BAB I
PENDAHULUAN
Kalender Hijriyah adalah Kalender
Ibadah Umat Islam. Penetapan hari raya kaum muslimin, baik Idul Adha maupun
Idul Fitri pun mengacu pada hitungan kalender Hijriyah. Wukuf di Arafah yang
merupakan satu rukun dalam ibadah haji, waktunya pun berpijak pada kalender
hijriah. Begitu pula awal Puasa Ramadhan, puasa ayyamul Bidh
(tanggal 13,14,15 tiap bulan) dan sebagainya mengacu pada Penanggalan Hijriah.
Untuk itu seyogyanya bagi setiap muslim untuk menambah perhatiannya pada
Kalender Islam ini.
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
"Berpuasalah
karena melihatnya (hilal Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya (hilal
Syawal), jika berawan (tidak bisa melihatnya) maka sempurnakanlah hitungan
bulan Sya'ban menjaga tiga puluh (30)." [1]
Berpijak
pada hadis terpopuler riwayat Imam
Bukhary, Muslim dan Nasa’i tersebut dalam penentuan awal Ramadhan, Syawal dan
hari-hari ibadah lainnya dalam kalender Hijriyah ternyata sering kali mengundang
segudang polemik di kalangan masyarakat muslim.
Polemik
tersebut, bukan hanya merupakan wacana semata, akan tetapi berimplikasi pada
awal dimulainya pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di atas. Bahkan realita di
masyarakat polemik yang berupa perselisihan itu berpengaruh pada keharmonisan
sosial di antara pemeluk Islam sendiri. Padahal
di dunia Islam hanya ada satu hilal, tetapi perselisihan masih saja ada. Hal
ini karena terdapat perbedaan metode dalam penentuan awal bulan.
Indonesia yang masih tergolong berpenduduk
Muslim terbesar justru sering sekali mengalami perbedaan dan perselisihan dalam
memahami sabda Rasulullah tersebut untuk penentuan awal bulan Qamariyah.
Dampaknya saat ini muncul beberapa metode yang digunakan oleh berbagai kalangan
yang hasil akhirnya terkadang dan sering kali berbeda. Di antaranya adalah
metode rukyat, metode hisab dan
metode imkān al-rukyat yang dimunculkan oleh pemerintah (ulil Amr di Indonesia).
Perbedaan metode tersebut tampaknya muncul
dari pemahaman lafadz li ru’yatihi dan
dalam hadis lain kalimat faqdurū lahu. Ditambah
lagi dengan semakin majunya dunia Islam saat ini yang menuntut untuk
menggunakan teknologi-teknologi dan ilmu pengetahuan, sehingga metode yang
memang dirasa kurang bisa menjawab semua problema umat Muslim harus
dikesampingkan dengan tanpa meninggalkannya.
Dalam hal ini timbul pertanyaan besar dalam
benak penulis, apakah sampai akhir zaman nanti umat Islam tidak akan bersatu? Apakah
sebuah kalender yang mengacu pada satu hilal ternyata mempunyai dua tanggal
terus? Padahal hanya karena berbeda menggunakan metode penentuan awal bulan
Qamariyah saja. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas
tentang bagaimana metode rukyat dan hisab itu, karena dua metode ini yang sering
diperselisihkan.
Sebenarnya materi ini sangat berat bagi
penulis, karena ini merupakan karya ilmiah yang bisa digugat jika salah dalam
menyuguhkan statement-statement.
Namun, meski begitu penulis terus berusaha mencoba untuk mengkaji dengan
sedikit bekal ilmu serta pemahaman yang dimiliki. Karena itu, dalam makalah
ini, penulis tidak berani memasukkan materi yang belum penulis kuasai karena
takut pertanggungjawabannya kelak.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Metode Rukyat Hilal
Penetapan
awal bulan Ramadhan adalah dengan melihat hilal menurut semua ulama[2],
berdasarkan sabda Nabi SAW.:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
"Berpuasalah karena melihatnya (hilal Ramadhan) dan
berbukalah karena melihatnya (hilal Syawal), jika berawan (tidak bisa
melihatnya) maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjaga tiga puluh (30)." [3]
Dalam lafazh
yang lain:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ
"Berpuasalah
karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika tidak bisa melihatnya
maka puasalah tiga puluh (30) hari." [4]
Dan dalam lafazh
yang lain:
فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوماً.
