Friday, January 13, 2012

Penetapan Awal Bulan Qamariyah

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Saat bulan sabit tampak tersenyum di antara tamaran langit senja di penghujung Ramadhan, maka saat itulah terjadi peralihan dari bulan Ramadhan ke bulan Syawal, atau tiba saatnya menyongsong hari kemenangan, Idul Fitri. Pergantian bulan dalam kalender Hijriyah (Islam) ditandai dengan terlihatnya bulan sabit (hilal), kala matahari tenggelam di ufuk barat. Penetapan hari raya kaum muslimin, baik Idul Adha dan Wukuf di Arafah yang merupakan satu rukun dalam ibadah haji, waktunya pun berpijak pada kalender hijriah. Begitu pula awal Puasa Ramadhan, puasa ayyamul Bidh (tanggal 13,14,15 tiap bulan) dan sebagainya mengacu pada Penanggalan Hijriah. Untuk itu seyogyanya bagi setiap muslim untuk menambah perhatiannya pada Kalender Islam ini.
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ

"Berpuasalah karena melihatnya (hilal Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya (hilal Syawal), jika berawan (tidak bisa melihatnya) maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjaga  tiga puluh (30)." [1]

Berpijak pada hadis terpopuler riwayat Imam Bukhary, Muslim dan Nasa’i tersebut dalam penentuan awal Ramadhan, Syawal dan hari-hari ibadah lainnya dalam kalender Hijriyah ternyata sering kali mengundang segudang polemik di kalangan masyarakat muslim.
   Polemik tersebut, bukan hanya merupakan wacana semata, akan tetapi berimplikasi pada awal dimulainya pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di atas. Bahkan realita di masyarakat polemik yang berupa perselisihan itu berpengaruh pada keharmonisan sosial di antara pemeluk Islam sendiri.  Padahal di dunia Islam hanya ada satu hilal, tetapi perselisihan masih saja ada. Hal ini karena terdapat perbedaan metode dalam penentuan awal bulan.
   Indonesia yang masih tergolong berpenduduk Muslim terbesar justru sering sekali mengalami perbedaan dan perselisihan dalam memahami sabda Rasulullah tersebut untuk penentuan awal bulan Qamariyah. Dampaknya saat ini muncul beberapa metode yang digunakan oleh berbagai kalangan yang hasil akhirnya terkadang dan sering kali berbeda. Di antaranya adalah metode rukyat, metode hisab dan metode imkān al-rukyat (kemingkinan hilal dapat dilihat) yang dimunculkan oleh pemerintah (ulil Amr di Indonesia).
   Perbedaan metode tersebut tampaknya muncul dari pemahaman lafadz li ru’yatihi dan dalam hadis lain kalimat faqdurū lahu. Ditambah lagi dengan semakin majunya dunia Islam saat ini yang menuntut untuk menggunakan teknologi-teknologi dan ilmu pengetahuan, sehingga metode yang memang dirasa kurang bisa menjawab semua problema umat Muslim harus dikesampingkan dengan tanpa meninggalkannya.
   Dalam hal ini timbul pertanyaan besar dalam benak penulis, apakah sampai akhir zaman nanti umat Islam tidak akan bersatu? Apakah sebuah kalender yang mengacu pada satu hilal ternyata mempunyai dua tanggal terus? Padahal hanya karena berbeda menggunakan metode penentuan awal bulan Qamariyah saja. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas tentang bagaimana metode rukyat dan hisab itu, karena dua metode ini yang sering diperselisihkan.
   Sebenarnya materi ini sangat berat bagi penulis, karena ini merupakan karya ilmiah yang bisa digugat jika salah dalam menyuguhkan statement-statement. Namun, meski begitu penulis terus berusaha mencoba untuk mengkaji dengan sedikit bekal ilmu serta pemahaman yang dimiliki. Karena itu, dalam makalah ini, penulis tidak berani memasukkan materi yang belum penulis kuasai karena takut pertanggungjawabannya kelak.

BAB II
PEMBAHASAN

1.    Metode Rukyat Hilal
Penetapan awal bulan Ramadhan telah jelas yakni dengan melihat hilal menurut semua ulama[2], berdasarkan sabda Nabi SAW.:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
"Berpuasalah karena melihatnya (hilal Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya (hilal Syawal), jika berawan (tidak bisa melihatnya) maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjaga  tiga puluh (30)." [3]

Dalam lafazh yang lain:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ
"Berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika tidak bisa melihatnya maka puasalah tiga puluh (30) hari." [4]

Dan dalam lafazh yang lain:
 فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوماً.
"Maka sempurnakanlah hitungan Sya'ban menjaga  tiga puluh hari."[5]

Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam bukunya, Majmu’ Fatawa menjelaskan maksud dari hadis di atas bahwa ditetapkannya berpuasa adalah dengan melihat hilal dan berbuka dengan melihat hilal (Syawal) pula. Jika tidak bisa dilihat, wajib menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari kemudian berpuasa. Kemudian wajib menyempurnakan bulan Ramadhan menjadi tiga puluh hari apabila bulan tidak bisa dilihat. Adapun bila hilal bisa dilihat, maka alhamdulillah.[6]
Kaum muslimin wajib berpuasa dengan melihat hilal Ramadhan di malam ke tiga puluh dari bulan Sya'ban, dan jadilah bulan Sya'ban kurang (dari 30 hari) dan umat Islam berpuasa. Seperti ini pula jika mereka melihat hilal di malam ke tiga puluh dari bulan Ramadhan, mereka berbuka setelah puasa selama dua puluh sembilan hari. Adapun bila tidak melihat hilal, mereka harus menyempurnakan Sya'ban dan Ramadhan menjadi tiga puluh hari,[7] berdasarkan hadis-hadis:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ
"Berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, maka jika berawan (tidak bisa melihatnya) maka sempurnakanlah hitungan."

Nash ini meliputi bulan Sya'ban dan Ramadhan. Dan dalam lafazh yang lain:
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ.
Maka jika tertutup awan, maka puasalah selama tiga puluh hari."

