Wednesday, December 30, 2015

KEBANGKITAN ISLAM DAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM

Assalamualaiku.

Hai para calon ilmuwan, cendekiawan bangsa, saya punya makalah S2 saya yang cukup singkat nih, tentang Kebangkitan Islam. Kiranya bisalah dipakai rujukan untuk bahan makalah, atau skripsi. O ya, tapi dnegan syarat harus nyantumkan referensinya ya,,, jangan asal copas aja, atau lebih baiknya ya diedit dulu sebelum dicopas :D. OK


KEBANGKITAN ISLAM DAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DENGAN LAHIRNYA

Muhammad Abduh, Rasyid Ridho dan Jamaluddin Al-Afghani

SERTA PENGARUHNYA TERHADAP MUHAMMADIYAH

Oleh: Fika Andriyani, M.Sy




A. Pendahuluan

Setelah mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad, para pemikir Islam berusaha keras untuk membangkitkan Islam kembali, termasuk di dalamnya hal pemikiran hukumnya. Kebangkitan kembali ini timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang membawa kemunduran dunia Islam secara keseluruhan. Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan baru.

Fenomena-fenomena yang muncul pada akhir abad ke-13 H merupakan suatu wujud kesadaran dari kebangkitan hukum Islam. Bagi mayoritas pengamat, sejarah kebangkitan dunia Islam pada umumnya dan hukum Islam khususnya, terjadi karena dampak Barat. Mereka memandang Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif dari barat. Muncul banyak penyelewengan-penyelewengan ajaran Islam, baik di kalangan masyarakat biasa, maupun dalam tingkatan politik dan pendidikan. Maka diperlukan adanya proses modernisasi maupun pembaharuan baik di bidang politik, pendidikan dan akidah.

Selain itu, salah satu sebab perlunya perkembangan modern dalam Islam adalah karena dalam agama terdapat ajaran-ajaran absolute mutlak benar, kekal tidak berubah dan tidak bisa diubah. Ajaran-ajaran itu diyakini sebagai dogma dan sebagai akibatnya timbulllah sikap dogmatis agama. Sikap dogmatis membuat orang tertutup dan tak bisa menerima pendapat yang bertentangan dengan dogma-dogma yang dianutnya. Dogmatisme membuat orang bersikap tradisional, emosional dan tidak rasional.

Pada dasarnya kelemahan dunia Islam itu terletak pada bidang akidah yang sudah tercemari oleh berbagai khurafat dan bid'ah, juga kelemahan dan ketertinggalan dalam bidang sains dan tekhnologi. Kemudian kehadiran para tokoh modernis (pembaharu) itu pada umumnya untuk membangkitkan kesadaran umat Islam.

Fase kebangkitan kembali ini merupakan fase meluasnya pengaruh barat dalam dunia Islam akibat kekalahan-kekalahan dalam lapangan politik yang kemudian diikuti dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan dan intelektual melalui berbagai saluran yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan intensitasnya. Periode kebangkitan ini berlangsung mulai sejak abad ke 19, yang merupakan kebangkitan kembali umat islam, terhadap periode sebelumnya, periode ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yng kembali kepada kemurnian ajaran islam.


B. Faktor Kebangkitan Umat Islam

Pada abad ke-19 dan 20, era modern diwarnai dengan kemerdekaan negara-negara Islam. Dalam tahun-tahun terakhir ini banyak Negara muslim yang telah merdeka khususnya di Asia dan Afrika, bersamaan dengan itu muncul pula organisasi-organisasi dan partai-partai nasional yang mendasarkan bentuk-bentuk pemerintahan pada prinsip-prinsip syari'at Islam.[1]

Kemerdekaan Negara Islam tentunya melalui proses yang cukup panjang dalam memperoleh kemerdekaannya kembali, oleh karena itu adanya faktor-faktor yang mendorong masyarakat di Negara muslim sangat memungkinkan, di antaranya adalah:

1. Benturan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa mereka memang jauh tertinggal dari Eropa.Turki Usmani adalah yang pertama merasakan itu sehingga memaksa penguasa dan pejuang Turki untuk belajar di Eropa.[2]

2. Dorongan gagasan dua factor yang saling mendukung dalam gerakan pembaharuan Is;am, pertama, pemurnian ajaran Islam dari unsure-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam. Kedua, gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat, seperti gerakan Wahabiyah dan Sanusiyah di Saudi Arabia dan Afrika Utara.

3. Bangkitnya gagasan Nasionalisme di dunia Islam yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan Negara nerdeka yang lepas dari pengaruh Barat.

Adapun usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya didorong oleh dua faktor. Pertama, permurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam, seperti gerakan Wahabiyah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abd al-Wahhab di Saudi Arabia, Syah Waliyullah di India dan gerakan Sanusiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi dari Aljazair.

Kedua, menimba gagasan-gagasan pembaruan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Hal ini tercermin dalam pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa mereka. Pelajar-pelajar India juga banyak yang menuntut ilmu ke Inggris.

Gerakan pembaharuan itu, dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam memang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme (Persatuan umat Islam Sedunia) yang pada awalnya didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiyah. Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaludin al-Afghani.