"Maka sempurnakanlah hitungan Sya'ban menjaga tiga puluh hari."[5]
Maksudnya
bahwa ditetapkan berpuasa dengan melihat hilal dan berbuka dengan melihat hilal
(Syawal). Jika tidak bisa dilihat, wajib menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi
tiga puluh hari kemudian berpuasa. Dan wajib menyempurnakan bulan Ramadhan
menjadi tiga puluh apabila bulan tidak bisa dilihat. Adapun bila hilal bisa
dilihat, maka alhamdulillah.[6]
Kaum
muslimin wajib berpuasa dengan melihat hilal Ramadhan di malam ke tiga puluh
dari bulan Sya'ban, dan jadilah bulan Sya'ban kurang (dari 30 hari) dan umat
Islam berpuasa. Seperti ini pula jika mereka melihat hilal di malam ke tiga
puluh dari bulan Ramadhan, mereka berbuka setelah puasa selama dua puluh
sembilan hari. Adapun bila tidak melihat hilal, mereka harus menyempurnakan
Sya'ban dan Ramadhan menjadi tiga puluh hari,[7] berdasarkan
hadis-hadis:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ
"Berpuasalah
karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, maka jika berawan (tidak
bisa melihatnya) maka sempurnakanlah hitungan."
Nash
ini meliputi bulan Sya'ban dan Ramadhan. Dan dalam lafazh yang lain:
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُوْمُوْا
ثَلاَثِيْنَ.
Maka
jika tertutup awan, maka puasalah selama tiga puluh hari."
Penetapan
hilal cukup dengan satu orang saksi saat masuknya bulan Ramadhan, seorang saksi
yang adil menurut mayoritas ulama, berdasarkan hadis dari Ibnu Umar RA.[8],
ia berkata:
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ
صلى الله عليه وسلم أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ باِلصِّيَامِ
"Orang-orang
mengamati hilal, lalu aku mengabarkan kepada Nabi SAW. bahwa aku telah
melihatnya, maka beliau SAW. puasa dan menyuruh semua orang berpuasa."[9]
Dan
berdasarkan hadis dari Rasulullah SAW. bahwa seorang Arab Badui bersaksi di
sisi beliau bahwa ia telah melihat hilal, maka Nabi SAW. bersabda: "Apakah
engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah
(yang berhak disembah) selain Allah dan aku adalah utusan Allah?" Ia
menjawab: 'Ya.?
Lalu beliau menyuruh puasa.'[10]
Maka
apabila seorang yang adil melihat hilal masuknya bulan Ramadhan niscaya wajib
berpuasa. Adapun keluar dari Ramadhan maka harus dari dua orang saksi yang
adil. Demikianlah semua bulan, tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dua orang
saksi yang adil[11],
berdasarkan hadis dari Nabi SAW., beliau bersabda:
فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُوْمُوْا
وَأَفْطِرُوْا
"Maka jika bersaksi dua
orang saksi maka berpuasa dan berbukalah. "[12]
Dan
diriwayatkan dari Harits bin Hathib RA., ia berkata: 'Rasulullah SAW. berpesan
kepada kami agar beribadah berdasarkan ru'yah (melihat hilal). Jika kami tidak
melihatnya dan bersaksi dua orang saksi yang adil, kami beribadah berdasarkan
kesaksian keduanya."[13]
Maksudnya
bahwa persaksian dua orang yang adil adalah keharusan dalam keluar dan di semua
bulan. Adapun masuk bulan Ramadhan maka cukup hanya dengan satu orang saksi
yang adil, berdasarkan dua hadis di atas.
Para
ulama berbeda pendapat. Apakah persaksian wanita bisa diterima seperti
laki-laki dalam masuknya bulan? Ada dua pendapat ulama: di antaranya ada yang
menerimanya, sebagaimana diterima riwayatnya dalam hadis, apabila dia seorang
yang tsiqah (dipercaya). Dan di
antara mereka ada yang tidak menerimanya. Pendapat yang kuat adalah tidak
diterima dalam persoalan ini, karena ini adalah tugas laki-laki dan termasuk
keistimewaan laki-laki, karena mereka lebih mengetahui dan mengenal persoalan
ini.[14]
Namun,
dengan menggunakan metode rukyat ternyata
dijumpai beberapa problem
diantaranya:
1. Tidak dapat memastikan tanggal ke depan karena tanggal
baru bisa diketahui melalui rukyat pada h-1 (sehari sebelum bulan baru),
2. Rukyat tidak dapat menyatukan tanggal termasuk menyatukan
hari puasa Arafah, dan justru sebaliknya rukyat mengharuskan tanggal di muka
bumi ini berbeda karena garis kurve rukyat di atas muka bumi akan selalu
membelah muka bumi antara yang dapat merukyat dan yang tidak dapat merukyat,
3. Faktor yang mempengaruhi rukyat terlalu banyak, yaitu
a)
faktor
geometris (posisi Bulan, Matahari dan Bumi),
b)
faktor
atmosferik, yaitu keadaan cuaca dan atmosfir,
c)
faktor
fisiologis, yaitu kemampuan mata manusia untuk menangkap pantulan sinar dari
permukaan bulan,
d)
faktor
psikologis, yaitu keinginan kuat untuk dapat melihat hilal sering mendorong
terjadinya halusinasi sehingga sering terjadi klaim bahwa hilal telah terlihat
padahal menurut kriteria ilmiah, bahkan dengan teropong canggih, hilal masih
mustahil terlihat.[15]
2.