Penetapan hilal cukup dengan satu orang saksi saat masuknya bulan Ramadhan, seorang saksi yang adil menurut mayoritas ulama, berdasarkan hadis dari Ibnu Umar RA.[8], ia berkata:
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ باِلصِّيَامِ
"Orang-orang mengamati hilal, lalu aku mengabarkan kepada Nabi SAW. bahwa aku telah melihatnya, maka beliau SAW. puasa dan menyuruh semua orang berpuasa."[9]

Dan berdasarkan hadis dari Rasulullah SAW. bahwa seorang Arab Badui bersaksi di sisi beliau bahwa ia telah melihat hilal, maka Nabi SAW. bersabda: "Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah dan aku adalah utusan Allah?" Ia menjawab: 'Ya.? Lalu beliau menyuruh puasa.'[10]
Maka apabila seorang yang adil melihat hilal masuknya bulan Ramadhan niscaya wajib berpuasa. Adapun keluar dari Ramadhan maka harus dari dua orang saksi yang adil. Demikianlah semua bulan, tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dua orang saksi yang adil[11], berdasarkan hadis dari Nabi SAW., beliau bersabda:
فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُوْمُوْا وَأَفْطِرُوْا
"Maka jika bersaksi dua orang saksi maka berpuasa dan berbukalah. "[12]

Dan diriwayatkan dari Harits bin Hathib RA., ia berkata: 'Rasulullah SAW. berpesan kepada kami agar beribadah berdasarkan ru'yah (melihat hilal). Jika kami tidak melihatnya dan bersaksi dua orang saksi yang adil, kami beribadah berdasarkan kesaksian keduanya."[13]
Maksudnya bahwa persaksian dua orang yang adil adalah keharusan dalam keluar dan di semua bulan. Adapun masuk bulan Ramadhan maka cukup hanya dengan satu orang saksi yang adil, berdasarkan dua hadis di atas.
Para ulama berbeda pendapat. Apakah persaksian wanita bisa diterima seperti laki-laki dalam masuknya bulan? Ada dua pendapat ulama: di antaranya ada yang menerimanya, sebagaimana diterima riwayatnya dalam hadis, apabila dia seorang yang tsiqqah (dipercaya). Dan di antara mereka ada yang tidak menerimanya. Pendapat yang kuat adalah tidak diterima dalam persoalan ini, karena ini adalah tugas laki-laki dan termasuk keistimewaan laki-laki, karena mereka lebih mengetahui dan mengenal persoalan ini.[14]
Namun, dengan menggunakan metode  rukyat ternyata dijumpai beberapa problem diantaranya:
1.    Tidak dapat memastikan tanggal ke depan karena tanggal baru bisa diketahui melalui rukyat pada h-1 (sehari sebelum bulan baru),
2.    Rukyat tidak dapat menyatukan tanggal termasuk menyatukan hari puasa Arafah, dan justru sebaliknya rukyat mengharuskan tanggal di muka bumi ini berbeda karena garis kurve rukyat di atas muka bumi akan selalu membelah muka bumi antara yang dapat merukyat dan yang tidak dapat merukyat,
3.    Faktor yang mempengaruhi rukyat terlalu banyak, yaitu
a)      faktor geometris (posisi bulan, matahari dan bumi),
b)      faktor atmosferik, yaitu keadaan cuaca dan atmosfir,
c)      faktor fisiologis, yaitu kemampuan mata manusia untuk menangkap pantulan sinar dari permukaan bulan,
d)     faktor psikologis, yaitu keinginan kuat untuk dapat melihat hilal sering mendorong terjadinya halusinasi sehingga sering terjadi klaim bahwa hilal telah terlihat padahal menurut kriteria ilmiah, bahkan dengan teropong canggih, hilal masih mustahil terlihat.[15]
Perbedaan penentuan awal bulan Qamariyah tersebut ternyata tidak serta merta dipicu dari perbedaan ekstern saja yakni perbedaan metode hisab dan ru’yah, akan tetapi dari intern metode ru’yah sendiri ada beberapa perbedaan yang prinsipil, di antaranya dalam hal:
a.       Pemahaman Mathla’
Ada pendapat yang menyatakan bahwa hasil ru’yah di suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. Hal ini dengan argumentasi bahwa khithāb dari hadis-hadis hisab ru’yah ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia. Tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan.
   Pendapat lain menyatakan bahwa hasil ru’yah di suatu tempat hanya berlaku bagi suatu daerah kekuasaan hakim yang meng-itsbāt-kan hasil rukyah tersebut. Pemikiran ini biasa dikenal dengan ru’yah fī al-wlāyah al-hukmi. Selain itu, ada juga pendapat yang hanya memberlakukan ru’yah sebatas pada daerah yang dianggap memang memungkinkan adanya ruyah tersebut. Akan ettapi epmikiran ini tidak banyak dikembangkan di masyarakat.
b.      Pemahaman Keadilan
Persoalan pemahaman akan konsep keadilan tidak serta merta berasal dari metode rukyah sendiri, akan tetapi dalam metode hisab juga dijumpai pemahaman seperti itu. Karena penilaian bahwa seseorang dikatakan ‘adil’ dalam hal melihat hilal sangat berkaitan dengan perhitungan hisab di mana hilal itu dapat dilihat.
Ahmad Izzuddin, dalam bukunya Fikih Hisab Rukyah memaparkan bahwa dalam kasus 1 Syawal 1412, 1413 dan 1413 H merupakan contoh kasus tersebut, dimana laporan ru’yah tidak dapat diterima karena masih di bawah ufuk. Kemudian tahun 1418 juga terulang lagi, hanya saja terdapat perbedaan, yakni untuk 1418 pada waktu itu semua sistem sepakat bahwa pada saat matahari terbenam tanggal 28 Januari 1998 hilal awal Syawal telah wujud (di atas ufuk 0-1,5 derajat), tetapi belum imkān ar-ru;yah.  Berkaitan dengan itu, Muker hisab rukyah tahun 1996, 1997, dan 1998 belum dapat memutuskan awal Syawal berdasarkan 1418 erdasarkan perhitungan yang ada,  dan pada akhir Ramadhan tersebut memang ada laporan ru’yah dari Bawean dan Cakung tetapi ditolak oleh Menteri Agama setelah memperhatikan pendapat sebagian besar peserta sidang itsbat.
   Dalam hal ini, penulis menganggap bahwa sebenarnya keputusan yang diambil pemerintas benar-benar berdasarkan unsur politis. Karena sebenarnya sudah ada laporan ru’yah hilal akan tetapi masih saja ditolak. Hal ini karena merupakan kesengajaan Menteri Agama dalam hal ini pemerintah yang ada sedikit paralel dengan salah satu Ormas di Indonesia.