Di India, sebagaimana di Turki dan Mesir, gagasan Pan-Islamisme yang dikenal dengan gerakan óilafaú juga mendapat pengikut. Syed Amir Ali adalah salah seorang pelopornya. Namun, gerakan ini pudar setelah usaha menghidupkan kembali khilafah yang dihapuskan Mustafa Kemal tidak memungkinkan lagi. Yang populer adalah gerakan nasionalisme, yang diwakili oleh Partai Kongres Nasional India. Akan tetapi, gagasan nasionalisme itu segera pula ditinggalkan sebagian besar tokoh-tokoh Islam, karena kaum muslim yang minoritas tertekan oleh kelompok Hindu yang mayoritas. Persatuan antar kedua komunitas besar Hindu dan Islam sulit diwujudkan. Oleh karena itu, umat Islam di anak benua India tidak lagi semangat menganut nasionalisme, tetapi Islamisme, yang dalam masyarakat India dikenal dengan nama komunalisme. Gagasan Komunalisme Islam disuarakan oleh Liga Muslimin yang merupakan saingan bagi Partai Kongres Nasional. Benih-benih gagasan Islamisme tersebut sebenarnya sudah ada sebelum Liga Muslimin berdiri, yang disuarakan oleh Sayyid Ahmad Khan, kemudian mengkristal pada masa Sir Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.[3]


C. Jamaluddin Al-Afghani

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Shafdar Al-Husaini. Julukannya adalah Jamaluddin, sedangkan nama Afghani adalah karena beliau berasal dari Afganistan. Beliau dilahirkan pada tahun 1838 M di As’ad Abad Afganistan. Semasa kecil beliau tinggal di Kabul, beliau mempelajari ilmu-ilmu aqli dan naqli, bahkan beliau juga mahir dalam bidang ilmu matemattika. Selama belajar beliau menggunakan dua bahasa yakni Arab dan Persi sebagai sebuah tradisi ulama saat itu.[4]

Jamaluddin adalahs eorang pengikut tarekat sufí, sehingga beliau snagat terkenal zuhud dan bahkan tidak mau menikah. Beliau merupakan perdana menteri pada masa Raja Muhammad A’zam Khan dan pada tahun 1885 beliau menjabat sebagai pengawas urusan perang di Iran. Beliau juga merupakan anggota Dewan Keilmuan di Istanah (Turki) yang mana beliau menguasai delapan bahasa yakni bahasa Afganistan, Arab, Persi, Perancis, Turki, Inggris, Rusia dan Sansekerta.

Dakwahnya ditujuakan untuk mempersatukan umat Islam dan beliau menginginkan umat Islam di seluruh penjuru dunia berada pada satu kekhalifahan yang besar. Dalam dakwahnya beliau mengajak manusia agar melakukan pembaharuan selalu terbuka, kembali kepada Islam yang benar dna memberikan hak politiknya kepada rakyat. Di samping itu, di Mesir beliau juga mengajar dan berceramah kepada masyarakat dengan tujuan untuk memperluas cakarawala mereka dan menyatukan pandangna kaum muslimin.[5]

Beliaualah orang pertama yang menyadari sepenuhnya akan dominasi Barat dan bahayanya. Oleh karena itu, dia mengabdikan dirinya untuk memperingatkan dunia Islam akan hal tersebut dan melakukan usaha-usaha untuk pertahanan. Umat Islam menurutnya, harus meninggalkan perselisihan-perselisihan dan berjuang di bawah panji bersama. Ia juga berusaha membangkitkan semangat lokal dan nasional negeri-negeri Islam. Karena itu, al-Afghani dikenal sebagai Bapak Nasionalisme dalam Islam.[6]

Semangat Pan-Islamisme yang bergelora itu mendorong Sultan Hamid II, untuk mengundang al-Afghani ke Istanbul. Gagasan ini dengan cepat mendapat sambutan hangat dari negeri-negeri Islam. Akan tetapi, semangat demokrasi al-Afghani tersebut menjadi duri bagi kekuasaan sultan, sehingga al-Afghani tidak diizinkan berbuat banyak di Istanbul. Setelah itu, gagasan Pan-Islamisme dengan cepat redup, terutama setelah Turki Usmani bersama sekutunya Jerman, kalah dalam Perang Dunia I dan kekhalifahan dihapuskan oleh Mustafa Kemal, tokoh yang justru mendukung nasionalisme, rasa kesetiaan kepada negara kebangsaan. Gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat tersebut masuk ke negeri-negeri Islam melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh banyaknya pelajar Islam yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga pendidikan barat yang didirikan di negeri mereka. Gagasan kebangsaan ini pada mulanya banyak mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Islam, karena dipandang tidak sejalan dengan semangat uóuwaú al-Islamiyaú. Akan tetapi, gagasan ini berkembang dengan cepat setalah gagasan Pan-Islamisme redup.

Di Mesir, benih-benih nasionalisme tumbuh sejak masa al-Tahtawi dan Jamludin al-Afghani. Tokoh pergerakan terkenal yang memperjuangkan gagasan ini adalah Ahmad Urabi Pasha. Gagasan tersebut menyebar dan mendapat sambutan hangat, sehingga nasionalisme tersebut terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Hal itu terjadi di Mesir, Syiria, libanon, Palestina, Irak, Bahrain, dan Kuwait. Semangat persatuan Arab tersebut diperkuat pula oleh usaha barat untuk mendirikan negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab.

Di India, sebagaimana di Turki dan Mesir, gagasan Pan-Islamisme yang dikenal dengan gerakan óilafaú juga mendapat pengikut. Syed Amir Ali adalah salah seorang pelopornya. Namun, gerakan ini pudar setelah usaha menghidupkan kembali khilafah yang dihapuskan Mustafa Kemal tidak memungkinkan lagi. Yang populer adalah gerakan nasionalisme, yang diwakili oleh Partai Kongres Nasional India. Akan tetapi, gagasan nasionalisme itu segera pula ditinggalkan sebagian besar tokoh-tokoh Islam, karena kaum muslim yang minoritas tertekan oleh kelompok Hindu yang mayoritas. Persatuan antar kedua komunitas besar Hindu dan Islam sulit diwujudkan. Oleh karena itu, umat Islam di anak benua India tidak lagi semangat menganut nasionalisme, tetapi Islamisme, yang dalam masyarakat India dikenal dengan nama komunalisme. Gagasan Komunalisme Islam disuarakan oleh Liga Muslimin yang merupakan saingan bagi Partai Kongres Nasional. Benih-benih gagasan Islamisme tersebut sebenarnya sudah ada sebelum Liga Muslimin berdiri, yang disuarakan oleh Sayyid Ahmad Khan, kemudian mengkristal pada masa Sir Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.