Metode
Hisab
Seluruh hadis Rasulullah menjelaskan
bahwasanya rukyah hilal
merupakan salah satu cara
untuk menentukan awal bulan qamariah. Cara yang lain ialah dengan memperoleh
berita tentang rukyat, menggenapkan bilangan bulan yang sedang berlangsung
selama 30 hari (istikmal) dan yang terkini adalah dengan perhitungan/hisab. sehingga rukyatul hilal bukanlah
merupakan satu-satunya cara
untuk menetapkan awal bulan.
Penentuan
awal bulan dengan hisab dimulai sejak kaum muslimin mengenal Astronomi, yaitu
pada zaman Tabiin Besar yang dilakukan oleh mazhab Mutharaf bin Syakhir seperti dinyatakan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya
Bidayah al-Mujtahid. Dalam kitab itu disebutkan
bahwa apabila hilal sulit
diobservasi maka yang dipakai landasan ialah hasil hisab, yang merupakan hasil perhitungan
peredaran bulan dan matahari[16]. Adapun
landasan dari hisab ini ialah firman Allah surat Yunus
ayat 5:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا
وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَاب
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu) ...”[17]
Juga
Firman Allah
ﻻﺍﻠﺸﻤﺵ ﻴﻨﺒﻐﻲ ﻟﻬﺎ ﺃﻦ ﺘﺪﺭﻙ ﺍﻟﻗﻣﺭﻮﻻ ﺍﻟﻳﻞ
ﺷﺎﺒﻖﺍﻟﻨَﻬَﺎﺭِ ﻭﻜﻞ ﻓﻲ ﻓﻟﻚ ﻳﺴﺒﺤﻭﻦ
"Tidaklah mungkin bagi
matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan
masing-masing beredar pada garis edarnya" (Q.S. Yāsīn : 40).[18]
Diperkuat pula dengan surat
Ar-Rahman ayat 4:
ﺍﻟﺷﻣﺲ ﻭﺍﻟﻗﻣﺮﺑﺤﺳﺒﺎﻦ
"Matahari dan bulan
(beredar) menurut perhitungan”
Selain berpedoman pada ayat-ayat al-Quran, metode hisab pula di
sandarkan pada beberapa hadis Rasulullah yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا
مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا
الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا
لَهُ [19]
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami
Malik dari Nafi’ dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA. bahwa Rasulullah SAW.
menceritakan tentang bulan Ramadhan lalu Beliau bersabda: “Janganlah kalian
berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan pula kalian berbuka hingga
kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah
jumlahnya.”
Pada kalimat “maka
perkirakanlah jumlahnya” dalam hadis di atas – menurut penulis – maksudnya
adalah dengan cara hisab (masa kini) karena memang pada zaman Rasulullah belum
mengenal sistem penghitungan yang canggih dan akurat. Hal ini berlandaskan
hadis Rasulullah
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ بْنُ قَيْسٍ حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ
هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ [20]
Telah
menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah
menceritakan kepada kami Al-Aswad bin Qais telah menceritakan kepada kami Sa’id
bin ‘Amru bahwa dia mendengar Ibnu ‘Umar RA. dari Nabi SAW bersabda: “Kita ini
adalah ummat yang ummi, yang tidak bisa menulis dan juga tidak menghitung satu
bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali berjumlah dua puluh
sembilan dan sekali berikutnya tiga puluh hari”.
Menurut pemahaman penulis yang
berpijak pada hadis tersebut, seandainya Rasulullah masih hidup di zaman yang
modern dan serba canggih sekarang, mungkin beliau akan melalukan metode hisab
karena memang saat ini metode hisab yang mampu memberi kepastian data secara
akurat. Ilmu pengetahuan juga telah berkembang pesat dan terkadang perkembangan
zaman saat ini tidak terasa kurang relevan dan menunjang jika masih terkungkung
pada metode zaman dahulu.