2.      Metode Hisab
   Seluruh hadis Rasulullah menjelaskan bahwasanya rukyah hilal merupakan salah satu cara untuk menentukan awal bulan Qamariah. Cara yang lain ialah dengan memperoleh berita tentang rukyat, menggenapkan bilangan bulan yang sedang berlangsung selama 30 hari (istikmal) dan yang terkini adalah dengan perhitungan/hisab. sehingga rukyah hilal bukanlah merupakan satu-satunya cara untuk menetapkan awal bulan.
   Penentuan awal bulan dengan hisab dimulai sejak kaum muslimin mengenal Astronomi, yaitu pada zaman Tabiin Besar yang dilakukan oleh mazhab Mutharaf bin Syakhir seperti dinyatakan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid. Dalam kitab itu disebutkan bahwa apabila hilal sulit diobservasi maka yang dipakai landasan ialah hasil hisab, yang merupakan hasil perhitungan peredaran bulan dan matahari[16]. Adapun landasan dari hisab ini ialah firman Allah surat Yunus ayat 5:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَاب
 “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) ...”[17]

Juga Firman Allah
ﻻَﺍﻠﺸﻤﺵ ﻴﻨﺒﻐﻲ ﻟﻬﺎ ﺃﻦ ﺘﺪﺭﻙ ﺍﻟﻗﻣﺭﻮﻻ ﺍﻟﻳﻞ ﺷﺎﺒﻖﺍﻟﻨَﻬَﺎﺭِ ﻭﻜﻞ ﻓﻲ ﻓﻟﻚ ﻳﺴﺒﺤﻭﻦ

"Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya" (Q.S. Yāsīn : 40).[18]
 Diperkuat pula dengan surat Ar-Rahman ayat 4:
ﺍﻟﺷﻣﺲ ﻭﺍﻟﻗﻣﺮﺑﺤﺳﺒﺎﻦ
"Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”

   Selain berpedoman pada ayat-ayat al-Quran, metode hisab pula di sandarkan pada beberapa hadis Rasulullah yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ [19]

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami Malik dari Nafi’ dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA. bahwa Rasulullah SAW. menceritakan tentang bulan Ramadhan lalu Beliau bersabda: “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan pula kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya.”
  
   Pada kalimat “maka perkirakanlah jumlahnya” dalam hadis di atas – menurut penulis – maksudnya adalah dengan cara hisab (masa kini) karena memang pada zaman Rasulullah belum mengenal sistem penghitungan yang canggih dan akurat. Hal ini berlandaskan hadis Rasulullah
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ بْنُ قَيْسٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ [20]

Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Al-Aswad bin Qais telah menceritakan kepada kami Sa’id bin ‘Amru bahwa dia mendengar Ibnu ‘Umar RA. dari Nabi SAW bersabda: “Kita ini adalah ummat yang ummi, yang tidak bisa menulis dan juga tidak menghitung satu bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali berjumlah dua puluh sembilan dan sekali berikutnya tiga puluh hari”.

