Thursday, October 6, 2011

Tangismu Bencanaku



Ketika aku terlena dengan kesibukan dunia yang kumiliki saat ini, aku berhenti sejenak tuk merenungi ruh yang menempel ditubuhku ini, darah yang mengalir di tubuhku ini. Aku mencoba untuk mengingat segala memoriku saat aku masih SMA. Lalu beranjak lagi kuingat saat aku masih SMP, SD dan kemudian TK. Saat ku ingat masa-masa itu, aku tak kuasa menahan derasnya aliran air mata ini. Kenangan itu, membuatku,,,,,,,,,,,,,
Saat dia selalu ada di dekatku, saat dia memelukku dengan erat penuh kasih sayang, saat dia menciumku dengan penuh cinta, saat dia meneteskan air mata sucinya karena melihatku meringkuk sakit, saat dia menadahkan tangannya kepada tuhan seraya memohon kebaikan selalu untukku, saat dia mendengarkan segala cerita tak berbobotku, saat dia menasehatiku selalu dengan kata-kata mutiaranya. Sungguh aku merindukannya. Aku ingin keadaan itu kembali ku rengkuh lagi, aku merindukanmu.
Jarak yang memisahkan kita, kesibukan masing-masing dari kita telah buat hubungan kita terasa kurang akrab lagi seperti dulu. Aku ingin kau tahu……… sungguh aku ingin kau tahu…………..sungguh aku ingin kau tahu…………….. aku sangat mencintaimu ibu.
Begitu banyak yang ingin ku katakan padamu saat kau kecewa padaku. Saat kau megira ku lupa padamu. Sesungguhnya di sini aku selalu mengingatmu. Satiap aku ingin melakukan hal yang aku sangsikan, aku ingat sosokmu, yang selalu memberi nasehat padaku dahulu. Kau yang memohonkan petunjuk pada tuhanmu agar aku selalu dalam jalan kebenaran dan keteguhan hati. Tapi sekarang aku tak bisa selalu cerita padamu ibu……. aku merindukanmu….. ku ingin kau memelukku erat……. Ku ingin kau mencium keningku……. Ku ingin bersujud di kakimu….. ku ingin dan ku ingin,,,,,,,,,,
Apakah aku anak durhaka ibu……… aku sangat menyesal atas kata-kata kasarku padamu, kata-kata yang tak pantas ku lantunkan untukmu. Aku takut Allah akan murka padaku, ibu, maafkanlah anakmu ini. Yang di sana akan melahirkan generasi-generasi robbani…… yang di sana, kau sangat beruntung bisa selalu dekat dengnnya. Sujutlah sejenak di kakinya, sujudlah sejenak untukku. Sebagai wakil dariku yang saat ini ingin sekali bersujud memohon maaf pada ibu…….. 

Sunday, October 2, 2011

LEMBAGA PEMBENTUK PERUNDANG-UNDANGAN



A.    SEBELUM UUD 1945 DI AMANDEMEN
Dalam susunan ketatanegaraan Republik Indonesia pernah dikenal istilah lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Yang dimaksud lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara adalah lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara menurut UUD 1945 (Daliyo, 1992 : 56). Lembaga yang disebut sebagai lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara dalam UUD 1945 adalah :
1)      Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR)
2)      Presiden
3)      Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
4)      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
5)      Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
6)      Mahkamah Agung (MA)
Dari keenam lembaga negara tersebut, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. MPR mendistribusikan kekuasaannya kepada lima lembaga yang lain yang kedudukannya sejajar, yakni sebagai lembaga tinggi negara. Dalam susunan ketatanegaraan RI pada waktu itu, yang berperan sebagai lembaga legislatif adalah MPR dan DPR.
Kewenangan lembaga legislatif sebelum UUD 1945
1)      Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR).
            Sebelum amandemen UUD 1945, susunan anggota MPR terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah utusan daerah, golongan politik, dan golongan karya (Pasal 1 ayat 1 UU No. 16 Tahun 1969). Terkait dengan kedudukannya sebagai Lembaga Tertinggi Negara, MPR diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden
2)      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).                                                                         
            Keanggotaan DPR sebagai lembaga tinggi negara terdiri dari golongan politik dan golongan karya yang pengisiannya melalui pemilihan dan pengangkatan. Wewenang DPR menurut UUD 1945 adalah:
a.       Bersama presiden membentuk UU (Pasal 5 ayat 1 jo Pasal 20 ayat (1)) dengan kata lain bahwa DPR berwenang untuk memberikan persetujuan RUU yang diajukan presiden disamping mengajukan sendiri RUU tersebut. (Pasal 21 UUD 1945)
b.      Bersama presiden menetapkan APBN (Pasal 23 ayat (1))
c.       Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.