Selama hidupnya beliau menulis buku diantaranya adalah yang berjudul Ar-Raddu ‘Ala Ad-Dahriyyin. Buku tersebut merupakan buku terjemahan ke dalam bahasa Arab dan yang menerjemahkan adalah Muhammad Abduh. Di akhir hayatnya beliau menderita sebuah penyakit kanker pada tulang rahangnya. Dan pada tahun 1897 M, beliau meninggal dunia di Istanah, dan pada tahun 1945 jenazahnya dipindah ke negeri asalnya yakni Afganistan.[7]

Pada ide pembaharuannya, Jamaluddin melihat empat penyakit yang menggerogoti Islam; dan menawarkan delapan cara terapinya. Keempat penyakit itu adalah: (1) absolutism dalam mesin pemerintahan, (2) sifat kepala batu dan kebodohan massa rakyat Muslim serta keterbelakangan mereka dalam ilmu dan peradaban, (3) tersiarnya ide-ide korup dalam bidang agama dan nonagama, dan (4) pengaruh kolonialisme Barat. Sesuai dengan empat penyakit itu, Jamaluddin memberikan delapan hal sebagai obat, sebagaimana ditulis oleh Muthahhari dalam Islamic Movement of the Twentieth Century:

1. Bangkitkan kesadaran berpolitik melawan absolutisme. Harus dijelaskan kepada massa bahwa perjuangan berpolitik adalah kewajiban agama; bahwa tidak ada pemisahan antara agama dan politik; bahwa setiap orang harus terlibat dalam nasib politik Negara dan masyarakat Islam.

2. Lengkapi diri dengan sains dan teknologi modern. Dominasi Barat terjadi karena keunggulan dalam sains dan teknologi. Kaum Muslim tidak harus menolak segala hal yang dating dari Barat. Mereka harus belajar dari Barat, tetapi bukan mengadopsi peradaban mereka; sains dan teknologilah yang harus mereka kuasai.

3. Kembalilah kepada Islam yang sebenarnya. Praktek-praktek korup dan tambahan-tambahan yang tidak bermanfaat dalam pengalaman Islam harus dibuang; umat harus dikembalikan kepada Al-Quran, As-Sunnah, dan kehidupan suci pada zaman permulaan Islam.

4. Hidupkan akidah Islam sebagai akidah yang komprehensif dan independen. Islam adalah agama sains dan kerja keras, agama yang menuntut tanggung jawab, agama memuliakan akal; dan membenci takhayul. Dia menganjurkan murid-muridnya untuk menghidupkan kembali filsafat dalam khazanah pemikiran Islam.

5. Lawan kolonialisme asing. Penjajah asing di dunia Islam bukan saja mengandung implikasi eksploitasi politik, tetapi jiga dominasi ekonomi dan budaya. Kaum Muslim harus disadarkan bahwa sekularisme adalah taktik Barat untuk melepaskan pengaruh Islam dalam masyarakat. Harus ditegaskan bahwa kultur Barat tidak akan membawa kemakmuran manusia. Kultur Barat adalah kultur penindasan.

6. Tegaskan persatuan Islam. Untuk melawan invasi Barat, kaum Muslim harus bersatu. Bersatu tidaklah berarti menyatukan mazhab. Bersatu berarti menyatukan front politik dan organisasi. Ia mengecam pembagian Islam dalam negara-negara kecil dan mengkhutbahkan Pan-Islamisme.

7. Infuskan ruh jihad ke jasad masyarakat Islam yang setengah mati. Menghadapi kehancuran akibat Barat, kaum Muslim harus menegakkan Islam sebagai agama perlawanan dan perjuangan.

8. Hilangkan rasa rendah diri dan rasa takut terhadap Barat. Lewat sebuah cerita kiasan dalam Al-‘Urwah Al-Wutsqa, ia mengingatkan kaum Muslim bahwa ketakutan terhadap barat adalah ilusi yang dibentuk sendiri. Kaum Muslim tidak boleh takut terhadap ingar-bingar suara barat. Diperlukan orang yang menantang maut untuk menjatuhkan kepongahan Barat.

Dari delapan “resep” Jamaluddin, kita melihat sikap tegarnya untuk menghadirkan Islam sebagai agama jihad yang mampu melawan Barat, Islam yang bersih, yang ‘aqliyyah, yang mendukung sains dan teknologi, yang menolak absolutism dan penghambaan. Gerakan yang dirintis oleh Jamaluddin Al-Afghani memang gerakan intelektual, sosial dan political.[8]


D. Muhammad Abduh

Beliau merupakan tokoh pembaharu sekaligus da’I yang berasal dari Mesir. Beliau dilahirkan pada tahun 1849 M dan wafat pada 1905 M. Dalam usia 12 tahun ‘Abduh telah hafal al-Qur’an. Kemudian, pada usia 13 tahun ia dibawa ke Tanta untuk belajar di Mesjid Ahamdi. Mesjid ini sering disebut “Mesjid Syeikh Ahmad”, yang kedudukannya dianggap sebagai level kedua setelah Al-Azhar dari segi menghafal dan belajar al-Qur’an.