   Menurut pemahaman penulis yang berpijak pada hadis tersebut, seandainya Rasulullah masih hidup di zaman yang modern dan serba canggih sekarang, mungkin beliau akan melalukan metode hisab karena memang saat ini metode hisab yang mampu memberi kepastian data secara akurat. Ilmu pengetahuan juga telah berkembang pesat dan terkadang perkembangan zaman saat ini tidak terasa kurang relevan dan menunjang jika masih terkungkung pada metode zaman dahulu.
   Jika ada pernyataan bahwasanya metode penentuan awal bulan dengan hisab itu merupakan bid’ah dan sesat pikir, maka menurut penulis jalan pikiran yang seperti itu justru bisa dikategorikan dengan manusia kuno dan tidak mau menghadapi kenyataan bahwa dunia telah berkembang. Memang benar metode hisab itu tidak pernah dilakukan Rasulullah, namun yang perlu di ingat bahwa sebuah metode bukanlah merupakan ibadah mahdlah. Yang termasuk ibadah mahdlah adalah puasanya. Bukan metodenya, karena ini hanyalah sebuah cara untuk menentukan waktu semata agar ibadah madlah yang dilakukan itu benar.
   Bila perhitungan hisab didasarkan kepada sistem dan me­tode yang akurat, hasilnya tidak akan berbeda, kalaupun ada hanyalah pada menit dan detik saja. Hal itu disebabkan karena pembulatan bilangan di belakang koma. Sewaktu-waktu perbedaan itu dapat dikontrol melalui tabel-tabel dan rumus yang dipergu­nakan. Hasil perhitungan hisab yang didasarkan kepada per­hitungan yang akurat itu sudah diuji kebenarannya melalui teori-teori dan observasi, sehingga hasilnya sudah meyakinkan.[21]
Di zaman Rasulullah  rukyat memang tidak menimbulkan masalah karena umat Islam hanya menghuni Jazirah Arab saja dan belum ada orang Islam di luar jazirah Arab tersebut. Sehingga bila bulan terlihat atau tidak terlihat di jazirah Arab itu, tidak ada masalah dengan umat Islam di daerah lain lantaran di daerah itu belum ada umat Islam. Berbeda halnya dengan zaman sekarang, di mana umat Islam telah menghuni seluruh penjuru bumi yang bulat ini. Apabila di suatu tempat hilal terlihat, maka mungkin sekali tidak terlihat di daerah lain. Karena tampakan hilal di atas muka bumi terbatas dan tidak meliputi seluruh muka bumi. Rukyat akan menimbulkan problem bila terjadi pada bulan Zulhijah tahun tertentu. Di Mekah terlihat, di Indonesia tidak terlihat, sehingga timbul masalah puasa Arafah.
Sebenarnya dengan penggunaan metode hisab terkandung suatu nilai pendidikan  bagi masyarakat luas bahwa suatu sistem penanggalan yang baik adalah suatu sistem kalender yang dapat memberikan penjadwalan waktu yang akurat dan pasti jauh ke depan sehingga bisa dipedomani jauh hari sebelumnya. Karena memang sistem kalender bertujuan untuk memudahkan masyarakat penggunanya merencanakan kegiatannya disesuaikan dengan sistem penjadwalan waktu yang dimilikinya. [22]
Dalam buku Fiqih Hisab Rukyat yang dikarang oelh Ahmad Izzuddin dikatakan bahwa sistem penentuan awal bulan Qamariyah adalah hisāb wujūd al hilâl. Dijelaskan pula bahwa hisāb wujūd al-hilāl adalah matahari terbenam lebih dahulu dari pada terbenamnya bulan walaupun hanya satu menit kurang. Di mana dalam menentukan tanggal 1 bulan baru berdasarkan hisab itu tidak ada batasan tertentu, pokoknya asal hilâl sudah wujud, maka menurut kalangan ahli hisab sudah berdasarkan hisāb wujūd al-hilāldan dapat ditentukan besoknya adalah awal bulan Qamariyah baru.[23]
Menurut Oman Fathurrahman dalam bukunya Ahmad Izzuddin, dengan sistem hisāb wujūd al-hilāl maka ada istilah garis batas hisāb wujūd al-hilāl. Yakni tempat-tempat yang mengalami terbenam matahari dan bulan pada saat yang bersamaan. Jika tempat-tempat itu dihubungkan maka terbentuklah sebuah garis. Garis inilah yang kemudian disebut garis batas hisāb wujūd al hilāl.
Wilayah yang berada di sebelah barat garis batas hisāb wujūd al-hilāl terbenamnya matahari lebih dulu daripada terbenamnya bulan, oleh karena itu pada saat tersbenam matahari, bulan berada di atas ufuk. Dengan kata lain bulan sudah wujud dan sejak saat matahari terbenam tersebut bulan harus sudah mulai masuk. Sebaliknya wilayah yang berada di sebelah timur garis hisāb wujūd al-hilāl terbenamnya matahari, oleh karenanya pada saat matahari terbenam keesokan harinya bulan baru belum masuk melainkan termasuk akhir dari bulan yang sedang berlangsung.[24]
Macam-macam hisab[25]:
1.    Hisab Urfi
Hisab urfi, yang terkadang dinamakan pula hisab adadi atau hisab alamah, adalah metode perhitungan untuk penentuan awal bulan dengan berpatokan tidak kepada gerak hakiki (sebenarnya) dari benda langit Bulan. Akan tetapi perhitungan itu didasarkan kepada rata-rata gerak Bulan dengan mendistribusikan jumlah hari ke dalam bulan secara berselang-seling antara bulan bernomor urut ganjil dan bulan bernomor urut genap dengan kaidah-kaidah tertentu. Dengan kata lain hisab urfi adalah metode perhitungan bulan kamariah dengan menjumlahkan seluruh hari sejak tanggal 1 Muharam 1 H hingga saat tanggal yang dihitung berdasarkan kaidah-kaidah yang keseluruhannya adalah sebagai berikut:
a.       Tahun Hijriah dihitung mulai 1 Muharam tahun 1 H yang jatuh bertepatan dengan hari Kamis 15 Juli 622 M atau hari Jumat 16 Juli 622 M (ada perbedaan pendapat ahli hisab urfi tentang ini).
b.      Tahun Hijriah dibedakan menjadi tahun basitat (tahun pendek) dan tahun kabisat (tahun panjang).
c.       Jumlah hari dalam satu tahun untuk tahun basitat adalah 354 hari, dan tahun basitat itu ada 19 tahun selama satu periode 30 tahun.
d.      Jumlah hari dalam satu tahun untuk tahun kabisat adalah 355 hari, dan tahun kabisat itu ada 11 tahun dalam satu periode 30 tahun.
e.       Jumlah seluruh hari dalam satu periode 30 tahun adalah 10631 hari.
f.       Tahun kabisat adalah tahun-tahun kelipatan 30 ditambah 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29 (namun ada banyak variasi jadwal tahun kabisat selain ini).
g.      Umur bulan dalam 1 tahun menurut hisab urfi berselang-seling antara 30 dan 29 hari.
h.      Bulan-bulan yang bernomor urut ganjil dipatok usianya 30 hari.
i.        Bulan-bulan bernomor urut genap dipatok usianya 29 hari, kecuali bulan Zulhijah, pada setiap tahun kabisat diberi tambahan umur satu hari sehingga menjadi 30 hari.