B.      PASCA AMANDEMEN UUD 1945
            Setelah adanya amandemen ke IV UUD 1945, (yang selanjutnya akan disebut UUD NRI 1945), terdapat suatu perubahan yang cukup mendasar baik dalam sistem ketatanegaraan maupun kelembagaan negara di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari dihapuskannya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara serta adanya beberapa lembaga negara baru yang dibentuk, yaitu Dewan Perwakilan Daerah dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, kedudukan seluruh lembaga negara adalah sejajar sebagai lembaga tinggi negara. Adapun lembaga – lembaga yang tercantum sebagai lembaga tinggi negara menurut UUD NRI 1945 adalah :
1)      Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2)      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
3)      Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
4)      Presiden
5)      Mahkamah Agung (MA)
6)      Mahkamah Konstitusi (MK)
7)      Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
            Adanya amandemen terhadap UUD 1945 telah menciptakan suatu sistem konstitusional yang berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing. Selain itu penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern, yaitu salah satunya menegaskan sistem pemerintahan presidensial dengan tetap mengambil unsur – unsur pemerintahan parlementer sebagai upaya untuk menutupi kekurangan system pemerintahan presidensial.
Dalam hal kewenangan lembaga negara, UUD NRI 1945 menekankan adanya beberapa perubahan pada kewenangan lembaga legislatif yaitu :
1)      Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Hal yang paling menonjol mengenai MPR setelah adanya amandemen UUD adalah dihilangkannya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Selain itu, perubahan – perubahan yang terjadi di lembaga MPR baik mengenai susunan, kedudukan, tugas maupun wewenangnya adalah :
a.         MPR tidak lagi menetapkan GBHN
b.        MPR tidak lagi mengangkat presiden. Hal ini dikarenakan presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. (Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945). MPR hanya bertugas untuk melantik presiden terpilih sesuai dengan hasil pemilu. (Pasal 3 ayat 2 Perubahan III UUD 1945).
c.         Susunan keanggotaan MPR mengalami perubahan yaitu terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih secara langsung melalui pemilu
d.        MPR tetap berwenang mengubah dan menetapkan UUD (Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945)
e.         MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau/Wakil Presiden dalam masa jabatannya, apabila atas usul DPR yang berpendapat bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden.
2)      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Adanya amandemen terhadap UUD 1945, sangat mempengaruhi posisi dan kewenangan DPR sebagai lembaga legislatif. Salah satunya adalah diberikannya kekuasaan kepada DPR untuk membentuk UU, yang sebelumnya dipegang oleh presiden dan DPR hanya berhak memberi persetujuaan saja. Perubahan ini juga mempengaruhi hubungan antara DPR sebagai lembaga legislatif dan presiden sebagai lembaga eksekutif, yaitu dalam proses serta mekanisme pembentukan UU. Selain itu, amandemen UUD 1945 juga mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara. (Pasal 20 A ayat (1) UUD NRI 1945)
3)      Dewan Perwakilan Daerah (DPR)
            Sebagai lembaga negara yang baru dibentuk setelah amandemen UUD, DPD dibentuk dengan tujuan untuk mengakomodasi kepentingan daerah sebagai wujud keterwakilan daerah ditingkat nasional. Hal ini juga merupakan tindak lanjut peniadaan utusan daerah dan utusan golongan sebagai anggota MPR. Sama halnya seperti anggota DPR, anggota DPD juga dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. (Pasal 22 C ayat (1) UUD NRI 1945). DPD mempunyai kewenangan untuk mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah. (Pasal 22 D ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945)
           