Muhammad Abduh menyenyam pendiidkan tradisional yang diselesaikannya di Universitas Al-Azhar, tetapi beliau sangat kritis terhadap aspek-aspek tertentu di lembaga pendiidkan tersebut. Dalam usia 20-an tahun beliau berada di bawah pengaruh Jamaluddin Al-Afghani yang menjelajah berbagai belahan dunia Islam untuk mendesak kaum muslimin bersatu menolak pengaruh Eropa dan Barat. Dan hingga pada tahun 1888 Abduh diasingkan dan sementara waktu berdiam di Paris bersama Al-Afghani. Namun pada akhirnya beliau kurang tertarik pada program politik al-Afghani dan lebih tertarik pada pembaharuan pendidikan dan hukum. Pada tahun 1905 beliau menjabat sebagai Mufti Agung di Mesir dan memiliki pengaruh politik yang kuat.[9]

Sehingga tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa gerakan awal-awal kebangkitan Islam mengalami signifikansinya pada figur Muhammad Abduh. Abduh adalah seorang modernis sejati. Kendati dididik secara tradisional dan berguru pada beberapa ulama al-Azhar yang sebagian besar bersikap konservatif, Abduh membuktikan dirinya sebagai seorang intelektual yang terbuka dan progresif. Agaknya, pengaruh Jamaluddin al-Afghani, teman dan gurunya, sangat besar dalam membentuk sisi modernitas Abduh. Lewat al-Afghani lah Abduh mengenal dunia Barat secara langsung (kedua tokoh ini tinggal di Eropa selama kurang-lebih lima tahun), perkenalan yang sangat mempengaruhi sikapnya sebagai intelektual dan tokoh agama.

Abduh sangat pandai bagaimana dia harus bersikap sebagai seorang ‘alim dan sekaligus sebagai seorang intelektual modernis. Selama menjadi Mufti, Abduh mengeluarkan banyak fatwa yang berkaitan dengan persoalan-persoalan modern. Pada satu sisi, Abduh selalu dilihat sebagai seorang tokoh ‘alim, mujtahid, dan penganjur doktrin orisinalitas Islam (al-ashâlah al-islâmiyyah). Pada sisi lain, Abduh juga dianggap sebagai seorang reformis yang toleran, liberal, dan kaya akan gagasan-gagasan modern. Tidak heran kalau murid-murid Abduh kemudian terpecah menjadi dua kelompok besar yang oleh Hassan Hanafi, pemikir Mesir kontemporer, dianalogikan seperti murid-muridnya Hegel dalam tradisi filsafat Barat.

Adapun ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh adalah sebagai berikut:

1. Jumud: Faktor Utama Kemunduran Umat Islam

Abduh berpandangan bahwa penyakit yang melanda negara-negara Islam adalah adanya kerancuan pemikiran agama di kalangan umat Islam sebagai konsekuensi datangnya peradaban Barat dan adanya tuntutan dunia Islam modern. Selama beberapa abad di masa silam, kaum Muslimin telah menghadapi kemunduran dan sebagai hasilnya mereka tidak mendapatkan dirinya sebagai siap sedia untuk menghadapi situasi yang kritis ini.[10]

Ia berpendapat bahwa sebab yang membawa kemunduran umat Islam adalah bukan karena ajaran Islam itu sendiri, melainkan adanya sikap jumud di tubuh umat Islam. Jumud yaitu keadaan membeku/statis, sehingga umat tidak mau menerima peubahan, yang dengannya membawa bibit kepada kemunduran umat saat ini (al-Jumud ‘illatun tazawwul). Seperti dikemukakan ‘Abduh dalam al-Islam baina al-’Ilm wa al-Madaniyyah, ia menerangkan bahwa sikap jumud dibawa ke tubuh Islam oleh orang-orang yang bukan Arab, yang merampas puncak kekuasaan politik di dunia Islam. Mereka juga membawa faham animisme, tidak mementingkan pemakaian akal, jahil dan tidak kenal ilmu pengetahuan. Rakyat harus dibutakan dalam hal ilmu pengetahuan agar tetap bodoh dan tunduk pada pemerintah.

Keadaan ini seperti ini, menurutnya, adalah bid’ah. Masuknya bid’ah ke dalam tubuh Islam-lah yang membawa umat lepas dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Untuk menyelesaikan masalah ini, ‘Abduh, sebagaimana Abdul Wahhab, berusaha mengembalikan umat seperti pada masa salaf, yaitu di zaman sahabat dan ulama-ulama besar. Namun, yang membedakan faham ‘Abduh dengan Abdul Wahhab adalah umat tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran asli itu saja, tetapi ajaran-ajaran itu juga mesti disesuaikan dengan keadaan modern sekarang ini.[11]

2. Ijtihad Selalu Terbuka

Faham Ibn Taimiyyah yang menyatakan bahwa ajaran-ajran Islam terbagi ke dalam dua kategori: Ibadah dan Mu’amalah, diambil dan ditonjolkan oleh ‘Abduh. Ia melihat bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam Qur’an dan hadits bersifat tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya, ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan umat hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip umum tidak terperinci, serta sedikit jumlahnya. Oleh karena sifatnya yang umum tanpa perincian, maka ajaran tersebut dapat disesuaikan dengan zaman.[12]

Penyesuaian dasar-dasar itu dengan situasi modern dilakukan dengan mengadakan interpretasi baru. Untuk itu, Ijtihad perlu dibuka. Selanjutnya, menurut ‘Abduh, untuk orang yang telah memenuhi syarat ijtihad di bidang muamalah dan hukum kemasyarakatan bisa didasarkan langsung pada Quran dan hadis dan disesuaikan dengan zaman. Sedangkan ibadah tidak menghendaki perubahan menurut zaman.

Taklid buta pada ulama terdahulu tidak perlu dipertahankan, bahkan Abduh memeranginya. Karena taklid di bidang muamalah menghentikan pikir dan akal berkarat. Taklid menghambat perkembangan bahasa Arab, perkembangan susunan masyarakat Islam, sistem pendidikan Islam,dan sebagainya.

Pendapat tentang dibukanya pintu ijtihad bukan semata-mata pada hati tetapi pada akal. Qur'an memberikan kedudukan yang tinggi bagi akal. Islam, menurutnya adalah agama rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dasar Islam. Iman seseorang takkan sempurna tanpa akal. Agama dan akal yang pertama kali mengikat tali persaudaraan. Wahyu tidak dapat membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal. Kalau zahir ayat atau hadis bertentangan dengan akal, maka harus dicari interpretasi yang membuat ayat dapat dipahami secara rasional. Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban bangsa.