Konsekuensi dari metode penetapan bulan kamariah seperti dikemukakan di atas adalah bahwa mulainya bulan kamariah dalam hisab urfi tidak selalu sejalan dengan kemunculan Bulan di langit: bisa terdahulu atau bisa bersamaan atau bisa terlambat dari kemunculan Bulan di langit. Misalnya bulan Ramadan dalam hisab urfi ditetapkan umurnya 30 hari karena merupakan bulan bernomor urut ganjil (bulan ke-9), padahal bulan Ramadan berdasarkan kemunculan Bulan di langit bisa saja berumur 29 hari.
Kelemahan hisab urfi adalah:
1)      Tidak ada kepastian tentang tanggal 1 Muharam 1 H apakah bertepatan dengan hari Kamis 15 atau hari Jumat 16 Juli 622 M dan perbedaan itu akan mengakibatkan perbedaan penetapan awal bulan baru.
2)      Tidak ada kesepakatan tentang jadwal tahun kabisat, sehingga perbedaan itu akan berakibat perbedaan perhitungan dan mulai awal bulan baru.
3)      Hisab urfi dapat mengakibatkan mulai bulan baru sebelum Bulan di langit lahir atau sebaliknya bisa terjadi belum masuk bulan baru pada hal Bulan di langit sudah terlihat secara jelas hal itu karena mulai dan berakhirnya bulan urfi tidak selalu sejalan dengan gerak faktual Bulan di langit.
4)      Dengan penggunaan hisab urfi untuk waktu 2571 tahun, kalender Hijriah urfi harus dikoreksi karena kelebihan satu hari sebagai akibat dari sisa waktu 2,8 detik tiap bulan belum didistribusikan ke dalam bulan dan tahun. Sisa waktu itu terakumulasi dalam tempo tersebut mencapai satu hari.
5)      Kurang sejalan dengan sunnah Nabi saw tentang Ramadan, karena hisab urfi mematok usia Ramadan 30 hari secara tetap, sementara Rasulullah saw sendiri Ramadannya terkadang 30 hari dan terkadang 29 hari sesuai dengan gerak sebenarnya Bulan di langit, dan bahkan Ramadan beliau lebih banyak 29 hari
2.    Hisab Hakiki
Hisab hakiki adalah metode penentuan awal bulan Qamariyah yang dilakukan dengan menghitung gerak faktual (sesungguhnya) bulan di langit sehingga bermula dan berakhirnya bulan Qamariyah mengacu pada kedudukan atau perjalanan Bulan benda langit tersebut. Hanya saja untuk menentukan pada saat mana dari perjalanan Bulan itu dapat dinyatakan sebagai awal bulan baru terdapat berbagai kriteria dalam hisab hakiki untuk menentukannya. Atas dasar itu terdapat beberapa macam hisab hakiki sesuai dengan kriteria yang diterapkan masing-masing untuk menentukan awal bulan Qamariyah. Berbagai kriteria dimaksud adalah:
1)      Ijtimak sebelum fajar
Kriteria ini digunakan oleh mereka yang memiliki konsep hari dimulai sejak fajar, bukan sejak matahari terbenam. Menurut kriteria ini, apabila ijtimak terjadi sebelum fajar bagi suatu negeri, maka saat sejak fajar itu adalah awal bulan baru, dan apabila ijtimak terjadi sesudah fajar, maka hari itu adalah hari ke-30 bulan berjalan dan awal bulan baru bagi negeri tersebut adalah sejak fajar berikutnya. Faham seperti ini dianut oleh masyarakat Muslim di Libia.
2)      Ijtimak sebelum ghurub
Kriteria ini menentukan bahwa apabila ijtimak terjadi sebelum matahari tenggelam, maka malam itu dan esok harinya adalah bulan baru, dan apabila ijtimak terjadi sesudah matahari terbenam, maka malam itu dan esok harinya adalah hari penggenap bulan berjalan, dan bulan baru dimulai lusa. Penganut hisab ini memulai hari sejak saat matahari terbenam, dan hisab ini tidak mempertimbangkan apakah pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk atau di bawah ufuk.
3)      Bulan terbenam sesudah terbenamnya matahari (moonset after sunset) pada suatu negeri.
Menurut kriteria ini, apabila pada hari ke-29 bulan Qamariyah berjalan, matahari terbenam pada suatu negeri lebih dahulu daripada Bulan dan Bulan lebih belakangan, makah malam itu dan esok harinya dipandang sebagai awal bulan baru bagi negeri itu, dan apabila matahari terbenam lebih kemudian dari Bulan dan Bulan lebih dahulu, maka malam itu dan esok harinya adalah hari-30 bulan Qamariyah berjalan, dan bulan baru dimulai lusa. Dalam kriteria ini tidak dipertimbangkan apakah ijtimak sudah terjadi atau belum.
4)      Imkan rukyat (visibilitas hilal).
Menurut kriteria ini, bulan baru dimulai apabila pada sore hari ke-29 bulan Qamariyah berjalan saat matahari terbenam, Bulan berada di atas ufuk dengan ketinggian sedemikian rupa yang memungkinkannya untuk dapat dilihat. Para ahli tidak sepakat dalam menentukan berapa ketinggian Bulan di atas ufuk untuk dapat dilihat dan ketiadaan kriteria yang pasti ini merupakan kelemahan kriteria bulan baru berdasarkan imkan rukyat.
5)      Hisab hakiki dengan kriteria wujud al-hilal.
Menurut kriteria ini bulan Qamariyah baru dimulai apabila pada hari ke-29 bulan Qamariyah berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif, yaitu (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan (3) pada saat matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk. Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan tiga puluh hari dan bulan baru dimulai lusa.
Apa yang dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa hanya dua kriteria terakhir (nomor 4 dan 5) yang menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk sebagai syarat untuk memasuki bulan Qamariyah baru di samping kriteria ijtimak sebelum magrib. Sedangkan tiga kriteria penentuan awal bulan pertama tidak mensyaratkan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam pada hari konjungsi. Keberadaan Bulan di atas ufuk itu penting mengingat ia adalah inti makna yang dapat disarikan dari perintah Nabi saw melakukan rukyat dan menggenapkan bulan 30 hari bila tidak dapat dilakukan rukyat. Bulan yang terlihat pastilah di atas ufuk saatmatahari terbenam dan Bulan pasti berada di atas ufuk saat matahari terbenam apabila bulan Qamariyah berjalan digenapkan 30 hari.
Hanya saja dalam hisab imkan rukyat yang menuntut keberadaan Bulan harus pada posisi yang bisa dirukyat menimbulkan kesukaran untuk menentukan apa parameternya untuk dapat dirukyat, sehingga terdapat banyak sekali pendapat mengenai ini. Untuk itu hisab hakiki wujudul hilal lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan hisab imkan rukyat.
Berdasarkan wacana di atas, keuntungan dari metode hisab adalah
1.      Hisab lebih memberikan kepastian dan bisa menghitung tanggal jauh hari ke depan,
2.      Hisab mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan, yang tidak mungkin dilakukan dengan rukyat. Dalam Konferensi Pakar II yang diselenggarakan oleh ISESCO tahun 2008 telah ditegaskan bahwa mustahil menyatukan sistem penanggalan umat Islam kecuali dengan menggunakan hisab.[26]