C.    KEKUASAAN MEMBENTUK PERUNDANG-UNDANGAN

1)      Kekuasaan DPR dalam Pembentukan Undang-undang
Fungsi utama parlemen pada hakekatnya adalah fungsi pengawasan dan Legislasi, parlemen berfungsi mengkomunikasikan tuntutan dan keluhan dari berbagai kalangan masyarakat kepada pihak pemerintah (Parlemen Parle an Government). Parlemen berkembang sebagai alat bagi masyarakat dalam melakukan pengendalian sosial (social control) terhadap kekuasaan. Tetapi dalam sistem modern sekarang ini, parlemen berubah menjadi alat dalam komunikasi dan sosialisasi politik kepada masyarakat melalui perdebatan terbuka (Public Debate) yang melibatkan keahlian legislator (parlemen parle an peuple). Sementara instrumen yang dapat digunakan oleh Parlemen untuk menyadar fungsi  pengawasan terhadap jalannya pemerintah secara efektif adalah:
a.       Hak budget
b.      Hak inteplasi
c.       Hak angket
d.      Hak usul resolusi
e.       Hak konfirmasi atau hak memilih calon pejabat tertentu
Selain hak yang bersifat kelembagaan, setiap individu anggota parlemen juga dijamin haknya untuk bertanya dan mengajukan usul pendapat serta hak lain, seperti hak immunitas dan hak protokuler. Semua hak itu penting sebagai instrumen yang dapat dipakai dalam menjalankan fungsi pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan
Pelaksanaan fungsi legislasi, DPR mempunyai hak atau kewajiban mengajukan rancangan Undang-undang, hak Amandemen atau hak untuk merubah setiap rancangan Undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Menurut Jimly Ashidigie: fungsi legislasi mencakup kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan Undang-undang. Selanjutnya menurut Bentham, tujuan legislasi atau kebijakan publik adalah untuk mempromosikan kebahagiaan terbesar  bagi sebanyak-banyaknya orang ( the gauntest happiness of the gauntest  Number).
Selanjutnya, berkenaan dengan fungsi legislatif, parlemen mempunyai hak-hak seperti : (a) hak inisiatif, (b) hak amandemen. Dalam sistem bicameral setiap kamar lembaga parlemen juga dilengkapi dengan hak veto dalam menghadapi rancangan Undang-undang yang dibahas oleh kamar yang berbeda. Hak veto berfungsi sebagai sarana kontrol terhadap pelaksanaan fungsi legislatif ini biasanya juga diberikan kepada Presiden, sehingga dalam sistem bicameral  yang pemerintahannya bersifat presidential hak veto dimiliki oleh tiga pihak sekaligus, yaitu presiden, majelis tinggi dan majelis rendah. Dalam sistem bicameral yang akan diperkenalkan di Indonesia di masa depan, diusulkan hak veto dimiliki oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Melalui mekanisme hak veto itu proses Checks and Balance tidak saja terjadi di antara parlemen dengan pemerintah tetapi juga diantara sesama parlemen sendiri.

