicukur rambutnya.[21]

6.    Hak mendapat pendidikan
Mendidik anak dengan baik merupakan salah satu sifat seorang ibu muslimah. Bahkan ibu merupakan madrasah awal bagi putra putrinya. Dia senantiasa mendidik anak-anaknya dengan akhlak yang baik, yaitu akhlak Muhammad dan para sahabatnya yang mulia. Mendidik anak bukanlah sekedar kemurahan hati seorang ibu kepada anak-anaknya, akan tetapi merupakan kewajiban dan fitrah yang diberikan Allah kepada seorang ibu.
Mendidik anak pun tidak terbatas dalam satu perkara saja tanpa perkara lainnya, seperti  mencucikan pakaiannya atau membersihkan badannya saja. Bahkan mendidik anak itu mencakup perkara yang luas, mengingat anak merupakan generasi penerus yang akan menggantikan kita yang diharapkan menjadi generasi tangguh yang akan memenuhi bumi ini dengan kekuatan, hikmah, ilmu, kemuliaan dan kejayaan. Bak dan tidaknya seorang anak juga ada pengaruhnya terhadap peran orang tua. Karena pada dasarnya anak itu terlahir dalam keadaan fitrah, jadi yang menjadikan anak tersebut islam ataupun kafir adalah orang tuanya.


BAB III
KESIMPULAN


1.        Birrul walidain secara umum diartikan dengan berbuat baik terhadap kedua orang tua. Hukum dari pada hal ini adalah wajib. Makna Birrul Walidain yaitu menjaga, memelihara dan mematuhi perintah kedua orang tua, dalam artian peintah tersebut tidak bersifat maksiat. Sebaliknya anak yang tidah hormat dan patuh paha orang tua dinamakan anak durhaka atau sering disebut uququl walidain.Dasar-dasar yang menyatakan kewajiban ini diantaranya surat Al-Ahqof ayat 15 dan An-Nisa’ ayat 36.
2.        Pada dasarnya kewajiban orang tua merupakan hak anak begitu pula sebaliknya kewajiban anak merupakan hak orang tua. Kewajiban anak terhadap orang tua ada dua yaitu ketika orang tua masih hidup dan sudah meninggal.
Diantara kewajiban anak terhadap orang tua adalah
Ø Menaati mereka selama tidak mendurhakai Allah.
Ø Memelihara orang tua
Ø Mendoakan orang tua
Ø Memberikan nafkah jika ortu membutuhkan
Ø Meminya izin ketika ingin berperang (jihad)
3.        Betapa banyak kisah yang terhimpun dalam Kitabullah dan kalam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbicara tentang keutamaan berbakti kepada kedua orang tua dan ancaman bagi seorang yang durhaka terhadap keduanya.
4.        Memberikan nama yang baik adalah salah satu tugas orang tua bagi anaknya yang baru lahir. Ada aturan-aturan yang harus diikuti orang tua agar nama anak bisa memberikan kebaikan dan berkah bagi pemiliknya.
5.        Anak berbeda dengan orang dewasa. Daya pikir dan imajinasinya yang masih sederhana terkadang menimbulkan kesulitan bagi orang tua untuk mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang sifatnya abstrak. Di antaranya, bagaimana mengajari anak untuk senang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejelekan. Namun sesulit apapun, di sana akan selalu ada jalan.
6.        Anak adalah tumpuan harapan. Segala impian terbaik tertumpah pada dirinya. Bahkan hampir setiap orang tua menginginkan agar buah hati mereka mendapatkan apa pun yang lebih baik daripada dirinya, tak peduli harus membanting tulang dan memeras keringat sepanjang siang dan malam.
Namun terkadang impian itu pupus begitu saja. Bagai tanaman siap petik yang habis musnah dimakan hama. Anak yang mereka idamkan membalasi jerih payah orang tuanya dengan kedurhakaan. Tak jarang si anak berani beradu pandang dan bersuara lantang di hadapan ayah dan ibunya. Permintaan bertubi-tubi dilontarkan, menuntut pemenuhan dengan segera. Bahkan lebih dari itu, tangan atau kakinya begitu ringan menimpa tubuh keduanya. Sungguh, hanya kepada Allah semata kita mengadukan semua ini.
Tentu, tak seorang pun ayah atau ibu menginginkan putra-putri mereka “salah asuhan”, dan tentu, semua itu butuh arahan. Andaikata mereka merujuk kembali lembaran-lembaran Kitabullah, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta catatan perjalanan kehidupan para pendahulu yang shalih, niscaya mereka akan mendapatinya.




DAFTAR PUSTAKA

1.        Al-Qur’an al-Karim
2.        Al-Jami′ al-Shahih (Shahih al-Bukhariy) - Abu ′Abd Allah Muhammad ibn Isma′il al- Bukhariy
3.        Al-Jami′ al-Shahih (Shahih Muslim) - Abu Husayn Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyayriy
4.        Ibn Majah - Abu ′Abd Allah Muhammad ibn Yazid Ibn MajahSunan
5.        Musnad Ahmad ibn Hanbal - Abu ′Abd Allah Ahmad Ibn Hanbal
6.        Nayl al-Awthar min Ahadis Sayyid al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar - Muhammad ibn ′Aliy ibn Muhammad al-.Syaukani
7.        Sunan Abiy Dawud  - Abu Dawud Sulayman ibn al-Asy′as al- Sijistaniy
8.        Sunan al-Nasa′iy - Abu ′Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’ayb al- Nasaiy
9.        Silsilah al-Ahādīs al-Shahīhah wa Syai'un min Fiqhiha wa Fawā'idiha - Muhammad Nashir al-Din al- Albaniy
10.    Majalah Fatawa
11.    Majalah al-Muslimun
12.    Majalah Mawaddah
13.    Majalah Qiblati
14.    Majalah As-Sunnah
15.    Majalah Suara Muhammadiyah



[1]  QS. Al-Ahqāf: 15
[2]  QS. An-Nisā’ ayat 36
[3]  Bukhari hadits  no 2630 dan Muslim no. 84
[4]  HR Muslim. Hadits no. 2551
[5] (HR. Al-Bukhari no. 5976 dan Muslim no. 87)
[6]  QS.Luqman : 15
[7]  HR. Al-Bukhari
[8]  HR. al-Bukhari no. 5627 dan Muslim
[9]  HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah.
[10]  HR. Bukhari no. 5626.
[11]  Al-Isra’ ayat 24
[12]  HR. Muslim
[13]  HR. Ibnu Hibban
[14]  HR. Al-Bukhari no. 5997 dan Muslim no. 2318
[15] Shahih, HR. Muslim no. 2316
[16] Syarh Shahih Muslim, 15/76
[17]  HR. Al-Bukhari no. 3918
[18]  QS. Al-An’am: 151
[19] QS AI Baqarah: 233

[20]  HR. Al-Bukhari no. 5999
[21]  HR. Abu Daud No. 2838

No comments:

Post a Comment

setelah selesai membaca tolong dikomentari yah..... makasih