3. Pembaruan ‘Abduh dalam Bidang Ilmu Pengetahuan Islam (Pendidikan)

Seperti dikutip Fazlur Rahman, ‘Abduh menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern banyak berdasar pada hukum alam (sunnatullah, yang tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya). Sunnatullah adalah ciptaan Allah SWT. Wahyu juga berasal dari Allah. Jadi, karena keduanya datang dari Allah, tidak dapat bertentangan satu dengan yang lainnya. Islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan modern dan, yang modern mesti sesuai dengan Islam, sebagaimana zaman keemasan Islam yang melindungi ilmu pengetahuan. Dengan penuh semangat, ‘Abduh menyuarakan penggalian sains dan penanaman semangat ilmiah Barat.[13]

Kemajuan Eropa ia tegaskan karena belahan dunia ini telah mengambil yang terbaik dari ajaran Islam. Ia membantah bahwa Islam tidak mampu beradaptasi dengan dunia modern. Ia ingin membuktikan bahwa Islam adalah agama rasional yang dapat menjadi basis kehidupan modern.

Sebagai konsekuensi dari pendapatnya, ‘Abduh berupaya untuk memperbarui pendidikan dan pelajaran modern, yang dimaksudkan agar para ulama kelak tahu kebudayaan modern dan mampu menyelesaikan persoalan modern. Pendidikan adalah hal terpenting dalam kehidupan manusia dan dapat merubah segala sesuatu.


4. Pembaruan Abduh dalam Bidang Keluarga dan Wanita

Menurut Abduh, blok bangunan terpenting dari masyarakat baru adalah individu. Umat terdiri dari unit-unit keluarga. Kalau unit-unit ini tidak memberikan lingkungan yang sehat dan fungsional bagi perkembangan individu di dalamnya, maka masyarakat akan ambruk. Abduh berkata:

“Sesungguhnya umat terdiri rumah-rumah (unit-unit keluarga). Jika unit-unit keluarga baik, maka umat pun akan baik. Barangsiapa yang tidak memiliki keluarga maka ia pun tidak memiliki umat. Laki-laki dan perempuan adalah dua jenis makhluk yang memiliki hak, kebebasan beraktivitas, perasaan, dan akal yang sama. Dan ketahuilah bahwa laki-laki yang berupaya menindas wanita supaya dapat menjadi tuan dirumahnya sendiri, berarti menciptakan generasi budak...”

Menurut Abduh, jika wanita memang punya kualitas pemimpin dan kualitas membuat keputusan, maka keunggulan pria tak berlaku lagi. Di tempat lain, dia menulis, bahwa menurut al-Qur’an ada dua jenis wanita, wanita saleh dan wanita durhaka. kepemimpinan pria berlaku hanya terhadap istri yang mengacau atau durhaka.

Abduh juga berpendapat bahwa, penyebab perpecahan atau firnah dalam masyarakat adalah karena pria mengumbar hawa nafsunya. Tak seperti penulis kontemporer lainnya, dia tak mengatakan bahwa penyebabnya adalah karena wanita, atau karena kapasitas wanita untuk membangkitkan gairah seks pria.[14]


E. Rasyid Ridho

Nama lengkap Muhammad Rasyid Rida adalah al-Sayyid Muhammad Rasyid Rida ibn Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baharuddin ibn al-Sayyid Munla Ali Khalifah al-Baghdadi. Beliau dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 Km dari Tripoli, Libanon, pada bulan Jumadil ‘Ula 1282 H (1864 M). Dia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saw. Pada tahun 1898 M. Muhammad Rasyid Rida hijrah ke Mesir untuk menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dua tahun kemudian ia menerbitkan majalah yang diberi nama “al-Manar” untuk menyebar luaskan ide-idenya dalam usaha pembaharuan.[15]

Muhammad Rasyid Ridha mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuannya sejak ia masih berada di Suria. Tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari dari pihak kerajaan Utsmani. Kemudian ia pindah ke Mesir dan tiba di sana pada bulan januari 1898 M. [16]

Adapun ide-ide pembaharuannya adalah sebagai berikut:

1. Bid’ah dan Faham Fatalisme: Penyebab Kemunduran Umat Islam

Ia berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pemahaman umat Islam tentang ajaran-ajaran agama mengalami kesalahan dan perbuatan-perbuatan mereka dianggap telah menyeleweng dari ajaran Islam yang hakiki. Ke dalam tubuh Islam telah banyak masuk bid’ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat.

Menurut Rasyid Ridha, di antara bid’ah-bid’ah itu ialah pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya. Bid’ah lain yang ditentang keras oleh Rasyid Ridha ialah ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak pentignya hidup duniawi, tentang tawakkal, dan tentang pujaan dan kepatuhan berlebih-lebihan pada syekh dan wali.

2. Pembaruan Rasyid Ridha dalam Masalah Ijtihad

Sebagaimana Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridla sangat menghargai akal manusia, walaupun penghargaannya terhadap akal tidak setinggi penghargaan yang diberikan gurunya. Akal dapat dipakai dalam menafsirkan ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan, tetapi tidak terhadap ibadah. Ijtihad dalam soal ibadah tidak lagi diperlukan. Ijtihad (fungsi eksplorasi akal) dapat dipergunakan terhadap ayat dan hadis yang tidak mengandung arti tegas dan terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan secara langsung dalam al-Qur’an dan hadits. Di sinilah, menurut Rasyid Ridla, terletak dinamika Islam.