2)      Kekuasaan DPD dalam Pembentukan Undang-undang
Berbeda dengan DPR yang merupakan representasi jumlah penduduk, DPD merupakan representasi wilayah Provinsi. Banyaknya anggota DPD  dari setiap provinsi ditentukan sebanyak empat orang. Dengan demikian, setiap provinsi tanpa memandang luas  dan kepadatan penduduknya akan mendapat jatah kursi DPD sebanyak empat orang. Menurut Soedijarto, anggota Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP/ MPR) “ Bangsa  ini belum jadi. Orang  di daerah  tertentu melihat orang di daerah lain bukan sebagai orang Indonesia. Perbedaan lainnya adalah jika DPR merupakan orang-orang yang muncul dari partai, DPD adalah individu-individu non-partisan yang akan menyuarakan suatu Propinsinya. Ini berarti, ideal seorang anggota DPD akan lebih independen dari pada anggota DPR. Yang sedikit banyak akan dapat intervensi dari partai dari mana ia berasal konsep baru ini merupakan reaksi dari konsep perwakilan yang semu yang dianut negara ini selama 32 tahun selama masa Orde Baru. Dengan konsep ini diharapkan bisa terbentuk mekanisme checks and balance antara lembaga-lembaga negara secara lebih baik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Utrecht, bahwa mekanisme checks and balance yang akan memperlihatkan perimbangan kekuasaan sebagaimana yang dilaksanakan di Amerika Serikat. Hal ini dikenakan pemisahan kekuasaan secara mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Bila diadakan pemisahan secara mutlak, berarti tidak adanya pengawasan antara lembaga-lembaga negara.
Meski begitu, pergeseran konsep keseimbangan tersebut kembali timpang ketika Undang-undang No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-undang Susduk) yang disahkan oleh Presiden Megawati pada tanggal 31 Juli 2003 banyak mereduksi kewenangan ideal yang seharusnya dimiliki oleh kamar pertama dalam sebuah sistem bicamarel. Pembatasan-pembatasan tersebut misalnya saja dapat dilihat dalam pasal 42 UU Susduk. Dalam pasal ini diatur bahwa DPD hanya memiliki fungsi yaitu :
a.       Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan dengan bidang legislasi tertentu,
b.      Pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang tertentu.
Dengan kata lain, ketentuan dalam pasal tersebut sangat membatasi kewenangan  DPD untuk terlibat dalam proses pembuatan sebuah Undang-undang, ia hanya dapat sebatas mengajukan usul dan ikut dalam pembahasan serta memberikan pertimbangan tanpa diminta kewenangan untuk mengambil keputusan. Selain itu, perlu digarisbawahi pula bahwa kewenangan yang dimilikinya pun hanya terhadap Undang–undang tertentu  yaitu Undang-undang  yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan pengembangan  daerah, pengelolaan sumber  daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta Undang-undang yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Begitu juga dengan tata tertib DPD, di mana Pasal 46 (1) yang mengamanatkan dibentuknya panitia perancang Undang-undang yang merupakan alat kelengkapan DPD. Pasal  yang ayat ( 1) tata tertib DPD menyebutkan tugas Panitia Perancang Undang-Undang adalah : merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan, usul pembentukan rancangan Undang-undang dan usul rancangan Undang-undang untuk 1 (satu) masa keanggota DPD dan setiap anggaran.
Dengan demikian, secara implisit, kedudukan DPD berada di bawah DPR dan Presiden, yang dapat dilihat sebagai berikut.
1.        DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR yang berkaitan dengan 1) Otonomi daerah, 2) Hubungan pusat dan daerah, 3) Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, 4) Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan 5) Perimbangan keunangan pusat dan daerah (Pasal 22 D Ayat (1) UUD1945).
2.        DPD ikut membahas sejumlah rancangan Undang-undang yang diajukan dalam bagian pertama di atas, serta memberikan perimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama, (Pasal 22 D Ayat (2) UUD1945).
3.        DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang pada kegiatan kedua di atas, dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti (Pasal 22 D Ayat (3) UUD1945). Selain itu, anggota DPD diperhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya  di atur  dalam Undang-Undang (Pasal 22 D Ayat (4) UUD1945). Artinya, DPR dan Presiden bisa mengatur pemberhentian anggota DPD.
Dari pasal-pasal di atas, terlihat DPD hanyalah weak chamber dibawah DPR dan Presiden dalam hal legislasi. Bisa juga diinterpretasikan bahwa DPD adalah subordinat dari Parpol yang terpilih menjadi Presiden atau Wakil Presiden (Wapres) dan DPR dalam hubungan hirarki dan oligopoli. Sekalipun begitu, kedudukan DPD bisa kuat ketika menjalankan haknya sebagai anggota MPR, baik dalam mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (pasal 3 ayat (1) UUD1945). DPD dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu dan mewakili unit kedaerahan, yaitu Propinsi. Dalam suatu Propinsi tentu terdapat banyak cluster aktor strategis. Mereka mempunyai kepentingan berbeda-beda baik dari segi tema maupun tingkatannya. Perbedaan sistematik jelas terlihat, misalnya antara Dewan Perwakilan Daerah, Pemerintah Daerah dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). Di antara lembaga-lembaga tersebut juga terdapat perbedaan tingkatan kepentingan, misalnya Dewan Perwakilan Daerah yang cenderung politis, Pemerintah Daerah yang cenderung Pragmatis dan LSM yang cenderung mikro-merakyat. Bagaimana anggota DPD dari suatu Propinsi mampu melakukan pengelompokan prioritisasi dan penentuan strategi lanjutan terhadap berbagai kepentingan yang disuarakan ?