Jika ada pernyataan bahwasanya
metode penentuan awal bulan dengan hisab itu merupakan bid’ah dan sesat
pikir, maka menurut penulis jalan pikiran yang seperti itu justru bisa
dikategorikan dengan manusia kuno dan tidak mau menghadapi kenyataan bahwa
dunia telah berkembang. Memang benar metode hisab itu tidak pernah dilakukan
Rasulullah, namun yang perlu di ingat bahwa sebuah metode bukanlah merupakan
ibadah mahdlah. Yang termasuk ibadah mahdlah adalah puasanya.
Bukan metodenya, karena ini hanyalah sebuah cara untuk menentukan waktu semata
agar ibadah madlah yang dilakukan itu benar.
Bila perhitungan hisab didasarkan kepada sistem dan metode
yang akurat, hasilnya tidak akan berbeda, kalaupun ada hanyalah pada menit dan
detik saja. Hal itu disebabkan karena pembulatan bilangan di belakang koma. Sewaktu-waktu
perbedaan itu dapat dikontrol melalui tabel-tabel dan rumus yang dipergunakan.
Hasil perhitungan hisab yang didasarkan kepada perhitungan yang akurat itu
sudah diuji kebenarannya melalui teori-teori dan observasi, sehingga hasilnya
sudah meyakinkan.[21]
Di
zaman Rasulullah rukyat memang tidak menimbulkan
masalah karena umat Islam hanya menghuni Jazirah Arab saja dan belum ada orang
Islam di luar jazirah Arab tersebut. Sehingga bila bulan terlihat atau tidak
terlihat di jazirah Arab itu, tidak ada masalah dengan umat Islam di daerah
lain lantaran di daerah itu belum ada umat Islam. Berbeda halnya dengan zaman
sekarang, di mana umat Islam telah menghuni seluruh penjuru bumi yang bulat
ini. Apabila di suatu tempat hilal terlihat, maka mungkin sekali tidak terlihat
di daerah lain. Karena tampakan hilal di atas muka bumi terbatas dan tidak
meliputi seluruh muka bumi. Rukyat akan menimbulkan problem bila terjadi pada
bulan Zulhijah tahun tertentu. Di Mekah terlihat, di Indonesia tidak terlihat,
sehingga timbul masalah puasa Arafah.
Sebenarnya dengan penggunaan metode hisab terkandung suatu nilai pendidikan
bagi masyarakat luas bahwa suatu sistem penanggalan yang baik adalah suatu
sistem kalender yang dapat memberikan penjadwalan waktu yang akurat dan pasti
jauh ke depan sehingga bisa dipedomani jauh hari sebelumnya. Karena
memang sistem kalender
bertujuan untuk memudahkan masyarakat penggunanya merencanakan kegiatannya
disesuaikan dengan sistem penjadwalan waktu yang dimilikinya. [22]
Dalam buku Fiqih Hisab Rukyat dikatakan bahwa
sistem penentuan awal bulan Qamariyah
adalah hisâb wujûd al hilâl. Dijelaskan
pula bahwa hisâb wujûd al hilâl
adalah matahari terbenam lebih dahulu dari pada terbenamnya bulan walaupun
hanya satu menit kurang. Di mana dalam menentukan tanggal 1 bulan baru
berdasarkan hisab itu tidak ada batasan tertentu, pokoknya asal hilâl sudah wujud, maka menurut kalangan
ahli hisab sudah berdasarkan hisâb wujûd
al hilâl dan dapat ditentukan besoknya adalah awal bulan Qamariyah baru. [23]
Menurut Oman Fathurrahman dalam bukunya Ahmad
Izzuddin, dengan sistem hisâb wujûd al
hilâl maka ada istilah garis batas hisâb
wujûd al hilâl. Yakni tempat-tempat yang mengalami terbenam matahari dan
bulan pada saat yang bersamaan. Jika tempat-tempat itu dihubungkan maka
terbentuklah sebuah garis. Garis inilah yang kemudian disebut garis batas hisâb wujûd al hilâl.
Wilayah yang berada di sebelah barat
garis batas hisâb wujûd al hilâl terbenamnya
matahari lebih dulu daripada terbenamnya bulan, oleh karena itu pada saat
tersbenam matahari, bulan berada di atas ufuk. Dengan kata lain bulan sudah
wujud dan sejak saat matahari terbenam tersebut bulan harus sudah mulai masuk.
Sebaliknya wilayah yang berada di sebelah timur garis hisâb wujûd al hilâl terbenamnya matahari, oleh karenanya pada saat
matahari terbenam keesokan harinya bulan baru belum masuk melainkan termasuk
akhir dari bulan yang sedang berlangsung.[24]
Berdasarkan
wacana di atas, keuntungan dari metode hisab adalah
1.