3. Pan-Islamisme

Sebagaimana al-Afghani, Rasyid Ridla juga melihat perlunya dihidupkan kesatuan umat Islam. Menurutnya, salah satu sebab lain bagi kemunduran umat ialah perpecahan yang terjadi di kalangan mereka. Kesatuan yang dimaksud oleh beliau bukanlah kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa atau kesatuan bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan yang sama. Oleh karena itu ia tidak setuju dengan gerakan nasionalisme yang dipelopori Mustafa Kamil di Mesir dan gerakan nasionalisme Turki yang dipelopori Turki Muda. Ia menganggap bahwa faham nasionalisme bertentangan dengan ajaran persaudaraan seluruh umat Islam. Persaudaraan dalam islam tidak kenal pada perbedaan bangsa dan bahasa, bahkan tidak kenal perbedaan tanah air.


F. Kesamaan dan Perbedaan Afghani, Abduh dan Rasyid Ridha

1. Kesamaan ketiga tokoh tersebut dapat diidentifikasi dalam dua hal pokok, yaitu:

a. Ketiganya sama-sama menekankan perlunya Islam ditafsirkan secara rasional dan sesuai dengan kebutuhan umat Islam pada zaman tersebut. Mereka memerangi kestatisan umat Islam akibat adanya faham fatalisme dan adanya sikap jumud di dalam tubuh umat Islam. Ketiganya mengemukakan bahwa pintu ijtihad harus dibuka kembali. Taqlid buta adalah penghambat kemajuan, dan ijtihad adalah pintu menuju kegemilangan umat Islam seperti yang telah pernah dicapai oleh umat Islam pada zaman klasik.

b. Sama-sama menekankan perlunya pembaharuan pemikiran di dunia Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri untuk mengejar ketertinggalan dari dunia Barat, dengan cara mengambil yang baik-baik dari pemikiran Eropa tersebut, misalnya metode berpikir rasional yang membawa umat ke dalam kehidupan yang dinamis dan dalam mengembangkan institusi-institusi modern. Untuk kemajuan, umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang positif. Barat maju karena mereka mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam zaman klasik. Dengan demikian mengambil ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.

2. Adapun perbedaan di antara ketiganya, bisa diidentifikasikan ke dalam beberapa poin berikut ini:

a. Antara Al-Afghani dan ‘Abduh terdapat perbedaan dalam pendekatan yang digunakan. Dalam melakukan pembaruan, gerakan ‘Abduh lebih bersifat evolusi--mengadakan gerakan secara bertahap (gradual). Sementara gurunya, Al-Afghani, cenderung revolusioner. Dalam melakukan islah (pembaruan) al-Afghani menekankan perlunya perlawanan terhadap otoritarianisme dan kolonialisme lewat provokasi. Sementara ‘Abduh menekankan perlunya pendidikan dan latihan bagi masyarakat yang menurutnya lebih penting daripada sosialisasi gerakan politik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa: “Al-Afghani adalah aktivis yang intellektual, sedangkan ‘Abduh adalah intellektual yang aktivis.”

b. Adapun perbedaan antara ‘Abduh dan Rasyid Ridla, sebagaimana dikemukakan oleh Harun Nasution (1992), adalah bahwa Muhammad ‘Abduh lebih liberal dari muridnya. ‘Abduh tidak mau terikat pada salah satu aliran atau mazhab yang ada dalam Islam, karena ingin bebas dalam pemikiran. Sebaliknya, Rasyid Ridla masih memegang kuat mazhab dan masih terikat secara kuat pula pada pendapat-pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taimiyyah. Karenanya, dalam beberapa pemikiran beliau, terdapat persamaan dengan faham wahhabiyyah. Dalam menafsirkan ayat tajassum, misalnya, Muhammad ‘Abduh menafsirkannya sebagai kiasan, sementara Ridla menafsirkannya secara dzahiri sebagaimana juga ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah: 25--di dalam tafsir Al-Manar--tentang balasan di akherat. ‘Abduh menekankan tafsiran filosofis. Tafsiran itu mengandung arti bahwa balasan yang akan diterima di kaherat adalah bersifat rohani. Sedangkan rasyid Ridla dalam komentarnya lebih menekankan balasan dalam bentuk jasmani dan bukan dalam bentuk rohani.

c. Namun, yang perlu dicatat, kita mesti berpikir bahwa perbedaan di antara ketiganya justeru saling melengkapi. Abduh mencetuskan gagasan yang tidak dilontarkan oleh Al-Afghani dan, begitu juga Rasyid Ridla mencetuskan gagasan yang tidak dilontarkan oleh ‘Abduh


G. Pengaruh Al-Afghani, Abduh dan Rasyid Ridho terhadap Muhammadiyah

Pada permulaan abad XX umat Islam Indonesia menyaksikan munculnya gerakan pembaharuan pemahaman dan pemikiran Islam yang pada esensinya dapat dipandang sebagai salah-satu mata rantai dari serangkaian gerakan pembaharuan Islam yang telah dimulai sejak dari Ibnu Taimiyah di Siria, diteruskan Muhammad Ibnu Abdul Wahab di Saudi Arabia dan kemudian Jamaluddin al Afghani bersama muridnya Muhammad Abduh di Mesir. Munculnya gerakan pembaharuan pemahaman agama itu merupakan sebuah fenomena yang menandai proses Islamisasi yang terus berlangsung. Dengan proses Islamisasi yang terus berlangsung -meminjam konsep Nakamura- dimaksudkan suatu proses dimana sejumlah besar orang Islam memandang keadaan agama yang ada, termasuk diri mereka sendiri, sebagai belum memuaskan. Karenanya sebagai langkah perbaikan diusahakan untuk memahami kembali Islam, dan selanjutnya berbuat sesuai dengan apa yang mereka anggap sebagai standard Islam yang benar.