3)      Kekuasaan Presiden dalam Pembentukan Undang-undang
      Sebelum perubahan UUD1945, Presiden bahkan merupakan lembaga yang memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Sedangkan sesudah perubahan UUD1945, Presiden masih pula dilibatkan seperti hak untuk mengajukan rancangan undang-undang, pembahasan yang dilakukan secara bersama dengan DPR terhadap RUU dan pengesahan RUU menjadi undang-undang yang juga dilakukan oleh Presiden.
     Sebelum perubahan (amandemen) UUD 1945 presiden merupakan lembaga yang memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Sedangkan sesudah amandemen UUD1945 Presiden masih dilibatkan dalam pembentukan Undang-undang seperti hak untuk mengajukan rancangan undang-undang, pembahasan yang dilakukan bersama DPR terhadap rancangan Undang-undang dan pengesahan rancangan Undang-undang menjadi Undang-undang yang juga dilakukan oleh presiden. 

MATERI MUATAN PERUNDANG-UNDANGAN




Materi muatan peraturan perundang-undangan, tolok ukurnya hanya dapat dikonsepkan secara umum. Semakin tinggi kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin abstrak dan mendasar materi muatannya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin rinci dan konkrit pula materi muatannya. Kesemuanya itu mencerminkan adanya tingkatan-tingkatan tentang materi muatan peraturan perundang-undangan dimana undang-undang merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang paling luas jangkauannya.

Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, mengatur materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal yang:
1.      Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
a.       Hak-hak asasi manusia;
b.      Hak dan kewajiban warga negara;
c.       Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
d.      Wilayah negara dan pembagian daerah;
e.       Kewarganegaraan dan kependudukan;
f.       Keuangan negara.
2.      Diperintahkan oleh suatu Undang-undang untuk diatur dengan Undang-undang.
     Sedangkan materi muatan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang sama dengan materi muatan undang-undang (Pasal 9 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004). Pasal 10 menyatakan bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Kemudian sesuai dengan tingkat hierarkinya, bahwa Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi yang melaksanakan Peraturan Pemerintah (Pasal 11). Mengenai Peraturan Derah dinyatakan dalam Pasal 12 bahwa materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
     Materi muatan peraturan perundang-undangan juga mengandung asas-asas yang harus ada dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Asas-asas tersebut sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.
Ayat (1) sebagai berikut:
“Materi Muatan Peraturan Perandang-undangan mengandung asas
a.       Pengayoman,
b.      Kemanusian,
c.       Kebangsaan,
d.      Kekeluargaan,
e.       Kenusantaraan,
f.       Bhinneka tunggal ika,
g.      Keadilan,
h.      Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
i.        Ketertiban dan kepastian hukum dan atau
j.        Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Sedangkan ayat (2), menyatakan “Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”.