Hisab
lebih memberikan kepastian dan bisa menghitung tanggal jauh hari ke depan,
2.
Hisab
mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan, yang tidak mungkin dilakukan
dengan rukyat. Dalam Konferensi Pakar II yang diselenggarakan oleh ISESCO tahun
2008 telah ditegaskan bahwa mustahil menyatukan sistem penanggalan umat Islam
kecuali dengan menggunakan hisab.[25]
BAB
III
ANALISIS
DAN KESIMPULAN
Apabila dikaitkan dengan perkembangan zaman
saat ini yang semakin modern dan menerobos ilmu pengetahuan, metode penentuan
awal bulan Qamariyah yang pada mulanya menggunakan rukyah saja kurang relevan.
Karena banyak sekali kekurangan dari metode tersebut salah satunya karena cuaca
yang kurang mendukung seperti mendung. Meskipun memang benar dalam hadis bahwa
jika tertutup mendung maka harus digenapkan 30 hari, akan tetapi menurut
penulis pernyataan itu sebenarnya dilontarkan Rasulullah karena tidak
mengetahui secara pasti hitungannya itu 29 atau 30. Oleh karena itu
digenapkanlah bulan meski sebenarnya hilal telah wujud yaitu tanggal satu, ini
terjadi karena zaman dahulu masih belum mengetahui ilmu hisab seperti sekarang
ini.
Seperti kenyataan yang terjadi pada bulan
awal bulan Syawal 1432 Hijriyah kali ini yang menimbulkan banyak kontroversi
dari berbagai kalangan. Berbagai titik telah dilakukan rukyah hilal tetapi
hasilnya berbeda-beda ada yang bilang telah wujud dan belum. Dalam hal ini
sudah jelas bahwa hilal telah tampak ukuran tanggal dua Hijriyah, akan tetapi
sebagian orang baru berlebaran. Bukan maksud penulis ingin membela salah satu
pihak, tetapi penulis sendiri mengkaji dan melihat dan membuktikan sendiri
kenyataan yang ada. Nah dari kejadian ini yang membuktikan kebenaran hasil
hisab mengapa tidak diikuti saja sebagai pedoman bulan-bulan ibadah tahun
depan?
Selain itu, jika ada pernyataan harus
meninggalkan metode hisab, maka menurut penulis, hal ini tidak mungkin karena
jika tidak dilakukan hisab, maka untuk mengetahui penanggalan Hijriyah
bagaimana? Apakah harus setiap bulan dilakukan rukyah hilal? Padahal kesibukan
manusia tidak hanya melihat bulan terus. Dalam hal ini bukan berarti penulis
meniadakan metode rukyah yang dilakukan Rasulullah, namun memadukan dua metode
tersebut. Yakni tetap menggunakan hisab sebagai perkiraan kapan kira-kira bulan
baru akan muncul, lalu dibuktikan dengan rukyah untuk memperkuat.
Apabila metode rukyah saja yang digunakan,
maka bayangkan saja,
H-1 bahkan malam yang seharusnya esok hari sudah lebaran atau masih puasa
ternyata belum bisa dipastikan awal bulan baru itu kapan karena yang berwenang
alias ulil amri di Indonesia belum angkat bicara. Sungguh malang nasib Muslim di Indonesia bagian timur sudah pukul 10:00 malam
WIT masih belum mendapat kepastian apakah masih akan salat tarawih atau akan
melakukan takbiran untuk menyambut datangnya lebaran.
Apabila ternyata esok hari belum lebaran berarti mereka akan melaksanakan salat
tarawih setelah jam 10:00 malam itu yang mereka mungkin sudah mengantuk dan lelah karena seharian berpuasa dan bekerja
berat. Bahkan ada pula yang tidak tarawih dan
tidak pula takbiran.
Ditambah lagi, Syamsul Anwar dalam tulisannya
mengatakan bahwa setahun lalu
pernah mendapat keluhan dari mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri di
mana umat Islam minoritas. Keluhannya adalah mendapat kesulitan untuk menyewa
tempat salat idul fitri karena tempat tersebut harus dibooking jauh hari
sebelum idul fitri,
sementara ketentuan lebarannya belum pasti kapan karena masih menunggu hasil
rukyat. Serta banyak lagi keluhan lain semisal pekerja Muslim di negara
minoritas Islam sulit mendapatkan cuti Idulfitri karena tidak bisa memberi
kepastian jatuhnya idul fitri jauh hari sebelumnya.
Seandainya ada suatu sistem penjadwalan dengan baik dan mendunia, maka semua
itu tidak akan terjadi.