Peningkatan agama seperti itu tidak hanya merupakan pikiran-pikiran abstrak tetapi diungkapkan secara nyata dan dalam bentuk organisasi-organisasi yang bekerja secara terprogram. Salah satu organisasi itu di Indonesia adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H bertepatan dengan 18 Nopember 1912 M.[17]

Sejak kecil ia telah didik oleh orang tuanya dalam lingkungan pesantren, karena orang tuanya ( K.H. Abu Bakar ) adalah Khatib Masjid Agung Yogyakarta ( Kasultanan). Disamping itu pola pikirnya tentang pembaharuan banyak dipengaruhi oleh pendidikan yang diperolehnya ketika belajar dan bermukim di makkah selama 5 tahun, disana ia banyak membaca tulisan-tulisan Jamaluddin Al-Aghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho.

Pada tahun 1902, untuk yang kedua kalinya Dia pergi ke Makkah dan menetap disana selama 2 tahun, dan pada saat itu sempat bertemu dan berkenalan langsung dengan Ulama yang dikagumi yaitu Rasyid Ridha. Pertemuan ini sangat mengesankan dan membakar perjuangannya.[18]K.H. Ahmad Dahlan mendirikan perkumpulan Muhammadiyah, bertujuan menghidupkan kembali ajaran Islam yang murni dan Asli serta menuruti kemauan ajaran islam, Islam sebagai way of life, baik dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Orgamisasi ini merupakan lembaga sosial dan kegamaan yang serupa halnya dengan gerakan pembaharuan di Mesir.[19]

Usaha-usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah meliputi :

a. Memurnikan ajaran Islam dengan membersihkan praktek serta pengaruh yang bukan dari ajaran Islam.

b. Reformasi ajaran dan pendidikan Islam.

c. Reformasi doktrin-doktrin dengan pandangan alam pikiran modern

d. Mempertahankan islam dari pengaruh dan serangan dari luar.


H. Penutup

Wajah peradaban Islam era modern mempunyai beberapa kategori. Pertama kategori sebagai masa kemerdekaan negara Islam. Pada abad ke-18 dan 19, era modern diwarnai dengan kemerdekaan negara-negara Islam. Dalam tahun-tahun terakhir ini banyak negara muslim yang telah merdeka. Bersamaan dengan itu muncul pula organisasi-organisasi dan partai-partai nasional yang mendasarkan bentuk-bentuk pemerintahan pada prinsip-prinsip syari'at Islam.

Kedua, masa pembaharuan Islam. Dalam kategori ini terdapat beberapa konstribusi yang masih exist bahkan dikembangkan. Berbagai bidang masih mewarnai pemikiran tokoh ini, diantaranya Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Yang mana mereka berdua merupakan bapak pembaharu yang menjadi salah satu factor pemicu pembaharuan dan kebangkitan di dunia Muslim lainnya seperti di Indonesia. Sebagai contoh riil adalah gerakan Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 1912 M. Yang mana gerakan ini mengusung modernisasi baik dalam bidang pemikiran maupun pendidikan.


I. Daftar Pustaka

Asmuni, H.M, Yusron , 1998. Pengantar studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam ( Dirasah Islamiyah III),. Jakarta :Raja Grafindo Persada.

Azzam, Salim. 1990. Beberapa Pandangan Tentang Pembentukan Negara Islam. Bandung: Mizan.


Hasan, Riaz. 1985..Islam dari Konservatisme sampai Fundamentalisme. Jakarta: Rajawali Press.

Majelis Tarjih Muhammadiyah. Sejarah Lahirnya Muhammadiyah. Diakses dari Situs http://tarjih.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah.html


Mursi. Syaikh Muhammad Sa’id. 2009. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Cet.Ke-7. Jakarta: Pustaka Al-Kausar.

Muthahhari, Murtadha. tt. Gerakan Islam Abad XX. Jakarta: Beunebi Cipta.

Nasution, Harun. 1992.Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Rahman, Fazlur. 1995.Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intellektual. Bandung: Pustaka.

Syamsu As, Muhammad. 1999. Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya . Jakarta : Lentara Basritama.

Watt. William Montgomery. 1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas. Terj. Taufiq Adnan Amal. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.



[1] Salim Azzam, Beberapa Pandangan Tentang Pembentukan Negara Islam, (Bandung: Mizan, 1990) cet. II, hlm. 45

[2] Riaz Hasan, Islam dari Konservatisme sampai Fundamentalisme (Jakarta: Rajawali Press, 1985) hlm. 185


[4] Syaikh Muhammad Sa’id Mursi. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Cet.Ke-7. (2009. Jakarta: Pustaka Al-Kausar), hal. 299

[5]Op.Cit, Mursi, hal. 300.

[6] Op.Cit. Rizki.

[7] Op.Cit. Said Mursi. Hal. 302

[8] Jamaluddin Rakhmat, Islam Aktual, (1991. Bandung: Penerbit Mizan) Cetakan ke-11

[9] William Montgomery Watt. Fundamentalisme Islam dan Modernitas. Terj. Taufiq Adnan Amal. (1997. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hal 105-106

[10] Murtadha Muthahhari, Gerakan Islam Abad XX, (Jakarta: Beunebi Cipta, tt), hlm. 67.

[11] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. IX, hal. 63.

[12] Ibid, hal. 64.

[13] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intellektual (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 58.


[15] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h. 280.

[16] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Ibid., h. 70.


[18] Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta : Lentara Basritama,1999), hlm.286.

[19]Yusron Asmuni, H.M, Pengantar studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam ( Dirasah Islamiyah III),( Jakarta :Raja Grafindo Persada, 1998 ), hlm.100.


Wednesday, December 16, 2015

ASAS-ASAS TASYRI’ ISLAM




A. Asas-Asas Tasyri’ Islam

Asas berarti dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Asas-asas tasyrik yang terdapat dalam Al-qur’an antara lain :

1. Bersifat Universal

Dalam Al-qur’an penetapan hukumnya bersifat universal dan menyeluruh kepada seluruh umat manusia. Meskipun disebutkan untuk golongan tertentu seperti orang yang beriman contohnya, tetapi tidak disebutkan secara khusus orangnya yang mana hanya secara umum/universal kepada orang yang beriman.