     Apa yang dimaksudkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi muatan peraturan perundang-undangan tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut:
1.      Asas pengayoman; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
2.      Asas kemanusian; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
3.      Asas kebangsaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
4.      Asas kekeluargaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
5.      Asas kenusantaraan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
6.      Asas bhinneka tunggal ika; Bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
7.      Asas keadilan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
8.      Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain:
a.       Agama,
b.      Suku,
c.       Ras,
d.      Golongan,
e.       Gender,
f.       Atau status sosial.
9.      Asas ketertiban dan kepastian hukum; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
10.  Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

     Sedangkan penjelasan Pasal 6 ayat (2) menjelaskan bahwa “Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:
1.      Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
2.      Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik.
                       Selain kedua ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 tersebut, pembentukan peraturan perundang-undangan juga harus berpedoman, serta bersumber dan berdasar pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Hal tersebut terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 2
“Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara”.
Pasal 3 ayat (1)
“Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan”.

                       Kedua pasal tersebut dapat dipahami atau dimaknai agar setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan Pancasila sebagai Cita Hukum (rechtsidee) dan Norma Dasar Negara, sehingga kedua pasal tersebut berkaitan erat dengan Penjelasan Umum UUD 1945. Dari rumusan Penjelasan UUD 1945 menjadi jelaslah bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak lain adalah Pancasila merupakan Norma Dasar Negara atau Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) dan sekaligus merupakan Cita Hukum.
                       Pembukaan UUD 1945 sebagai suatu Norma Fundamental Negara, yang menurut istilah Notonagoro merupakan Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia atau menurut Hans Nawiasky adalah Staatsfundamentalnorm, ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahnya. Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.
                       Sedangkan konstitusi, menurut Carl Schmitt merupakan keputusan politik (eine Gessamtenschiedung uber Art und Form einer polistichen Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa. Apabila Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung Pembukaan UUD 1945 sebagai suatu Cita Hukum (Recthsidee), maka Pancasila adalah juga berfungsi sebagai suatu pedoman dan sekaligus tolok ukur dalam mencapai tujuan-tujuan masyarakat, yang dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

FUNGSI PERUNDANG-UNDANGAN



Fungsi Perundang-undangan adalah sebagai:
1.      Memberikan Jaminan Perlindungan bagi hak-hak kemanusiaan
2.      Memastikan posisi hukum setiap orang sesuai dengan kedudukan hukumnya masing-masing
3.      Sebagai Pembatasan Larangan, perintah tertentu yang harus dipatuhi dalam berperilaku

Fungsi Aturan Perundang-undangan dalam Sistem Hukum Indonesia
1.      Undang-undang
                        Dasar Hukum : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945
Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia, yang di dalam pembentukannya dilakukan oleh dua lembaga, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dengan Persetujuan Presiden.
Undang-undang dapat diartikan menjadi 2 yakni Undang-undang dalam arti material serta Undang-undang dalam arti formil. Di Indonesia hanya dikenal Undang-Undang dalam arti formal.
                        Undang-undang pokok, di Belanda dikenal sebagai Undang-Undang yang mendasari Undang-undang Lain, sementara UU Pokok ini tidak dikenal sebab kedudukan Undang-Undang di Indonesia adalah sejajar.
Bahwa pengertian Dewan Perwakilan Rakyat sebagai “memegang kekuasaan membentuk” Undang-undang, maka dapat diartikan dengan “memegang kewenangan”, karena suatu kekuasaan (macht), dalam hal ini kekuasaan membentuk Undang-Undang (wetgeven demacht), memang mengandung kewenangan membentuk Undang-Undang
Bahwa pengertian “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.

Fungsi Undang-Undang
a.       Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya
b.      Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD 1945
c.       Pengaturan lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya
d.      Pengaturan di bidang materi konstitusi, seperti organisasi, Tugas dan Wewenang Susunan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara.