Selain itu, penulis sendiri sebenarnya
memedomani kaidah al-khurûj minal-khilâf mustahab (keluar dari ikhtilaf
adalah dianjurkan) merupakan salah satu kaidah fiqhiyyah yang disepakati
hampir oleh semua ulama mujtahid dan dianggap sebagai salah satu kaidah kulliyyah
(universal). Artinya, sepanjang masih ada titik-titik singgung yang bisa
dipersatukan di antara umat, jangan menyengaja atau mencoba-coba ingin berbeda
dengan umat lain. Sikap ingin dan asal beda justru bertentangan dengan prinsip
kaidah ini. Oleh sebab itu, dalam masalah ijthadiyah semacam ini harus terus
dipikirkan modus terbaik untuk keluar dari khilâf yang pasti akan terus menerus terjadi karena
metode penetapan yang berbeda.
Persoalannya, di mana titik temu mungkin
didapat mengingat sampai saat ini metodologi dalam penetapan hilâl
berbeda-beda. Kalau masih belum seragam, sampai kapan pun, ketika posisi hilâl tidak terlalu tinggi, akan terus
terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan kapan awal bulan baru dimulai.
Memang, memaksakan agar setiap kelompok menggunakan metode yang sama dalam
menentukan bulan baru bukan sesuatu yang memungkinkan. Masing-masing memiliki
alasan dan dalil yang dianggap paling sahih sehingga sulit untuk memaksa mereka
memilih satu metode tertentu. Dalam konteks ini sesungguhnya ada kaidah fiqhiyyah
lain yang dapat dijadikan jembatan, yaitu kaidah Kullu mâ hakama bihi
al-qâdhî al-‘adl min madzhabin man ra’âhu shawâban mimmâ ikhtalafa al-nâs fîhi
fahuwa nâfidz (Setiap perkara yang diputuskan oleh seorang hakim yang adil
berdasarkan pendapat satu madzhab yang dianggap olehnya benar atas masalah yang
diperselisihkan oleh orang-orang, maka keputusan itu dapat dilaksanakan).
Kaidah di atas mengisyaratkan salah satu cara
untuk menyelesaikan khilâf, yaitu
dengan menyerahkannya pada pihak yang berwenang (qâdhi atau hakim yang
adil). Ini merupakan salah satu bagian dari siyâsah syar‘iyyah untuk
menghindari potensi-potensi konflik di tengah umat dan meminimalisasi
terjadinya fragmentasi akibat perbedaan pendapat di tengah umat. Cara ini dapat
lebih memungkinkan umat didorong untuk terus dapat berkomitmen memegang
persatuan (al-wihdah). Sebab, kalau khilâf
dipelihara justru berpotensi untuk memecah-belah umat dan menimbulkan
perasaan al-wihdah al-islâmiyyah dalam diri setiap umat Muslim hilang.
Namun, perlu di kritisi lagi tentang wacana ‘ulil Amri’. Selayaknya ulil amri tidak boleh sedikitpun
dirasuki oleh unsur politik (bukan berarti penulis menyalahkan ulil
amri). Namun, mereka juga harus bijak dalam memutus tanpa ada unsur pilih
kasih tanpa dasar. Kemajuan ilmu pengetahuan selayaknya harus dipahami untuk
menyeragamkan dan menyatukan umat Islam.
Intinya, bila bulan sudah ternyata benar
wujud tanggal satu, maka apa salahnya jika menggunakan metode yang telah teruji
tersebut demi kemaslahatan umat Islam. Bukan justru harus meninggalkan metode
hisab yang di kata merupakan bid’ah
padahal yang merupakan ibadah mahdlahnya
adalah puasa, bukan metode penentuan waktunya.
LAMPIRAN
A. Shahīh
al-Bukhāri (Kitāb al-Shaum)
حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ
عَنْ
عُقَيْلٍ
عَنْ
ابْنِ
شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَالِمُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ ابْنَ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ
فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ
فَاقْدُرُوا لَهُ وَقَالَ غَيْرُهُ عَنْ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ
وَيُونُسُ لِهِلَالِ رَمَضَانَ
Telah menceritakan kepada kami Yahya
bin Bukair berkata, telah menceritakan kepada saya Al-Laits dari ‘Uqail dari
Ibnu Syihab berkata, telah mengabakan kepada saya Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Ibnu ‘Umar RA. berkata; Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Jika kamu melihatnya maka berpuasalah dan
jika kamu melihatnya lagi maka berbukalah. Apabila kalian terhalang oleh awan
maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan)”. Dan berkata,
selainnya dari Al-Laits telah menceritakan kepada saya ‘Uqail dan Yunus: “Ini
maksudnya untuk hilal bulan Ramadhan”.[26]
حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ
عَنْ
نَافِعٍ
عَنْ
عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ
رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا
حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ [27]
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami
Malik dari Nafi’ dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA. bahwa Rasulullah SAW.
