Sunday, October 2, 2011

LEMBAGA PEMBENTUK PERUNDANG-UNDANGAN



A.    SEBELUM UUD 1945 DI AMANDEMEN
Dalam susunan ketatanegaraan Republik Indonesia pernah dikenal istilah lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Yang dimaksud lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara adalah lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara menurut UUD 1945 (Daliyo, 1992 : 56). Lembaga yang disebut sebagai lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara dalam UUD 1945 adalah :
1)      Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR)
2)      Presiden
3)      Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
4)      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
5)      Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
6)      Mahkamah Agung (MA)
Dari keenam lembaga negara tersebut, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. MPR mendistribusikan kekuasaannya kepada lima lembaga yang lain yang kedudukannya sejajar, yakni sebagai lembaga tinggi negara. Dalam susunan ketatanegaraan RI pada waktu itu, yang berperan sebagai lembaga legislatif adalah MPR dan DPR.
Kewenangan lembaga legislatif sebelum UUD 1945
1)      Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR).
            Sebelum amandemen UUD 1945, susunan anggota MPR terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah utusan daerah, golongan politik, dan golongan karya (Pasal 1 ayat 1 UU No. 16 Tahun 1969). Terkait dengan kedudukannya sebagai Lembaga Tertinggi Negara, MPR diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden
2)      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).                                                                         
            Keanggotaan DPR sebagai lembaga tinggi negara terdiri dari golongan politik dan golongan karya yang pengisiannya melalui pemilihan dan pengangkatan. Wewenang DPR menurut UUD 1945 adalah:
a.       Bersama presiden membentuk UU (Pasal 5 ayat 1 jo Pasal 20 ayat (1)) dengan kata lain bahwa DPR berwenang untuk memberikan persetujuan RUU yang diajukan presiden disamping mengajukan sendiri RUU tersebut. (Pasal 21 UUD 1945)
b.      Bersama presiden menetapkan APBN (Pasal 23 ayat (1))
c.       Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.

B.      PASCA AMANDEMEN UUD 1945
            Setelah adanya amandemen ke IV UUD 1945, (yang selanjutnya akan disebut UUD NRI 1945), terdapat suatu perubahan yang cukup mendasar baik dalam sistem ketatanegaraan maupun kelembagaan negara di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari dihapuskannya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara serta adanya beberapa lembaga negara baru yang dibentuk, yaitu Dewan Perwakilan Daerah dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, kedudukan seluruh lembaga negara adalah sejajar sebagai lembaga tinggi negara. Adapun lembaga – lembaga yang tercantum sebagai lembaga tinggi negara menurut UUD NRI 1945 adalah :
1)      Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2)      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
3)      Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
4)      Presiden
5)      Mahkamah Agung (MA)
6)      Mahkamah Konstitusi (MK)
7)      Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
            Adanya amandemen terhadap UUD 1945 telah menciptakan suatu sistem konstitusional yang berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing. Selain itu penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern, yaitu salah satunya menegaskan sistem pemerintahan presidensial dengan tetap mengambil unsur – unsur pemerintahan parlementer sebagai upaya untuk menutupi kekurangan system pemerintahan presidensial.
Dalam hal kewenangan lembaga negara, UUD NRI 1945 menekankan adanya beberapa perubahan pada kewenangan lembaga legislatif yaitu :
1)      Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Hal yang paling menonjol mengenai MPR setelah adanya amandemen UUD adalah dihilangkannya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Selain itu, perubahan – perubahan yang terjadi di lembaga MPR baik mengenai susunan, kedudukan, tugas maupun wewenangnya adalah :
a.         MPR tidak lagi menetapkan GBHN
b.        MPR tidak lagi mengangkat presiden. Hal ini dikarenakan presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. (Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945). MPR hanya bertugas untuk melantik presiden terpilih sesuai dengan hasil pemilu. (Pasal 3 ayat 2 Perubahan III UUD 1945).
c.         Susunan keanggotaan MPR mengalami perubahan yaitu terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih secara langsung melalui pemilu
d.        MPR tetap berwenang mengubah dan menetapkan UUD (Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945)
e.         MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau/Wakil Presiden dalam masa jabatannya, apabila atas usul DPR yang berpendapat bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden.
2)      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Adanya amandemen terhadap UUD 1945, sangat mempengaruhi posisi dan kewenangan DPR sebagai lembaga legislatif. Salah satunya adalah diberikannya kekuasaan kepada DPR untuk membentuk UU, yang sebelumnya dipegang oleh presiden dan DPR hanya berhak memberi persetujuaan saja. Perubahan ini juga mempengaruhi hubungan antara DPR sebagai lembaga legislatif dan presiden sebagai lembaga eksekutif, yaitu dalam proses serta mekanisme pembentukan UU. Selain itu, amandemen UUD 1945 juga mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara. (Pasal 20 A ayat (1) UUD NRI 1945)
3)      Dewan Perwakilan Daerah (DPR)
            Sebagai lembaga negara yang baru dibentuk setelah amandemen UUD, DPD dibentuk dengan tujuan untuk mengakomodasi kepentingan daerah sebagai wujud keterwakilan daerah ditingkat nasional. Hal ini juga merupakan tindak lanjut peniadaan utusan daerah dan utusan golongan sebagai anggota MPR. Sama halnya seperti anggota DPR, anggota DPD juga dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. (Pasal 22 C ayat (1) UUD NRI 1945). DPD mempunyai kewenangan untuk mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah. (Pasal 22 D ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945)
           