2.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
                        Dasar Hukum : Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) merupakan suatu peraturan yang bertindak sebagai suatu Undang-Undang. PERPU ditetapkan oleh Pemerintah dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, yang harus segera diatasi, karena pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang relatif lama.
noodverordeningsrecht” atau “hak Presiden untuk mengatur kegentingan yang memaksa” tidak selalu ada hubungannya dengan keadaan bahaya, tetapi cukup apabila menurut keyakinan Presiden terdapat keadaan mendesak dan dibutuhkan peraturan yang mempunyai derajat Undang-Undang. Dan PERPU tidak dapat ditangguhkan sampai DPR melakukan pembicaraan pengaturan keadaan tersebut.
Jangka waktu berlakunya PERPU ialah terbatas, sebab harus dimintakan persetujuan oleh DPR untuk dijadikan Undang-Undang ataukah dicabut.
                        Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) pada dasarnya sama dengan fungsi dari undang-undang.
            Perbedaan keduanya terletak pada Pembuatnya, undang-undang dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan DPR dalam keadaan normal sedangkan PERPU dibuat oleh Presiden. Perbedaan lainnya adalah Undang-undang dibuat dalam suasana (keadaan) normal, sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibuat dalam keadaan kegentingan yang memaksa.

Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang adalah:
a.       Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya
b.      Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD 1945
c.       Pengaturan lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya
d.      Pengaturan di bidang materi konstitusi
3.      Fungsi Undang-undang Dasar.
           Berfungsi sebagai hukum dasar bagi pembentukan lembaga-lembaga negara, fungsi, dan hubungannya antara satu dengan yang lain, mengatur hubungan antara Negara dengan warga negara, dan memuat cita-cita serta tujuan Negara.
4.      Ketetapan MPR.
           Pada dasarnya berfungsi mengatur tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam Negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945.
5.      Fungsi Peraturan Pemerintah adalah:
a.       pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas menyebutnya
b.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut, ketentuan lain dalam undang-undang yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.
6.      Fungsi Keputusan Presiden yang berisi pengaturan adalah :
a.       menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. (sesuai Pasal 4 ayat 1 UUD 1945)
b.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.
c.       menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Peraturan Pemerintah meskipun tidak tegas-tegas menyebutkannya.
7.      Fungsi Keputusan Menteri adalah sebagai berikut:
a.       menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya (sesuai dengan pasal 17 ayat 1 UUD 1945).
b.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Presiden.
c.       menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas menyebutnya.
d.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.
8.      Fungsi Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen adalah :
a.       menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya.
b.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Presiden. Merupakan delegasikan berdasarkan pasal 17 ayat (1) UUD 1945.
9.      Fungsi Keputusan Direktur Jenderal Departemen adalah:
a.       menyelenggarakan perumusan kebijakan teknis Keputusan Menteri.
b.      menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Keputusan Menteri.
10.  Fungsi Keputusan Badan Negara adalah:
a.       Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang mengatribusikan dan Peraturan Pemerintah yang bersangkutan.
b.      menyelenggarakan secara umum dalam rangka penyelenggaraan fungsi dan tugasnya.
11.  Fungsi Peraturan Daerah
Fungsi Peraturan Daerah diatur dalam BAB IV khususnya pada pasal 69 dan pasal 70. UU no. 22 Tahun 1999.
Bunyinya adalah sebagai berikut:
Pasal 69
Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 70
Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 71
(1) Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar.
(2) Peraturan Daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
dengan atau tidak merampas barang tertentu untuk Daerah, kecuali jika ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 72
(1) Untuk melaksanakan Peraturan Dacrah dan alas kuasa peraturan perundang-
undangan lain yang berlaku, Kepala Daerah menetapkan keputusan Kepala Daerah.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah, dan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.
Pasal 73
(1) Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang bersifat mengatur
diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah.

12.  Fungsi Keputusan Kepala Daerah
           Adalah menyelenggarakan pengaturan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Daerah yang bersangkutan dan tugas-tugas pemerintahan.
13.  Fungsi Keputusan Desa
           Adalah mengatur segala sesuatu yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pemerintahan desa, yang dibuat oleh Kepala Desa setelah mendapat persetujuan Badan Perwakilan Desa. Sedangkan Keputusan Kepala Desa berfungsi sebagai pelaksanaan peraturan desa dan pelaksanaan kebijaksanaan kepala desa dalam pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desa.