menceritakan tentang bulan Ramadhan lalu Beliau bersabda: “Janganlah kalian
berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan pula kalian berbuka hingga
kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah
jumlahnya (jumlah hari disempurnakan).”[28]
حَدَّثَنَا آدَمُ
حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ
بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ
قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ
شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Telah
menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata, aku mendengar Abu Hurairah
RA. berkata; Nabi SAW. bersabda, atau katanya Abu al-Qasim SAW telah bersabda:
“Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya
pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan
hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh”. [29]
حَدَّثَنَا آدَمُ
حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ
حَدَّثَنَا
الْأَسْوَدُ
بْنُ قَيْسٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ
بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ
أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي
مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ [30]
Telah
menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah
menceritakan kepada kami Al-Aswad bin Qais telah menceritakan kepada kami Sa’id
bin ‘Amru bahwa dia mendengar Ibnu ‘Umar RA. dari Nabi SAW bersabda: “Kita ini
adalah ummat yang ummi, yang tidak bisa menulis dan juga tidak menghitung satu
bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali berjumlah dua puluh
sembilan dan sekali berikutnya tiga puluh hari”. [31]
B. Muwaththa
Malik (Kitāb al-Shiyām)
وَحَدَّثَنِي
عَنْ مَالِك عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا
الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا
لَهُ
[32]
Dan telah
menceritakan kepadaku dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin
‘Umar bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Satu bulan itu ada dua puluh sembilan
hari, maka janganlah berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan berbuka
hingga kalian melihat hilal. Jika hilal tertutup oleh awan dari penglihatan
kalian maka genapkanlah.”
C. Shahīh
Muslim
D. Sunan
an-Nasa’i
أَخْبَرَنِي
إِبْرَاهِيمُ
بْنُ يَعْقُوبَ قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ شَبِيبٍ
أَبُو عُثْمَانَ وَكَانَ شَيْخًا صَالِحًا بِطَرَسُوسَ
قَالَ
أَنْبَأَنَا ابْنُ
أَبِي زَائِدَةَ عَنْ حُسَيْنِ
بْنِ الْحَارِثِ الْجَدَلِيِّ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ خَطَبَ
النَّاسَ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَالَ أَلَا إِنِّي جَالَسْتُ
أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَاءَلْتُهُمْ
وَإِنَّهُمْ
حَدَّثُونِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا
وَأَفْطِرُوا
[33]
Telah
mengabarkan kepadaku Ibrahim bin Ya’kub dia berkata; telah menceritakan kepada
kami Sa’id bin Syabib Abu ‘Utsman – dan dia adalah seorang syaikh yang shalih
di Tharasus- dia berkata; telah memberitakan kepada kami Ibnu Abi Zaidah dari
Husain bin Al-Harits Al-Jadali dari ‘Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khaththab
bahwa ia berkhutbah di hadapan manusia di hari yang diragukan untuk berpuasa di
dalamnya. Lalu ia berkata; “Ketahuilah aku pernah duduk bersama sahabat
Rasulullah SAW, dan aku bertanya kepada mereka. Mereka menceritakan kepadaku
bahwa Rasulullah SAW. bersabda: berpuasalah kalian karena melihatnya,
berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya
pula. Jika hilal itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi
tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[34]
أَخْبَرَنَا مُؤَمَّلُ
بْنُ هِشَامٍ عَنْ إِسْمَعِيلَ عَنْ شُعْبَةَ
عَنْ
مُحَمَّدِ
بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ [35]
Telah
menceritakan kepada kami Muammal bin Hisyam dari Ismail dari Syu’bah dari
Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah SAW. bersabda:
“Berpuasalah jika kalian melihatnya (hilal) dan berbukalah jika kalian
melihatnya jika terjadi mendung, hitunglah tiga puluh hari”. [36]
DAFTAR PUSTAKA
Abu
′Abd Allah Muhammad ibn Isma′il al- Bukhariy. Al-Jami′ al-Shahih (Shahih
al-Bukhariy. Beirut: Dār Thauq al-Najah, Juz VII, 1422 H.
Abu
′Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’ayb al-Nasaiy, Sunan al-Nasā′ī. Al-Riyadh:
Maktabah al-Ma′arif al-Nasyr wa al-Tauzi′, TT.
Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz, Majmu' Fatawa wa Maqalah Mutanawwi'ah juz 15. Di
unduh dari www.imambinbaz.org
CD
Mausu’ah Hadis
Ahmad
Izzuddin. Fiqih Hisab Rukyat Menyatukan
NU dan Muhammadiyah dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha.