  1. Metode Imkān Ar-Ru’yah
Menurut metode imkān ar-ru’yah, meskipun posisi hilal sudah wujud di atas ufuk hakiki atau mar’i, awal bulan Qamariyah masih belum bisa ditetapkan, kecuali apabila hilal sudah mencapai posisi yang dinyatakan dapat dilihat. imkān ar-ru’yah yaitu salah satu metode yang biasa dinisbahkan dari pemikiran pemerintah dalam upaya penyatuan dua metode hisab dan ru’yah hilal.
Upaya pemerintah untuk menyatukan dua perbedaan tersebut dengan menggunakan metode imkān ar-ru’yah dengan format kekuasaan itsbat apada pemerintah sebenarnya merupakan upaya yang lebih mempunyai peluang untuk penyatuan dan dapat diterima oleh semua pihak. Upaya pemerintah ini pada dasrnya berpijak pada upaya pencapaian keseragaman, kemaslahatan dan persatuan umat Islam di Indonesia. Hal ini didasarkan pada kaidah
حكم الحاكم الزام ويرفع الخلاف
Keputusan hakim/pemerintah itu mengikat dan menyelesaikan perbedaan pendapat”
Pada dasarnya upaya tersebut berusaha menyatukan antara madzhab hisab dan ru’yah, jadi madzhab imkān ar-ru’yah berupaya agar bagaimana hasil hisabnya dapat sesuai dengan ru’yah dan ru’yahnya tepat sasaran sesuai dengan data hisabnya, hal ini mengingat objek sasarannya sama yakni hilal.
Ahmad Izzuddin dalam bukunya Fikih Hisab Rukyah memaparkan bahwa pada bulan Maret 1998 para ulama’ ahli hisab dan ru’yat serta para perwakilan organisasi masyarakat Islam yang mengadakan musyawarah kriteria imkān ar-ru’yah untuk indonesia. Di mana keputusan musyawarah baru dihasilkan pada anggal 28 September 1998. Keputusannya yaitu:
c.       Penentuan awal bulan Qamariyah di dasarkan pada sistem hisab haqīqī tahqīqī dan atau ru’yah.
d.      Penentuan awal bulan Qamariyah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah mahdlah, yaitu awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ditetapkan dengan memperhitungkan hisab haqīqī tahqīqī dan ru’yah.
e.       Kesaksian ru’yah dapat diterima jika ketinggian hilal dua derajat dan jarak ijtimā’ ke ghurūb matahari minimal 8 jam.
f.        Kesaksian ru’yah hilal idak bisa diterima apabila ketinggian hilal kurang dari dua derajat, maka awal bulan ditetapkan berdasarkan istikmāl.
g.      Apabila ketinggian hilal dua derajat atau lebih, awal bulan dapat ditetapkan.
h.      Kriteria imkān ar-ru’yah tersebut di atas akan dilakukan penelitian lebih lanjut.
i.        Menghimbau kepada seluruh pmpinan organisasi kemasyarakatan Islam untuk mensosialisasikan keputusan ini
j.        Dalam melaksanakan isbat, pemerintah mendengarkan pendapat-pendapat dari organisasi kemasyarakatan Islam dan para ahli.
Kriteria imkān ar-ru’yah, pada dasarnya dalam kitab-kitab falaq klasik sudah banyak dibahas. Seperti kitab Sullam al-Nayyirain, Muhammad Mansur al-Batawi, pengarang kitab tersebut juga menguak deskripsi imkān ar-ru’yah dari berbagai ulama’:
“Tentang batas hilal dapat di ru’yah, para ulama’ berbeda pendapat yang didasarkan pada tingginya, mukus (lama di ata ufuk) dan juga kepada cuaca pada saat ru’yah. Ada pendapat yang menyatakan bahwa tingginya minimal 2/3 manzilah, 1 manzilah 13 derajat , 8 derajat 40 menit atau 9 jurang 1/3 derajat, ada juga pendapat tingginya harus 7 derajat, sebagian lagi menyatakan tingginya minimal 6 derajat.”
Deskripsi dalam Sullam al-Nayyiran dengan istilah manzilah (2/3 manzilah). Menurutnya bulan bergerak pada falaknya dari barat ke timur sejauh 13 derajat setiap hari sedangkan matahari juga bergerak pada ekliptika dari barat ke timur sejauh 1 derajat setiap harinya, sehingga bulan mendahului matahari bergerak ke arah timur sejauh 12 derajat dalam 24 jam. Kriteria ini dapat dipahami bahwa hilal dapat dilihat bila tingginya mencapai 8 derajat atau terndah 6 derajat. Begitu pula dapat dipahami bahwa hilal dapat dilihat bila umur bulan telah mencapai 17 sampai 20 menit atau minimal 12 jam. [27]
Dalam bukunya pula, Ahmad Izzuddin, memaparkan bahwa karena melihat pentingnya kriteria imkān ar-ru’yah tersebut, pemerintah dalam hal ini Departemen Agama mersa perlu memberikan solusi alternatif dengan menawarkan kriteria yang dapat diterima semua pihak. Hal ini juga didorong oleh keputusan musyawarah kerja hisab rukyah tahun 1997/1998 di Ciawi Bogor yang meminta diadakan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang imkān ar-ru’yah. Oleh karena itu, pada bulan Maret 1998 dilakukan pertemuan dan musyawarah ahli hisab dari berbagai Ormas Islam, yang juga diikuti oleh ahli astronomi dan instansi terkait. Pertemuan tersebut menghasilkan:
a.       Penentuan awal bulan Qamariyah didasarkan pada imkān ar-ru’yah sekalipun tidak ada laporan rukyah hilal
b.      Imkān ar-ru’yah yang dimaksud didasarkan pada tinggi hilal 2 derajat dan umur bulan 8 jam dari saat ijtima’ saat matahari terbenam.
c.       Ketinggian dimaksud berdasarkan hasil perhitungan sistem hisab haqiqi tahqiqi.
d.      Laporan ru’yah hilal yang kurang dari 2 derajat dapat ditolak.
Dari keputusan di atas, jika diteliti ada satu keputusan yang terkesan tidak tegas yakni “laporan rukyah yang kurang dari dua derajat dapat ditolak”. Kata “dapat” dalam keputusan ini sepertinya tampak tidak memberikan ketegasan, justru memberikan kelonggaran. Di samping itu, kriteria imkān ar-ru’yah tersebut dasarnya juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (hanya berdasarkan adat kebiasaan)