C.    KEKUASAAN MEMBENTUK PERUNDANG-UNDANGAN

1)      Kekuasaan DPR dalam Pembentukan Undang-undang
Fungsi utama parlemen pada hakekatnya adalah fungsi pengawasan dan Legislasi, parlemen berfungsi mengkomunikasikan tuntutan dan keluhan dari berbagai kalangan masyarakat kepada pihak pemerintah (Parlemen Parle an Government). Parlemen berkembang sebagai alat bagi masyarakat dalam melakukan pengendalian sosial (social control) terhadap kekuasaan. Tetapi dalam sistem modern sekarang ini, parlemen berubah menjadi alat dalam komunikasi dan sosialisasi politik kepada masyarakat melalui perdebatan terbuka (Public Debate) yang melibatkan keahlian legislator (parlemen parle an peuple). Sementara instrumen yang dapat digunakan oleh Parlemen untuk menyadar fungsi  pengawasan terhadap jalannya pemerintah secara efektif adalah:
a.       Hak budget
b.      Hak inteplasi
c.       Hak angket
d.      Hak usul resolusi
e.       Hak konfirmasi atau hak memilih calon pejabat tertentu
Selain hak yang bersifat kelembagaan, setiap individu anggota parlemen juga dijamin haknya untuk bertanya dan mengajukan usul pendapat serta hak lain, seperti hak immunitas dan hak protokuler. Semua hak itu penting sebagai instrumen yang dapat dipakai dalam menjalankan fungsi pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan
Pelaksanaan fungsi legislasi, DPR mempunyai hak atau kewajiban mengajukan rancangan Undang-undang, hak Amandemen atau hak untuk merubah setiap rancangan Undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Menurut Jimly Ashidigie: fungsi legislasi mencakup kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan Undang-undang. Selanjutnya menurut Bentham, tujuan legislasi atau kebijakan publik adalah untuk mempromosikan kebahagiaan terbesar  bagi sebanyak-banyaknya orang ( the gauntest happiness of the gauntest  Number).
Selanjutnya, berkenaan dengan fungsi legislatif, parlemen mempunyai hak-hak seperti : (a) hak inisiatif, (b) hak amandemen. Dalam sistem bicameral setiap kamar lembaga parlemen juga dilengkapi dengan hak veto dalam menghadapi rancangan Undang-undang yang dibahas oleh kamar yang berbeda. Hak veto berfungsi sebagai sarana kontrol terhadap pelaksanaan fungsi legislatif ini biasanya juga diberikan kepada Presiden, sehingga dalam sistem bicameral  yang pemerintahannya bersifat presidential hak veto dimiliki oleh tiga pihak sekaligus, yaitu presiden, majelis tinggi dan majelis rendah. Dalam sistem bicameral yang akan diperkenalkan di Indonesia di masa depan, diusulkan hak veto dimiliki oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Melalui mekanisme hak veto itu proses Checks and Balance tidak saja terjadi di antara parlemen dengan pemerintah tetapi juga diantara sesama parlemen sendiri.