2007. Jakarta: Erlangga.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid analisa fiqih para mujtahid juz I. 2007. Cet
ke III. Jakarta: Pustaka amani.
PT. Panca Simpati. Al-Qur’an dan terjemah. 2007. Jakarta: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Fatwa Muhammadiyah. Penetapan Awal Bulan, Metode Hisab Muhammadiyah Dan
Shalat Ied Diam-Diam Karena Berbeda Penetapan 1 Syawal. Tersedia pada http://www.muhammadiyah.or.id. Diakses pada tanggal 21
September 2011.
Syamsul
Anwar. Otoritas
Dan Kaidah Matematis: Refleksi Atas Perayaan Idulfitri 1432 H. (2011) Tersedia pada http://www.muhammadiyah.or.id/id/artikel.
Diakses pada tanggal 23 September 2011.
[1] Abu
′Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’ayb al-Nasaiy, Sunan al-Nasā′ī. (Al-Riyadh:
Maktabah al-Ma′arif al-Nasyr wa al-Tauzi′, TT. no. 2124). Juga terdapat dalam
riwayat Imam Muslim hadis no. 1081 dan Imam Bukhori hadis no. 1810
[2] Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz, Majmu' Fatawa wa Maqalah Mutanawwi'ah juz 15. hal
60. Di unduh dari www.imambinbaz.org
[3] Ibid, Abdul Aziz bin Baz. (HR, Muslim no.
1081 dan an-Nasa`i no. 2124.)
[4] Ibid, Abdul Aziz bin Baz (HR, Ibnu Hibban)
[5]Abu
′Abd Allah Muhammad ibn Isma′il al- Bukhariy, Al-Jami′ al-Shahih /Shahih
al-Bukhariy ( Beirut: Dār Thauq al-Najah, Juz VII, 1422 H.), No.Hadis 1909.
[6] Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz. Op.Cit. hal 60
[8] Ibid, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. hal 61
[10] HR.
At-Tirmidzi 691.
[13] HR. Abu
Daud no. 2338.
[15]Penjelasan Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah Soal penetapan Idul Fitri besok. (2011). Tersedia pada http://www.muhammadiyah.or.id/news-392.
diakses pada tanggal 21 September 2011.
[16] Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid analisa fiqih para
mujtahid juz I. 2007. Cet ke III. Jakarta: Pustaka amani.
[17] PT. Panca Simpati. Al-Qur’an dan terjemah. 2007. Jakarta:
PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. hal 208
[19] Abu ′Abd Allah Muhammad ibn Isma′il al- Bukhariy,
Al-Jami′ al-Shahih /Shahih al-Bukhariy ( Beirut: Dār Thauq al-Najah,
Juz VII, 1422 H.), No.Hadis
1801.
[20] Ibid., no. hadis 1814.(. (بَاب قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ
[21] Fatwa
Muhammadiyah. (2011). Penetapan Awal Bulan, Metode Hisab Muhammadiyah
Dan Shalat Ied Diam-Diam Karena Berbeda Penetapan 1 Syawal. Tersedia pada http://www.muhammadiyah.or.id. Diakses pada tanggal
21 September 2011.
[22] Syamsul
Anwar. Otoritas
Dan Kaidah Matematis: Refleksi Atas Perayaan Idulfitri 1432 H. (2011) Tersedia pada http://www.muhammadiyah.or.id/id/artikel. Diakses pada tanggal 23 September 2011.
[23] Ahmad
Izzuddin. Fiqih Hisab Rukyat Menyatukan
NU dan Muhammadiyah dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha.
(2007. Jakarta: Erlangga. Hal. 125)
[26] Abu ′Abd Allah Muhammad ibn Isma′il al- Bukhariy,
Al-Jami′ al-Shahih /Shahih al-Bukhariy ( Beirut: Dār Thauq al-Najah,
Juz VII, 1422 H.), No.Hadis
1801.
[28] Ibid., no. hadis
1807.
[34] Abu
′Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’ayb al-Nasaiy, Sunan al-Nasā′ī (Al-Riyadh:
Maktabah al-Ma′arif al-Nasyr wa al-Tauzi′, TT.), hal 337. No.Hadis: 2116.
Shahih.
[35] إِكْمَالُ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ إِذَا كَانَ غَيْمٌ وَذِكْرُ
اخْتِلَافِ النَّاقِلِينَ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ
[36] Ibid., hal. 338.
No. Hadis: 2117. Shahih.
No comments:
Post a Comment
setelah selesai membaca tolong dikomentari yah..... makasih