2. Bersifat umum

Umum disini maksudnya adalah bahwa di dalam Al-qur’an penetapan hukumnya sebagaian besar masih secara umum tanpa terperinci aturan di dalamnya. Perlu adanya penafsiran kembali dan pemahaman kembali untuk megetahui hukum yang pasti dari sebuah dalil Al-Qur’an. Pada masa Rosul maka Rosulullah adalah orang yang memiliki tugas memberikan penjelasan dari ayat Al-qur’an yang belum jelas tersebut.

3. Tidak Memberatkan

Dalam penetapan hukum, Al-qur’an tidak pernah memberatkan dan menyusahkan umt manusia, oleh karena itu hukum tidak membebankan di luar kemampuan manusia. Semua penetapan hukum sudah dirancang oleh Allah agar manusia tidak keberatan terhadap hukum yang diberikan Allah kepada umat manusia.

4. Tidak memperbanyak Tuntutan

Di dalam al-qur’an azas penentuan hukum dalam urusan syar’i tidak memperbanyak tuntutan itu dapat dibuktikan bahwa dari beribu-ribu ayat dalam Al-qur’an, ayat-ayat yang membahas masalah hukum hanya sekitar 200 ayat saja.

5. Berangsur-angsur

Azas yang diberikan oleh Al-qur’an dalam penetapan hukum adalah berangsur-angsur dalam penetapan hukumnya. Itu dimaksudkan agar umat manusia tidak merasa keberatan dalam pelaksanaannya, juga dimaksudkan agar penetapan hukum tersebut lebih mengena terhadap sasaran yang akan tercapai.

6. Bersifat Elastis

Penetapan hukum Islam bermaksud agar penetpan hukum disesuaikan dengan perkembangan zaman. Jadi Hukum Islam akan senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman.


B. Asas Tasyri’ dalam Al-Qur’an

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ (١٨)

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Jatsiyah: 18)

Ayat inilah yang menjadi asas atau dasar Tasyri’ dalam Al Qur’an, yang kemudian berkembang kedalam Hukum Islam lainnya.





Thursday, December 10, 2015

Kiat Sukses Mendidik Anak


ANAK SUKSES?
BERMULA DARI BANGUN PAGI


1. Perbaikan kualitas generasi selayaknya dimulai dengan kebiasaan bangun di pagi hari.
Sebab generasi unggul bermula dari pagi yang masygul (sibuk)

2. Kebiasaan bangun pagi hendaklah dimulai dari usia dini.
Peran Ayah amat dinanti. Ayah yang peduli tak abai dalam urusan bangun pagi buah hati

3. Jika anak terbiasa bangun siang. Maka keberkahan hidup melayang. Aktivitas ruhani menjadi jarang. Perilaku menjadi jalang

4. Mulailah dengan malam yang berkualitas. Anak tidak terjaga di ambang batas. Harus buat peraturan tegas. Kapan terjaga dan kapan pulas

5. Sehabis isya jangan ada aktivitas fisik berlebihan.
Upayakan aktivitas yang menenangkan. Membaca atau bercerita yang berkesan

6. Biasakan berbagi perasaan. Mulai dengan cerita aktivitas harian. Evaluasi jika ada yang tidak berkenan. Sekaligus sarana pengajaran

7. Buat kesepakatan bangun jam berapa. Lantas anak mau dibangunkan bagaimana. Jadikan ini sebagai modal membangunkan di pagi harinya

8. Tutuplah aktivitas malam dengan dengarkan tilawah. Agar anak tidur membawa kalimat Allah Pemberi Rahmah. Terekam dalam memorinya sepanjang hayat

9. Pagi pun datang. Jalankan kesepakatan yang dibuat sebelum tidur menjelang. Bangunkan anak penuh kasih sayang. Bangunkan dengan cara yang ia bilang

10. Jika anak menolak tuk beranjak, ingatkan akan kesepakatan semalam.
Anak siap terima konsekuensi tanpa diancam. Batasi kesenangan yang ia idam

11. Bangunkan anak dengan kalimat Ilahi. Agar paginya diberkahi. Jika perlu adzan di telinga kanan dan kiri. Bisikan dengan lembut tembus ke hati

12. Jika ia segera bangun, jangan lupa apresiasi. Hadiahi dengan doa dan kecupan di pipi. Tak lupa bertanya tentang mimpi. Anak butuh transisi

13. Jika anak telah terjaga, siapkan aktivitas olah jiwa dan raga. Agar fisik anak bergerak tak kembali ke kasur yang menggoda. Mudah-mudahan jadi pola

14. Jalankan pola ini minimal 2 pekan. Agar lama-lama jadi kebiasaan. InsyaAllah anak bangun pagi dengan kesadaran. Sebab tubuhnya telah menyesuaikan

15. Jika ayah tak sempat membangunkan, karena harus segera ke kantor kejar setoran, mintalah ibu berganti peran. Agar anak tak merasa diabaikan

16. Jangan sampai anak tumbuh remaja, punya kebiasaan yang tidak mulia. Bangun pagi selalu tertunda. Sholat shubuh di waktu dhuha. Banyak melamun tak ada guna

17. Jika terlanjur anak bangun kesiangan. Buatlah rencana bersama pasangan. Konsisten dan tidak saling menyalahkan. Fokus kepada upaya perbaikan

18. Sebelum terlambat, segera bertindak cepat. Agar masa depan anak selamat. Fokuslah kepada perbaikan pola tidur yg sehat

19. Jika anak terbiasa bangun pagi sedari dini, the itu ciri anak berprestasi. Tak mudah dipengaruhi berbagai pergaulan yg tidak islami