2)      Kekuasaan DPD dalam Pembentukan Undang-undang
Berbeda dengan DPR yang merupakan representasi jumlah penduduk, DPD merupakan representasi wilayah Provinsi. Banyaknya anggota DPD  dari setiap provinsi ditentukan sebanyak empat orang. Dengan demikian, setiap provinsi tanpa memandang luas  dan kepadatan penduduknya akan mendapat jatah kursi DPD sebanyak empat orang. Menurut Soedijarto, anggota Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP/ MPR) “ Bangsa  ini belum jadi. Orang  di daerah  tertentu melihat orang di daerah lain bukan sebagai orang Indonesia. Perbedaan lainnya adalah jika DPR merupakan orang-orang yang muncul dari partai, DPD adalah individu-individu non-partisan yang akan menyuarakan suatu Propinsinya. Ini berarti, ideal seorang anggota DPD akan lebih independen dari pada anggota DPR. Yang sedikit banyak akan dapat intervensi dari partai dari mana ia berasal konsep baru ini merupakan reaksi dari konsep perwakilan yang semu yang dianut negara ini selama 32 tahun selama masa Orde Baru. Dengan konsep ini diharapkan bisa terbentuk mekanisme checks and balance antara lembaga-lembaga negara secara lebih baik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Utrecht, bahwa mekanisme checks and balance yang akan memperlihatkan perimbangan kekuasaan sebagaimana yang dilaksanakan di Amerika Serikat. Hal ini dikenakan pemisahan kekuasaan secara mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Bila diadakan pemisahan secara mutlak, berarti tidak adanya pengawasan antara lembaga-lembaga negara.
Meski begitu, pergeseran konsep keseimbangan tersebut kembali timpang ketika Undang-undang No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-undang Susduk) yang disahkan oleh Presiden Megawati pada tanggal 31 Juli 2003 banyak mereduksi kewenangan ideal yang seharusnya dimiliki oleh kamar pertama dalam sebuah sistem bicamarel. Pembatasan-pembatasan tersebut misalnya saja dapat dilihat dalam pasal 42 UU Susduk. Dalam pasal ini diatur bahwa DPD hanya memiliki fungsi yaitu :
a.       Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan dengan bidang legislasi tertentu,
b.      Pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang tertentu.
Dengan kata lain, ketentuan dalam pasal tersebut sangat membatasi kewenangan  DPD untuk terlibat dalam proses pembuatan sebuah Undang-undang, ia hanya dapat sebatas mengajukan usul dan ikut dalam pembahasan serta memberikan pertimbangan tanpa diminta kewenangan untuk mengambil keputusan. Selain itu, perlu digarisbawahi pula bahwa kewenangan yang dimilikinya pun hanya terhadap Undang–undang tertentu  yaitu Undang-undang  yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan pengembangan  daerah, pengelolaan sumber  daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta Undang-undang yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Begitu juga dengan tata tertib DPD, di mana Pasal 46 (1) yang mengamanatkan dibentuknya panitia perancang Undang-undang yang merupakan alat kelengkapan DPD. Pasal  yang ayat ( 1) tata tertib DPD menyebutkan tugas Panitia Perancang Undang-Undang adalah : merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan, usul pembentukan rancangan Undang-undang dan usul rancangan Undang-undang untuk 1 (satu) masa keanggota DPD dan setiap anggaran.
Dengan demikian, secara implisit, kedudukan DPD berada di bawah DPR dan Presiden, yang dapat dilihat sebagai berikut.
1.        DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR yang berkaitan dengan 1) Otonomi daerah, 2) Hubungan pusat dan daerah, 3) Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, 4) Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan 5) Perimbangan keunangan pusat dan daerah (Pasal 22 D Ayat (1) UUD1945).
2.        DPD ikut membahas sejumlah rancangan Undang-undang yang diajukan dalam bagian pertama di atas, serta memberikan perimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama, (Pasal 22 D Ayat (2) UUD1945).
3.        DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang pada kegiatan kedua di atas, dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti (Pasal 22 D Ayat (3) UUD1945). Selain itu, anggota DPD diperhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya  di atur  dalam Undang-Undang (Pasal 22 D Ayat (4) UUD1945). Artinya, DPR dan Presiden bisa mengatur pemberhentian anggota DPD.
Dari pasal-pasal di atas, terlihat DPD hanyalah weak chamber dibawah DPR dan Presiden dalam hal legislasi. Bisa juga diinterpretasikan bahwa DPD adalah subordinat dari Parpol yang terpilih menjadi Presiden atau Wakil Presiden (Wapres) dan DPR dalam hubungan hirarki dan oligopoli. Sekalipun begitu, kedudukan DPD bisa kuat ketika menjalankan haknya sebagai anggota MPR, baik dalam mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (pasal 3 ayat (1) UUD1945). DPD dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu dan mewakili unit kedaerahan, yaitu Propinsi. Dalam suatu Propinsi tentu terdapat banyak cluster aktor strategis. Mereka mempunyai kepentingan berbeda-beda baik dari segi tema maupun tingkatannya. Perbedaan sistematik jelas terlihat, misalnya antara Dewan Perwakilan Daerah, Pemerintah Daerah dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). Di antara lembaga-lembaga tersebut juga terdapat perbedaan tingkatan kepentingan, misalnya Dewan Perwakilan Daerah yang cenderung politis, Pemerintah Daerah yang cenderung Pragmatis dan LSM yang cenderung mikro-merakyat. Bagaimana anggota DPD dari suatu Propinsi mampu melakukan pengelompokan prioritisasi dan penentuan strategi lanjutan terhadap berbagai kepentingan yang disuarakan ?

3)      Kekuasaan Presiden dalam Pembentukan Undang-undang
      Sebelum perubahan UUD1945, Presiden bahkan merupakan lembaga yang memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Sedangkan sesudah perubahan UUD1945, Presiden masih pula dilibatkan seperti hak untuk mengajukan rancangan undang-undang, pembahasan yang dilakukan secara bersama dengan DPR terhadap RUU dan pengesahan RUU menjadi undang-undang yang juga dilakukan oleh Presiden.
     Sebelum perubahan (amandemen) UUD 1945 presiden merupakan lembaga yang memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Sedangkan sesudah amandemen UUD1945 Presiden masih dilibatkan dalam pembentukan Undang-undang seperti hak untuk mengajukan rancangan undang-undang, pembahasan yang dilakukan bersama DPR terhadap rancangan Undang-undang dan pengesahan rancangan Undang-undang menjadi Undang-undang yang juga dilakukan oleh presiden. 

2 comments:

setelah selesai membaca tolong dikomentari yah..... makasih