BAB III
ANALISIS DAN KESIMPULAN

   Apabila dikaitkan dengan perkembangan zaman saat ini yang semakin modern dan menerobos ilmu pengetahuan, metode penentuan awal bulan Qamariyah yang pada mulanya menggunakan rukyah saja kurang relevan. Karena banyak sekali kekurangan dari metode tersebut salah satunya karena cuaca yang kurang mendukung seperti mendung. Meskipun memang benar dalam hadis bahwa jika tertutup mendung maka harus digenapkan 30 hari, akan tetapi menurut penulis pernyataan itu sebenarnya dilontarkan Rasulullah karena tidak mengetahui secara pasti hitungannya itu 29 atau 30. Oleh karena itu digenapkanlah bulan meski sebenarnya hilal telah wujud yaitu tanggal satu, ini terjadi karena zaman dahulu masih belum mengetahui ilmu hisab seperti sekarang ini.
   Seperti kenyataan yang terjadi pada bulan awal bulan Syawal 1432 Hijriyah kali ini yang menimbulkan banyak kontroversi dari berbagai kalangan. Berbagai titik telah dilakukan rukyah hilal tetapi hasilnya berbeda-beda ada yang bilang telah wujud dan belum. Dalam hal ini sudah jelas bahwa hilal telah tampak ukuran tanggal dua Hijriyah, akan tetapi sebagian orang baru berlebaran. Bukan maksud penulis ingin membela salah satu pihak, tetapi penulis sendiri mengkaji dan melihat dan membuktikan sendiri kenyataan yang ada. Nah dari kejadian ini yang membuktikan kebenaran hasil hisab mengapa tidak diikuti saja sebagai pedoman bulan-bulan ibadah tahun depan?
   Selain itu, jika ada pernyataan harus meninggalkan metode hisab, maka menurut penulis, hal ini tidak mungkin karena jika tidak dilakukan hisab, maka untuk mengetahui penanggalan Hijriyah bagaimana? Apakah harus setiap bulan dilakukan rukyah hilal? Padahal kesibukan manusia tidak hanya melihat bulan terus. Dalam hal ini bukan berarti penulis meniadakan metode rukyah yang dilakukan Rasulullah, namun memadukan dua metode tersebut. Yakni tetap menggunakan hisab sebagai perkiraan kapan kira-kira bulan baru akan muncul, lalu dibuktikan dengan rukyah untuk memperkuat.
   Apabila metode rukyah saja yang digunakan, maka bayangkan saja, H-1 bahkan malam yang seharusnya esok hari sudah lebaran atau masih puasa ternyata belum bisa dipastikan awal bulan baru itu kapan karena yang berwenang alias ulil amri di Indonesia belum angkat bicara. Sungguh malang nasib Muslim di Indonesia bagian timur sudah pukul 10:00 malam WIT masih belum mendapat kepastian apakah masih akan salat tarawih atau akan melakukan takbiran untuk menyambut datangnya lebaran.
   Apabila ternyata esok hari belum lebaran berarti mereka akan melaksanakan salat tarawih setelah jam 10:00 malam itu yang mereka mungkin sudah mengantuk dan lelah karena seharian berpuasa dan bekerja berat. Bahkan ada pula yang tidak tarawih dan tidak pula takbiran.
   Ditambah lagi, Syamsul Anwar dalam tulisannya mengatakan bahwa setahun lalu pernah mendapat keluhan dari mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri di mana umat Islam minoritas. Keluhannya adalah mendapat kesulitan untuk menyewa tempat salat idul fitri karena tempat tersebut harus dibooking jauh hari sebelum idul fitri, sementara ketentuan lebarannya belum pasti kapan karena masih menunggu hasil rukyat. Serta banyak lagi keluhan lain semisal pekerja Muslim di negara minoritas Islam sulit mendapatkan cuti Idulfitri karena tidak bisa memberi kepastian jatuhnya idul fitri jauh hari sebelumnya. Seandainya ada suatu sistem penjadwalan dengan baik dan mendunia, maka semua itu tidak akan terjadi. 
   Selain itu, penulis sendiri sebenarnya memedomani kaidah al-khurûj minal-khilâf mustahab (keluar dari ikhtilaf adalah dianjurkan) merupakan salah satu kaidah fiqhiyyah yang disepakati hampir oleh semua ulama mujtahid dan dianggap sebagai salah satu kaidah kulliyyah (universal). Artinya, sepanjang masih ada titik-titik singgung yang bisa dipersatukan di antara umat, jangan menyengaja atau mencoba-coba ingin berbeda dengan umat lain. Sikap ingin dan asal beda justru bertentangan dengan prinsip kaidah ini. Oleh sebab itu, dalam masalah ijthadiyah semacam ini harus terus dipikirkan modus terbaik untuk keluar dari khilâf  yang pasti akan terus menerus terjadi karena metode penetapan yang berbeda.
   Persoalannya, di mana titik temu mungkin didapat mengingat sampai saat ini metodologi dalam penetapan hilâl berbeda-beda. Kalau masih belum seragam, sampai kapan pun, ketika posisi hilâl tidak terlalu tinggi, akan terus terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan kapan awal bulan baru dimulai. Memang, memaksakan agar setiap kelompok menggunakan metode yang sama dalam menentukan bulan baru bukan sesuatu yang memungkinkan. Masing-masing memiliki alasan dan dalil yang dianggap paling sahih sehingga sulit untuk memaksa mereka memilih satu metode tertentu. Dalam konteks ini sesungguhnya ada kaidah fiqhiyyah lain yang dapat dijadikan jembatan, yaitu kaidah Kullu mâ hakama bihi al-qâdhî al-‘adl min madzhabin man ra’âhu shawâban mimmâ ikhtalafa al-nâs fîhi fahuwa nâfidz (Setiap perkara yang diputuskan oleh seorang hakim yang adil berdasarkan pendapat satu madzhab yang dianggap olehnya benar atas masalah yang diperselisihkan oleh orang-orang, maka keputusan itu dapat dilaksanakan).
   Kaidah di atas mengisyaratkan salah satu cara untuk menyelesaikan khilâf, yaitu dengan menyerahkannya pada pihak yang berwenang (qâdhi atau hakim yang adil). Ini merupakan salah satu bagian dari siyâsah syar‘iyyah untuk menghindari potensi-potensi konflik di tengah umat dan meminimalisasi terjadinya fragmentasi akibat perbedaan pendapat di tengah umat. Cara ini dapat lebih memungkinkan umat didorong untuk terus dapat berkomitmen memegang persatuan (al-wihdah). Sebab, kalau khilâf dipelihara justru berpotensi untuk memecah-belah umat dan menimbulkan perasaan al-wihdah al-islâmiyyah dalam diri setiap umat Muslim hilang.
   Namun, perlu di kritisi lagi tentang wacana ‘ulil Amri’ dalam menggunakan metodenya yakni imkān ar-ru’yah. Selayaknya ulil amri tidak boleh sedikitpun dirasuki oleh unsur politik (bukan berarti penulis menyalahkan  ulil amri). Namun, mereka juga harus bijak dalam memutus tanpa ada unsur pilih kasih tanpa dasar. Kemajuan ilmu pengetahuan selayaknya harus dipahami untuk menyeragamkan dan menyatukan umat Islam.
   Intinya, bila bulan sudah ternyata benar wujud tanggal satu, maka apa salahnya jika menggunakan metode yang telah teruji tersebut demi kemaslahatan umat Islam. Bukan justru harus meninggalkan metode hisab yang di kata merupakan bid’ah padahal yang merupakan ibadah mahdlahnya adalah puasa, bukan metode penentuan waktunya.









LAMPIRAN

A.  Shahīh al-Bukhāri (Kitāb al-Shaum)
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ وَقَالَ غَيْرُهُ عَنْ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ وَيُونُسُ لِهِلَالِ رَمَضَانَ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, telah menceritakan kepada saya Al-Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihab berkata, telah mengabakan kepada saya Salim bin ‘Abdullah  bin ‘Umar bahwa Ibnu ‘Umar RA. berkata; Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Jika kamu melihatnya maka berpuasalah dan jika kamu melihatnya lagi maka berbukalah. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan)”. Dan berkata, selainnya dari Al-Laits telah menceritakan kepada saya ‘Uqail dan Yunus: “Ini maksudnya untuk hilal bulan Ramadhan”.[28]

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ [29]
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami Malik dari Nafi’ dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA. bahwa Rasulullah SAW. menceritakan tentang bulan Ramadhan lalu Beliau bersabda: “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan pula kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan).”[30]

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata, aku mendengar Abu Hurairah RA. berkata; Nabi SAW. bersabda, atau katanya Abu al-Qasim SAW telah bersabda: “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh”. [31]

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ بْنُ قَيْسٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ [32]
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Al-Aswad bin Qais telah menceritakan kepada kami Sa’id bin ‘Amru bahwa dia mendengar Ibnu ‘Umar RA. dari Nabi SAW bersabda: “Kita ini adalah ummat yang ummi, yang tidak bisa menulis dan juga tidak menghitung satu bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali berjumlah dua puluh sembilan dan sekali berikutnya tiga puluh hari”. [33]

B.  Muwaththa Malik (Kitāb al-Shiyām)

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ   [34]
Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Satu bulan itu ada dua puluh sembilan hari, maka janganlah berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan berbuka hingga kalian melihat hilal. Jika hilal tertutup oleh awan dari penglihatan kalian maka genapkanlah.”


C.  Sunan an-Nasa’i

أَخْبَرَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ شَبِيبٍ أَبُو عُثْمَانَ وَكَانَ شَيْخًا صَالِحًا بِطَرَسُوسَ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ الْجَدَلِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ خَطَبَ النَّاسَ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَالَ أَلَا إِنِّي جَالَسْتُ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَاءَلْتُهُمْ وَإِنَّهُمْ حَدَّثُونِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا [35]
Telah mengabarkan kepadaku Ibrahim bin Ya’kub dia berkata; telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Syabib Abu ‘Utsman – dan dia adalah seorang syaikh yang shalih di Tharasus- dia berkata; telah memberitakan kepada kami Ibnu Abi Zaidah dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali dari ‘Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khaththab bahwa ia berkhutbah di hadapan manusia di hari yang diragukan untuk berpuasa di dalamnya. Lalu ia berkata; “Ketahuilah aku pernah duduk bersama sahabat Rasulullah SAW, dan aku bertanya kepada mereka. Mereka menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah SAW. bersabda: berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika hilal itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[36]

أَخْبَرَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ هِشَامٍ عَنْ إِسْمَعِيلَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ [37]
Telah menceritakan kepada kami Muammal bin Hisyam dari Ismail dari Syu’bah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah SAW. bersabda: “Berpuasalah jika kalian melihatnya (hilal) dan berbukalah jika kalian melihatnya jika terjadi mendung, hitunglah tiga puluh hari”. [38]


DAFTAR PUSTAKA

Abu ′Abd Allah Muhammad ibn Isma′il al- Bukhariy. Al-Jami′ al-Shahih (Shahih al-Bukhariy. Beirut: Dār Thauq al-Najah, Juz VII, 1422 H.
Abu ′Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’ayb al-Nasaiy, Sunan al-Nasā′ī. Al-Riyadh: Maktabah al-Ma′arif al-Nasyr wa al-Tauzi′, TT.
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Majmu' Fatawa wa Maqalah Mutanawwi'ah juz 15. Di unduh dari www.imambinbaz.org
Ahmad Izzuddin. Fiqih Hisab Rukyat Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. 2007. Jakarta: Erlangga.
CD Mausu’ah Hadis
Fatwa Muhammadiyah. Penetapan Awal Bulan, Metode Hisab Muhammadiyah Dan Shalat Ied Diam-Diam Karena Berbeda Penetapan 1 Syawal. Tersedia pada http://www.muhammadiyah.or.id. Diakses pada tanggal 21 September 2011.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid analisa fiqih para mujtahid juz I. 2007. Cet ke III. Jakarta: Pustaka amani.
PT. Panca Simpati. Al-Qur’an dan terjemah. 2007. Jakarta: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Syamsul Anwar. Otoritas Dan Kaidah Matematis: Refleksi Atas Perayaan Idulfitri 1432 H. (2011) Tersedia pada http://www.muhammadiyah.or.id/id/artikel. Diakses pada tanggal 23 September 2011.
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Pedoman Hisab Muhammadiyah. 2009. Yogyakarta: Majelis tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Cetakan ke 2.






[1] Abu ′Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’ayb al-Nasaiy, Sunan al-Nasā′ī. (Al-Riyadh: Maktabah al-Ma′arif al-Nasyr wa al-Tauzi′, TT. no. 2124). Juga terdapat dalam riwayat Imam Muslim hadis no. 1081 dan Imam Bukhori hadis no. 1810
[2] Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Majmu' Fatawa wa Maqalah Mutanawwi'ah juz 15. hal 60. Di unduh dari www.imambinbaz.org
[3] Ibid, Abdul Aziz bin Baz. (HR, Muslim no. 1081 dan an-Nasa`i no. 2124.)
[4] Ibid, Abdul Aziz bin Baz (HR, Ibnu Hibban)
[5]Abu ′Abd Allah Muhammad ibn Isma′il al- Bukhariy, Al-Jami′ al-Shahih /Shahih al-Bukhariy ( Beirut: Dār Thauq al-Najah, Juz VII, 1422 H.), No.Hadis 1909.
[6] Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Op.Cit.  hal 60
[7] Ibid, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. hal 60
[8] Ibid, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. hal 61
[9] Ibid, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (HR. Abu Daud No hadis 2343)
[10] HR. At-Tirmidzi 691.
[11] Op.Cit. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. hal 61
[12] HR. Ahmad no. 18416 dan an-Nasa`i 2116.
[13] HR. Abu Daud no. 2338.
[14] Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Op.Cit.. hal 62
[15]Penjelasan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Soal penetapan Idul Fitri besok. (2011). Tersedia pada http://www.muhammadiyah.or.id/news-392. diakses pada tanggal 21 September 2011.
[16] Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid analisa fiqih para mujtahid juz I. 2007. Cet ke III. Jakarta: Pustaka amani.
[17] PT. Panca Simpati. Al-Qur’an dan terjemah. 2007. Jakarta: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. hal 208
[18] Ibid, hal 442
[19] Abu ′Abd Allah Muhammad ibn Isma′il al- Bukhariy, Al-Jami′ al-Shahih /Shahih al-Bukhariy ( Beirut: Dār Thauq al-Najah, Juz VII, 1422 H.), No.Hadis 1801.
[20] Ibid., no. hadis 1814.(. (بَاب قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ
[21] Fatwa Muhammadiyah. (2011). Penetapan Awal Bulan, Metode Hisab Muhammadiyah Dan Shalat Ied Diam-Diam Karena Berbeda Penetapan 1 Syawal. Tersedia pada http://www.muhammadiyah.or.id. Diakses pada tanggal 21 September 2011.
[22] Syamsul Anwar. Otoritas Dan Kaidah Matematis: Refleksi Atas Perayaan Idulfitri 1432 H. (2011) Tersedia pada http://www.muhammadiyah.or.id/id/artikel. Diakses pada tanggal 23 September 2011.
[23] Ahmad Izzuddin. Fiqih Hisab Rukyat Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. (2007. Jakarta: Erlangga. Hal. 125)
[24] Ibid, hal.125-126
[25] Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Pedoman Hisab Muhammadiyah. (2009. yogyakarta: Mejelis Terjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Cet ke II), hal. 18.
[26] Fatwa Muhammadiyah. Op. cit
[27] Ahmad Izzuddin, Op.Cit. hal 155.
[28] Abu ′Abd Allah Muhammad ibn Isma′il al- Bukhariy, Al-Jami′ al-Shahih /Shahih al-Bukhariy ( Beirut: Dār Thauq al-Najah, Juz VII, 1422 H.), No.Hadis 1801.
 [29]بَاب قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا وَقَالَ صِلَةُ عَنْ عَمَّارٍ مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
[30] Ibid., no. hadis 1807.
[31] Ibid., no. hadis 1810.
 [32]بَاب قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ
[33] Ibid., no. hadis 1814.
 [34]بَاب مَا جَاءَ فِي رُؤْيَةِ الْهِلَالِ لِلصَّوْمِ وَالْفِطْرِ فِي رَمَضَانَ
 [35] بَاب قَبُولِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ الْوَاحِدِ عَلَى هِلَالِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَذِكْرِ الِاخْتِلَافِ فِيهِ عَلَى سُفْيَانَ فِي حَدِيثِ سِمَاكٍ
[36] Abu ′Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’ayb al-Nasaiy, Sunan al-Nasā′ī (Al-Riyadh: Maktabah al-Ma′arif al-Nasyr wa al-Tauzi′, TT.), hal 337. No.Hadis: 2116. Shahih.
 [37] إِكْمَالُ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ إِذَا كَانَ غَيْمٌ وَذِكْرُ اخْتِلَافِ النَّاقِلِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
[38] Ibid., hal. 338. No. Hadis: 2117. Shahih.

No comments:

Post a Comment

setelah selesai membaca tolong dikomentari yah..... makasih